Terbaru

LightBlog

Friday, October 27, 2017

Malalah Organisasi Pembelajaran

PEMBAHAS
ORGANISASI PEMBELAJARANAN

A.      Pengertian Organisasi Pembelajaran
Istilah organisasi pembelajaran sebagian berasal dari gerakan “In Search of Excellence” dan selanjutnya digunakan oleh Garrat (Dale, 2003). Namun Geoffrey Holland (Dale, 2003) menyatakan bahwa “jika kita mau bertahan hidup secara individual atau sebagai perusahaan, ataupun sebagai bangsa kita harus menciptakan tradisi perusahaan  pembelajaran.” Statemen-nya ini mengacu pada usaha mencari contoh-contoh praktek terbaik sehingga organisasi pembelajaran bisa dijiplak dan diperbanyak.
Ang & Joseph dalam Malhotra (1996)[1] membedakan Pembelajaran Organisasi dan Organisasi Pembelajaran dengan menggunakan istilah proses versus struktur. Malhotra pun mengungkapkan pendapat McGill yang menyatakan tidak terdapat perbedaan antara Organisasi Pembelajaran dengan Pembelajaran Organisasi. Mereka mendefinisikan Pembelajaran Organisasi sebagai kemampuan organisasi untuk meningkatkan pandangan dan pemahamannya dari pengalaman melalui eksperimen, observasi, analisis dan kemauan untuk belajar baik terkait kesuksesan yang diraih maupun terkait kegagalan yang dihadapi. Lagi-lagi uraian tersebut tidak jauh berbeda dengan uraian sebelumnya dari ahli teori organisasi yang lain.
Kondisi ini justru menyebabkan perusahaan-perusahaan berusaha mencari contoh dari perusahaan yang berhasil. Dengan kata lain mereka berusaha mencari organisasi yang paling sempurna untuk dicontoh tanpa menyadari bahwa tidak ada bentuk organsiasi yang seperti itu.
Dengan suatu proses kajian literatur, wawancara dan investigasi lain maka Pedler, Boydell dan Burgoyne (1988) mendefinisikan organisasi pembelajaran sebagai berikut: “Sebuah organisasi yang memfasilitasi pembelajaran dari seluruh anggotanya dan secara terus menerus mentransformasi diri.” Pedler, dkk (1988) menekankan sifat dua sisi dari defenisi tersebut. Suatu  perusahaan pembelajar bukan organisasi yang semata-mata mengikuti banyak pelatihan. Perlunya pengembangan ketrampilan individu tertanam dalam konsep, setara dan merupakan bagian dari kebutuhan akan pembelajaran organisasi.
Menurut Pedler, dkk (Dale, 2003) suatu organisasi pembelajaran adalah organisasi yang:
1.    Mempunyai suasana dimana anggota-anggotanya secara individu terdorong untuk belajar dan mengembangkan potensi penuh mereka.
2.    Memperluas budaya belajar ini sampai pada pelanggan, pemasok dan stakeholder lain yang signifikan.
3.    Menjadikan strategi pengembangan sumber daya manusia sebagai pusat kebijakan bisnis.
4.    Berada dalam proses transformasi organisasi secara terus menerus.
Peter Sange (1999)[2] mengatakan sebuah organisasi pembelajaran adalah organisasi “yang terus menerus memperbesar kemampuannya untuk menciptakan masa depannya” dan berpendapat mereka dibedakan oleh lima disiplin, yaitu: penguasaan pribadi, model mental, visi bersama, pembelajaran tim, dan pemikiran sistem.
Lundberg (Dale, 2003) menyatakan bahwa pembelajaran adalah suatu kegiatan bertujuan yang diarahkan pada pemerolehan dan pengembangan ketrampilan dan pengetahuan serta aplikasinya. Menurutnya pembelajaran organisasi adalah:
1.    Tidaklah semata-mata jumlah pembelajaran masing-masing anggota;
2.    Pembelajaran itu membangun pemahaman yang luas terhadap keadaan internal
maupun eksternal melalui kegiatan-kegiatan dan sistem-sistem yang tidak tergantung pada anggota-anggota tertentu;
3.    Pembelajaran tidak hanya tentang penataan kembali atau perancangan kembali
unsur-unsur organisasi.
4.  Pembelajaran lebih merupakan suatu bentuk meta-pembelajaran yang mensyaratkan pemikiran kembali pola-pola yang menyambung dan mempertautkan potonganpotongan sebuah organisasi dan juga mempertautkan pola-pola dengan lingkungan yang relevan.
5.  Pembelajaran organisasi adalah suatu proses yang seolah-oleh mengikat beberapa sub-proses, misalnya perhatian, penafsiran, pencarian, pengungkapan dan penemuan, pilihan, pengaruh dan penilaian.
6.  Pembelajaran organisasi mencakup baik unsur kognitif, misalnya pengetahuan dan wawasan yang dimiliki bersama oleh para anggota organisasi maupun kegiatan organisasi yang berulang-ulang, misalnya rutinitas dan perbaikan tindakan. Ada proses yang sah dan tanpa henti untuk memunculkan ke permukaan dan menguji praktek-praktek organisasi serta penjelasan yang menyertainya. Dengan demikian organisasi pembelajar ditandai dengan pengertian kognitif dan perilaku.
B.       Karakteristik Organisasi Pembelajaran
Megginson dan Pedler (Dale, 2003) memberikan sebuah panduan mengenai konsep organisasi pembelajaran, yaitu:
“Suatu ide atau metaphor yang dapat bertindak sebagai bintang penunjuk. Ia bisa membantu orang berpikir dan bertindak bersama menurut apa maksud gagasan semacam ini bagi mereka sekarang dan di masa yang akan datang. Seperti halnya semua visi, ia bisa membantu menciptakan kondisi dimana sebagian ciri-ciri organisasi pembelajar dapat dihasilkan”.
Kondisi-kondisi tersebut adalah:
1.      Strategi pembelajaran.
2.      Pembuatan kebijakan partisipatif.
3.       Pemberian informasi (yaitu teknologi informasi digunakan untuk menginformasikan dan memberdayakan orang untuk mengajukan pertanyaan dan mengambil keputusan berdasarkan data-data yang tersedia).
4.       Akunting formatif (yaitu sistem pengendalian disusun untuk membantu belajar dari keputusan).
5.      Pertukaran internal.
6.      Kelenturan penghargaan.
7.      Struktur-struktur yang memberikan kemampuan.
8.      Pekerja lini depan sebagai penyaring lingkungan.
9.      Pembelajaran antarperusahaan.
10.  Suasana belajar.
11.  Pengembangan diri bagi semua orang. Meskipun melakukan semua hal di atas, tidak otomatis suatu organisasi menjadi organisasi pembelajar. Perlu dipastikan bahwa tindakan-tindakan tidak dilakukan hanya berdasarkan kebutuhan. Tindakan-tindakan tersebut harus ditanamkan, sehingga menjadi cara kerja sehari-hari yang rutin dan normal. Strategi pembelajaran bukan sekedar strategi pengembangan sumber daya manusia. Dalam organisasi pembelajar, pembelajaran menjadi inti dari semua bagian operasi, cara berperilaku dan sistem. Mampu melakukan transformasi dan berubah secara radikal adalah sama dengan perbaikan yang berkelanjutan.
C.      Hasil yang Dicapai dari Konflik Sebagai Pembelajaran Organisasi
1.        Hasil Positif[3]
Jerry L. Gray Frederik A. Starke dalam buku yang berjudul “Organizational Behavior” mengemukakan sejumlah hasil-hasil positif dan hasil negatif yang dicapai dari konflik (Gray, et.al 1984: 488-490).[4] Hasil-hasil positif dari konflik adalah sebagai berikut:
1.    Tingkat energi Kelompok-kelompok atau individu-individu meningkat dengan adanya konflik
Tingkat energi yang meningkat dapat terlihat sewaktu orang-orang berbicara dengan nada lebih keras, mendengar lebih cermat apa yang diucapkan atau bekerja lebih keras. Dan jika tingkat energi sudah menigkat bisa menimbulkan kerja sama antara organisasi.
Organisasi pada dasarnya terdiri atas unit yang harus bekerjasama untuk menghasilkan kinerja yang optimal. Unit-unit antara lain ada yang disebut divisi, direktorat, bagian, atau cabang. Kesuksesan suatu organisasi sangat ditentukan oleh kemampuan organisasi untuk melakukan pekerjaan secara sinergik. Kemampuan untuk membangun hubungan yang sinergik ini hanya akan dimiliki kalau semua anggota unit saling memahami pekerjaan unit lain, dan memahami juga dampak dari kinerja unit tempat dia bekerja pada unit lainnya.



 




 
7
Penyelesaian Konflik yang bersifat Disfungsional

4

2

Ketidak sesuaian Tujuan


Konflik

                                                                                                                                                                                                                                                                       




Manfaat yang dicapai oleh organisasi-organisasi dari tingkat-tingkat energi yang meningkat adalah:
a.       Output yang meningkat
b.      Munculnya ide-ide inovatif untuk melaksanakan tugas-tugas lebih baik. (Nadler, et.al., 1979: Chapter 12)
2.    Kohesi kelompok meningkat[5]
Hasil riset menunjukkan, apabila kelompok-kelompok terlibat dalam sebuah konflik, maka kohesi (persatuan) internal merek meningkat. Kelompok yang ditentang dianggap sebagai “musuh” dan sumber-sumber daya kelompok dimobilisasi guna menghadapi ancaman dari “luar”.  Untuk mencapai tujuan tersebut, maka pertengkaran- pertengkaran didalam kelompok yang bersangkutan perlu ditiadakan dan semua energi harus ditujukan untuk melawan “musuh”.
Adapun alasan mengapa dianggap bahwa kohesi yang meningkat dianggap sebagai hasil positif dari konflik, adalah bahwa kelompok-kelompok dengan kohesivitas tinggi (rasa persatuan tinggi, apabila mereka menunjang tujuan manajemen.



3.    Problem-problem terungkapkan sewaktu konflik terjadi
Sewaktu konflik berkembang, maka pihak manajemen dapat segera melihat bahwa ada sesuatu yang tidak beres dan mereka dapat merancang sebuah program untuk menyelesaikan konflik yang ada. 
4.      Konflik motivasi kelompok-kelompok yang terlibat di dalamnya untuk mengklarifikasi sasaran-sasaran
Hal tersebut menyebabkan ditingkatkannya pemahaman kelompok tentang tujuannya. Kelompok-kelompok seringkali bersikap apatis tentang fungsi khusus mereka, sampai muncul suatu ancaman eksternal. Apabila ancaman menjadi kenyataan, maka anggota-anggota kelompok mulai secara serius memikirkan tujuan kelompok mereka.
Tipe analisis tersebut dapat menyebabkan dicapainya cara-cara lebih baik melaksanakan tugas-tugas dan menyebabkan kelompok tersebut menjadi efektif. Pada sebuah organisasi, dimana dua kelompok saling berkonflik, maka apabila massing-masing kelompok dimotivasi untuk merenungkan sasaran-sasaran mereka, hal tersebut akan menyebabkan bahwa seluruh organisasi akan mencapai manfaatnya. Konflik dapat pula menyebabkan timbulnya pembagian kerja lebih efesien.
5.    Konflik merangsang kelompok-kelompok untuk mempertahankan nilai-nilai yang dianggap penting[6]
Berbagai macam kelompok memandang diri mereka sebagai “pelindung” nilai-nilai tertentu. Di dalam organisasi tertentu, kelompok pemasaran misalnya sangat menekankan kualitas tinggi, sedangkan kelompok produksi lebih meningkatkan biaya rendah per unit. Walaupun nilai-nilai tersebut agak kontrakdiktoris upaya menyelesaikan konflik macam ini mungkin menghasilkan sebuah pemecahan atau solusi yang dapat menguntungkan seluruh organisasi.
6.    Individu-individu atau kelompok-kelompok termotivasi untuk mempersatukan informasi yang relevan bagi konflik yang ada
Informasi demikian terpengaruh oleh persepsi-persepsi subjektif pihak-pihak yang terlibat di dalam konflik, biasanya disajikan informasi adisional yang dapat berguna untuk menyelesaikan problem yang dihadapi. Seandainya tidak ada konflik, mungkin tidak ada motivasi untuk mengumpulkan informasi tambahan atau mencari cara-cara lain untuk melakssanakan tugas lebih baik.
7.    Konflik dapat meningkatkan efektivitas menyeluruh sesuatu organisasi karena kelompok-kelompok atau individu-individu dipaksa olehnyaa untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan eksternal yang berubah
Banyak diantara konflik yang timbul dimotivasi secara politik, sewaktu para individu berupaya untuk mencapai bagian lebih besar dari sumber-sumber daya organisasi mereka untuk diri mereka ssendiri.
2.        Hasil Negatif[7]
Hasil-hasil negatif yang timbul dari konflik adalah sebagai berikut:
1.    Terjadinya  Penyusutan dalam komunikasi antara pihak yang berkonflik
Apabila individu-individu atau kelompok-kelompok saling bentrok, gejala yang lazim terlihat adalah mereka berhenti berbicara satu sama lain. Hal tersebut bersifat sangat disfungsional, karena konflik sering bereskalasi apabila sedikit sekali informasi yang mengalir antara mereka yang terlibat di dalam konflik yang ada.
2.    Sikap bermusuhan dan pengembangan agresi
Adalah reaksi manusia tipikal untuk merasa sikap bermusuhan terhadap seseorang yang menghalangi usaha mereka untuk mencapai tujuan tertentu. Agresi (baik yang bersifat fisikal maupun verbal), juga merupakan perilaku umum yang berhubungan sikap bermusuhan. Sekalipun hal tersebut dapat memuaskan  kecenderungan orang yang bersangkutan untuk menyerang orang yang menghalanginya, dipandang dari sudut pandang , dipandang dari sudut pandangan organisasi, hal tersebut sangat merugikan, karena menyalurkan perilaku kebidang-bidang yang tidak produktif.
3.    Konformitas berlebihan terhadap tuntutan-tuntutan kelompok
Konflik dapat menyebabkan kelompok-kelompok menjadi lebih kohesif. Hal itu dapat menyebabkan produktivitas makin meningkat. Kita harus pula mngingat bahwa anggota-anggota kelompok, apabila mereka menghadapi sebuah ancaman dari luar dapat mencapai konformitas berlebihan terhadap tuntutan-tuntutan kelompok mereka.
Hal tersebut antara lain mencakup ketaatan buta terhadap penafsiran para pemimpin dari kelompok yang menentang dan tidak akan muncul pemikiran untuk memecahkan masalah oleh siapa saja yang ada dalam kelompok yang bersangkutan. Hal itu menyebabkan konflik menjadi berkepanjangan dan konflik menjadi intensif. Dengan berlangsung nya waktu, kelompok tersebut tidak mampu memandang pihak oposisi dengan objektif dan persepsi mereka menjadi sangat kacau.
D.      Pandangan Pembelajaran dan Inovasi
pembelajaran organisasi sebenarnya tidak memiliki keterkaitan dengan  perubahan dan inovasi. Akan tetapi, proses pembelajaran dalam organisasi biasanya menuntut perubahan-perubahan dalam struktur dan pola-pola pengelolaan organisasi. Demikian pula inovasi. Artinya, ada struktur dan pola-pola pengelolaan organisasi yang mendukung pembelajaran dan inovasi, dan adapula cendrung menghambatnya.
Bagi pengelola organisasi saat ini, kedua aspek ini sangat penting. Pemebelajaran dan inovasi merupakan dua hal yang dapat menentukan “hidup-matinya” organisasi, dalam kadar tertentu. Artinya sejauh dimungkinkan oleh kondisi-kondisi yang ada, pengelolaan organisasi seharusnya mendorong terjadinya proses pembelajaran dan inovasi di dalam organisasi. Caranya adalah dengan mengupayakan suatu struktur dan pola-pola pengelolaan organisasi yang mendukung kedua hal tersebut.
Inovasi dapat dibedakan menjadi dua macam (Robbins, 1990: 399).[8] Pertama, inovasi teknologis, yaitu menyangkut penggunaan alat, teknik, mesin, atau sistem-sistem baru yang ditunjukan untuk menghasilkan produk atau jasa yang lebih unggul. Kedua, inovasi administratif, yaitu implementasi berbagai perubahan pada struktur dan proses administratif dalam pengelolaan organisasi.
Inovasi adalah “kemampuan untuk menciptakan, atau menggunakan keahlian dalam melakukan atau mengembangkan suatu pekerjaan tertentu.” Inovasi memerlukan kekuatan imajinasi dalam menghadapi masalah-masalah.[9] Proses inovsi organisasi terdiri dari pengembangan, penerapan, peluncuran, pertumbuhan, dan pengelolaan kematangan dan penurunan ide-ide kreatif. Kreatif adalah sebagai “proses yaang didirinya terlahir produk baru yang disenangi masyarakat atau diterima masyarakat sebagai sesuatu yang bermanfaat.[10]
Inovasi merupakan memikirkan dan melakukan sesuatu yang baru yang menambah atau menciptakan nilai-nilai manfaat social maupun ekonomi. Untuk menghasilkan perilaku inovatif seseorang harus melihat inovasi secara mendasar sebagai proses yang dapat dikelola (John Adair,1996).
Inovasi juga merupakan usaha yang terkelola dari suatu organisasi untuk mengembangkan produk atau asa baru, atau kegunaan baru dari produk atau jasa yang ada. Inovasi sangat penting karena tanpa produk atau jasa baru, setiap organisasi akan tertinggal jauh di belakang pesaingnya.[11] 
Secara umum, untuk mengembangkan inovasi dibutuhkan perubahan struktural ke arah organisasi yang lebih organik. Artinya ciri-ciri organisasi mekanistik seperti prosedur dan aturan-aturan yang ketat, hirarkai dan kontrol, sentralisasi pengambilan keputusan, sedapat mungkin perlu dikurangi. Tentu saja menyesuaikan dengan karakteristik tugas yang dijalankan organisasi itu sendiri. Artinya kadar organik-mekanistik suatu organisasi tentunya tidak lepas dari pertimbangan-pertimbangan khusus dari tipe dan karakteristik organisasi itu sendiri. Secara langsung. Tidak mungkin suatu organisasi lembaga pemasyarakatan yang noteben adalah organisasi publik yang bertipe pelayanan regulatif sama inovatifnya dengan organisasi yang bergerak di bidang riset atau teknologi informasi. Dibawah ini perbedaan organisasi abad ke-20 dan abad ke-21 yaitu:[12]
Organisasi abad ke-20
Organisasi abad ke-21
1.       Berfokus ke dalam
1.        beriorentasi ke luar
2.       Tersentralisasi
2.        memberdayakan
3.       Lambat dalam membuat keputusan
3.        cepat dalam mengambil keputusan
4.       Politis
4.        terbuka dan jujur
5.       Tidak berani mengambil resiko
5.        lebih berani mengambil resiko

     Akan tetapi, secara umum memang ada perubahan kearah itu. Scheiner dan Beatty (1994:331) mengembangkan organisasi tradisional sebagai “ tall organization” yang berlawanan dengan organisasi masa depan yang lebih “datar”. Dengan kata lain, proses inovasi menuntut suatu perubahan struktural ke arah struktur organisasi yang lebih “datar”, yaitu dengan rentang kendali lebih lebar, struktur jabatan lebih besar dan bersifat lintas fungsional, serta distribusi pengambilan keputusan, pembangunan pengetahuan, dan kapabilitas dilevel individual maupun organisasi. Demikian pula halnya dengan proses pembelajaran.
     Mengenai pembelajaran di tingkat organisasi merupakan ide dari Petter Sange (1990)[13] dia menyatakan sebagai organisasi pembelajar. Dalam hal ini sange menganggap bahawa tuntutan kebutuhan diera informasi sekarang tidak cukup dijawab dengan mengembangkan individu-individu pemblajar.
Sejak dulu, organisasi selalu mencari dan mengharapkan individu-individu yang senantiasa mau belajar dan haus pengetahuan, karena mereka umumnya lebih dapat memberikan sumbangan gagasan, konsep, dan pembaruan didalam organisasi ketimbang individu-individu yang malas belajar. Akan tetapi sekarang hal itu tidak lagi cukup. Organisasi harus mengembangkan pembelajaran ditingkat organisational. Tujuannya adalah memperbesar kapasitas organisasi dalam menangani berbagai perubahan dan dan kemampuan mendayagunakan aset pengetahuan, keterampilan dan skill yang dimiliki anggotanya secara lintas-fungsi. Adanya individu-individu pembelajar dalam organisasi akan mengahsilkan pilar dalam organisasi pembelajar[14] yaitu:
a.    Pribadi yang mumpuni
b.    Perubahan dan sikap kritis terhadap pola pikir
c.    Membangun visi bersama, bukan visi yang dipaksakan
d.   Melakukan pembelajaran secara tim atau bersama-sama
e.    Berfikir sistem.
E.       pembelajaran Organisasi Sebagai  Evaluasi dan Motivasi
Tujuan dasar dari Evaluasi adalah untuk menyediakan informasi mengenai kinerja pekerjaan[15] . Evaluasi kinerja merupakan fungsi Sumber daya manusia yang paling penting dalam sebuah organisasi[16]. Mengembangkan sistem evaluasi yang efektif merupakan tgas yang penting dan sulit bagi manajemen. Ini berarti, salah satunya memaksimalkan penggunaan dan penerimaan dari evaluasi akan meminimalkan ketidakpuasan terhadap aspek apapun dari sistem. Evaluasi kinerja ditujukan untuk mempengaruhi perilaku dri anggota organisasi. Evaluasi kinerja merupaka suatu usaha untuk memperkuat dilanjutkannya atau diberhentikannya tindakan tertentu.
Motivasi berasal dari kata movore yang berarti dorongan, daya penggerak atau kekuatan yang menyebabkan suatu tindakan atau perbuatan. Stephen P. Robbins dan Mary Counter (1999:50) menyatakan motivasi kerja sebagai kesedian untuk melaksanakan upaya tinggi untuk mencapai tujuan-tujuan keorgnisasian yang dikoordinasikan oleh kemampuan upaya untuk memenuhi kebutuhan individual tertentu.[17] Jika motivasi ingin didorong, dipertahankan, dan diarahkan, menajer harus tahu mengenai kebutuhan, intensi,mpreferensi, tujuan dan perbandingan, dan mereka harus bertindakatas pengetahuan tersebut. Motivasi terbentuk setidaknya oleh tiga komponen yang berbeda. Arah  merujuk pada apa yang dipilih untuk dilakukan oleh seorang individu ketika disajikan sejumlah tindakan alternatif. Intensitas merujuk pada kekuatan yang memetap dari perilaku, atau berapa lama seorang akan memdedikasikan usaha.[18]
F.       Manajemen Konflik sebagai pembelajaran Organisasi
Konflik yang tinggi bisa mempengaruhi pada produktivitas yang dihasilkan, produktifitas yang tinggi juga harus turut didukung oleh kondisi kerja yang kondusif atau jauh dari konflik. Ini sebagaimana dikemukakan oleh winardi[19] “...faktor-faktor yang dominan dapat mempengaruhi produktifitas dalam organisasi adalah suasana kerja yang kondusif, perbaikan atau penggunaan alat-alat, dan teknik manajerial.”
Oleh karena itu bagi seorang manajer disuat perusahaan perlu memikirkan bentuk pendekatan budaya organisasi yang mampu memperkecil konflik, termasuk dengan memikirkan penerapan manajemen konflik. Ini sebagaimana dikemukakan oleh wahyudi[20] bahwa,  “penggunaan manajemen konflik yang tepat, maka konflik yang terjadi akan berdampak positif dan fungsional bagi peningkatan performasi kerja anggota dan produktivitas organisasi secara keseluruhan.” Ilmu dan konsep manajemen konflik harus mengalami masa adaptasi agar terwujud dalam tataran yang resprentif, jika tidak maka manajemen konflik yang dimiliki tidak mampu berjalan secara baik dan sesuai yang diharapkan.
Menurut T. Hani Handoko ada tiga metode penyelesaian konflik yang sering digunakan, yaitu dominasi atau penekanan, kompromi, dan pemecahan masalah integratif. Metode-metode ini berbeda dalam hal efektivitas dan kreatifitas penyelesaian konflik serta pencegahan situasi konflik dimasa mendatang.[21]
SIMPULAN


organisasi pembelajaran sebagian berasal dari gerakan “In Search of Excellence” dan selanjutnya digunakan oleh Garrat (Dale, 2003). Namun Geoffrey Holland (Dale, 2003) menyatakan bahwa “jika kita mau bertahan hidup secara individual atau sebagai perusahaan, ataupun sebagai bangsa kita harus menciptakan tradisi perusahaan  pembelajaran.” Statemen-nya ini mengacu pada usaha mencari contoh-contoh praktek terbaik sehingga organisasi pembelajaran bisa dijiplak dan diperbanyak.
1.        Karakteristik organisasi pembelajaran diantaranya yaitu sebagai berikut:
2.        Strategi pembelajaran.
3.        Pembuatan kebijakan partisipatif.
4.        Pemberian informasi.
5.        Akunting formatif.
6.        Pertukaran internal.
7.        Kelenturan penghargaan.
8.        Struktur-struktur yang memberikan kemampuan.
9.        Pekerja lini depan sebagai penyaring lingkungan.
10.    Pembelajaran antarperusahaan.
11.    Suasana belajar.
Pengembangan diri bagi semua orang. Meskipun melakukan semua hal di atas, tidak otomatis suatu organisasi menjadi organisasi pembelajar
Untuk organisasi pembelajaran berhubungan dengan yaitu: Inovasi, yaitu merupakan usaha yang terkelola dari suatu organisasi untuk mengembangkan produk atau asa baru, atau kegunaan baru dari produk atau jasa yang ada. Inovasi sangat penting karena tanpa produk atau jasa baru, setiap organisasi akan tertinggal jauh di belakang pesaingnya. Evaluasi, yaitu ditujukan untuk mempengaruhi perilaku dri anggota organisasi. Evaluasi kinerja merupaka suatu usaha untuk memperkuat dilanjutkannya atau diberhentikannya tindakan tertentu. Motivasi, Motivasi berasal dari kata movore yang berarti dorongan, daya penggerak atau kekuatan yang menyebabkan suatu tindakan atau perbuatan.

REFERENSI

Abdul,Muhammad Abdul . Menjadi Manajer Sukses. 2004. Jakarta: Gema Insani
Fahmi ,Irham.2014 Perilaku Organisasi: Teori, Aplikasi, dan Kasus, Bandung: Alfabeta
Hani, T. Handoko. 2002. manajemen .Yogyakarta: BPFE,
Ivancevich ,John M. Dkk. 2006. Perilaku dan Manajemen Organisasi. Jakarta: Erlangga
J. Winardi, Teori Organisasi dan Pengorganisasian. 2003. Bandung: PT Raja Grafindo Persada
Kusdi. 2011. Terori Organisasi dan Administrasi .Jakarta: Salemba Humanika
Muligi, Helmi al. 1985. Psikologi Inovasi,  cet 4,
Senge, P., Ross, R., et.al., 1999. The Dance of Change: The Challenges of Sustaining
Momentum in a Learning Organization. New York : Doubleday & Co
Stephen P. Robbins.1990. Teori Organisasi: Struktur, Desain, dan Aplikasi. Jakarta: Arcan,(terjemahan)
Suwatno dan Donni Juni Priansa. 2006. Manajemen SDM: Dalam Organisai Pulik dan Bisnis. Bandung: Alfabeta
Tjutju Yuniarsih dan Suwatno. 2013.  Manajemen Sumber daya Manusia: Teori, Aplikasi dan isu Penelitian, Bandung: Alfabeta
Wahyudi. 2008. Manajemen Konflik Dalam Organisasi: Pedoman Praktis bagi pemimpin Visioner. Bandung: Alfabeta.


[1] Yogesh Malhotra,.Organizational Learning and Learning Organization (an Overview. BRINT Institute. 1996)
[2] Petter Senge. The Dance of Change: The Challenges of Sustaining Momentum in a Learning Organization.( New York : Doubleday & Co. 1999)
[3] J. Winardi, Teori Organisasi dan Pengorganisasian, (Bandung: PT Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 291.
[4] Gray, Jerry L. Frederick A. Starke, Organizational Behavior, Concepts and Applications, Columbus. Charles E. Merrill Publ. Co., 1984 dalam  J. Winardi, Teori Organisasi dan Pengorganisasian, (Bandung: PT Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 291.
[5] J. Winardi , Op.Cit, hlm. 294
[6] Ibid, hlm. 295.
[7]Ibid, Hlm, 296
[8] Robbins, S. Organization Theory :Structure, Design, and Applications, (Englewood Cliffs NY: Prentice-Hall. 1990), hlm 339. Dalam Kusdi, Terori Organisasi dan Administrasi. (Jakarta: Salemba Humanika, 2011), hlm. 224

[9] Muhammad Abdul Jawwad, Menjadi Manajer Sukses, (Jakarta: Gema Insani, 2004), hlm. 8
[10] Dr Helmi al muligi, Psikologi Inovasi, ( cet 4, 1985), hlm.124-125
[11] Constations Markides, “Strategic Inovasation” (1997), hlm. 9-24, Dalam buku Ricky W. Griffin, hlm. 397
[12] Jhon P.Kotter, Leading Cange: Menjadi Pionir Perubahan, (Jakarta: Gramedia, 1997), hlm. 213. Dalam Kusdi, Terori Organisasi dan Administrasi. (Jakarta: Salemba Humanika, 2011), hlm. 225.
[13] Petter Sange, The Leader’s: Building Learning Organization, Sloan Management Review, (Newyork: Musim Gugur, 1990), hlm, 7-23. Dalam Terori Organisasi dan Administrasi. (Jakarta: Salemba Humanika, 2011), hlm. 226.
[14] Kusdi, Terori Organisasi dan Administrasi. (Jakarta: Salemba Humanika, 2011), hlm. 226
[15] Robert D. Behn, “why Measure Performance? Different Purposes Require Different Measures,” Public Administration Review 63, no 5 (September/Oktober 2003), hlm. 586-606; Jonathan A.Segal, “86 Your Appraisal Process,” HR Magazine, Oktober 2000, hlm 199-2000. Dalam John M. Ivancevich dkk, Perilaku dan Manajemen Organisasi (Jakarta: Erlangga, 2006), hlm. 216
[16] HR. Magazine dalam . Dalam John M. Ivancevich dkk, Perilaku dan Manajemen Organisasi (Jakarta: Erlangga, 2006), hlm. 217
[17] Suwatno dan Donni Juni Priansa, Manajemen SDM: Dalam Organisai Pulik dan Bisnis, (Bandung: Alfabeta, 2014), hlm. 171
[18] Dalam John M. Ivancevich dkk, Perilaku dan Manajemen Organisasi (Jakarta: Erlangga, 2006), hlm. 167
[19] Winardi (1990) dalam Wahyudi, Op.Cit., hlm. 80
[20] Wahyudi, Op.Cit., hlm. 87
[21] T. Hani Handoko,manajemen,(Yogyakarta: BPFE, 2002), hlm352


Penulis Syima


No comments:

Post a Comment

Adbox