Terbaru

LightBlog

Thursday, October 26, 2017

Makalah Kepemimpinan Islam

BAB II
PEMBAHASAAN
A.                Etika
Etika adalah: merupakan pengetahuan tentang baik dan buruk maupun tentang hak-hak dan kewajiban moral (akhlak) yang harus disandang oleh seseorang maupun sekelompok orang dan mempunyai arti ilmu tentang apa yang bisa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasan.
B.                 Lembaga
Adalah: suatu tempat atau wadah di dalam pemerintah atau dimana lembaga tersbut dibuat oleh negara, dari negara dan untuk negara dimana bertujuan untuk membagun.
C.                Pemerintah
pemerintahan adalah organisasi yang memiliki kekuasan untuk membuat dan menerapkan hukum serta undang –undang di wilayah tertentu dan   segala bentuk kegiatan atau aktifitas penyelenggaraan negara yang dilakukan oleh organ-organ negara yang mempunyai otoritas atau kewenangan untuk menjalankan kekuasaan. Pengertian pemerintahan seperti ini mencakup kegiatan atau aktifitas penyelenggaraan negara yang dilakukan oleh eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Dalam arti yang sempit, pemerintahan adalah aktivitas atau kegiatan yang diselenggarakan oleh fungsi eksekutif, presiden ataupun perdana menteri, sampai dengan level birokrasi yang paling rendah tingkatannya. Dari dua pengertian tersebut, maka dalam melakukan pembahasan mengenai pemerintahan negara titik tolak yang dipergunakan adalah dalam konteks pemerintahan dalam arti luas. Yaitu meliputi pembagian kekuasaan dalam negara, hubungan antar alat-alat perlengkapan negara yang menjalankan kekuasaan tersebut.[1]
1.                Macam-macam Sistem Pemerintahan Negara.

Sistem pemerintahan negara dibagi menjadi dua klasifikasi besar, yaitu:

a. Sistem pemerintahan parlementer.
Pada prinsipnya sistem pemerintahan parlementer menitik beratkan pada hubungan antara organ negara pemegang kekuasaan eksekutif dan legeslatif. Sistem ini merupakan sisa-sisa peninggalan sistem pemerintahan dalam arti paling luas yakni morankhi. Dikatakan demikian karena kepala negara apapun sebutanya mempunyai kedudukan yang tidak dapat di ganggu gugat. Sedangkan penyelenggara pemerintah sehari-hari diserahkan kepada menteri.

b. Sistem pemerintahan Presidensial
Dalam sistem pemerintahan presidensial, badan eksekutif dan legislatif memiliki kedudukan yang independen. Kedua badan tersebut tidak berhubungan secara langsung seperti dalam sistem pemerintahan parlementer. Mereka dipilih oleh rakyat secara terpisah.[2]

2.                Ciri-ciri sistem pemerintahan parlementer adalah sebagai berikut :

a. Badan legislatif atau parlemen adalah satu-satunya badan yang anggotanya dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum. Parlemen memiliki kekuasaan besar sebagai badan perwakilan dan lembaga legislatif.

b. Anggota parlemen terdiri atas orang-orang dari partai politik yang memenangkan pemiihan umum. Partai politik yang menang dalam pemilihan umum memiliki peluang besar menjadi mayoritas dan memiliki kekuasaan besar di parlemen.

c. Pemerintah atau kabinet terdiri dari atas para menteri dan perdana menteri sebagai pemimpin kabinet. Perdana menteri dipilih oleh parlemen untuk melaksakan kekuasaan eksekutif. Dalam sistem ini, kekuasaan eksekutif berada pada perdana menteri sebagai kepala pemerintahan. Anggota kabinet umumnya berasal dari parlemen.

d. Kabinet bertanggung jawab kepada parlemen dan dapat bertahan sepanjang mendapat dukungan mayoritas anggota parlemen. Hal ini berarti bahwa sewaktu-waktu parlemen dapat menjatuhkan kabinet jika mayoritas anggota parlemen menyampaikan mosi tidak percaya kepada kabinet.

e. Kepala negara tidak sekaligus sebagai kepala pemerintahan. Kepala pemerintahan adalah perdana menteri, sedangkan kepala negara adalah presiden dalam negara republik atau raja/sultan dalam negara monarki. Kepala negara tidak memiliki kekuasaan pemerintahan. Ia hanya berperan sebgai symbol kedaulatan dan keutuhan negara.

f. Sebagai imbangan parlemen dapat menjatuhkan kabinet maka presiden atau raja atas saran dari perdana menteri dapat membubarkan parlemen. Selanjutnya, diadakan pemilihan umum lagi untuk membentukan parlemen baru.[3]

3.                Ciri-ciri dari sistem pemerintahan presidensial adalah sebagai berikut.

a. Penyelenggara negara berada ditangan presiden. Presiden adalah kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Presiden tidak dipilih oleh parlemen, tetapi dipilih langsung oleh rakyat atau suatu dewan majelis.

b. Kabinet (dewan menteri) dibentuk oleh presiden. Kabinet bertangungjawab kepada presiden dan tidak bertanggung jawab kepada parlemen atau legislatif.

c. Presiden tidak bertanggungjawab kepada parlemen. Hal itu dikarenakan presiden tidak dipilih oleh parlemen.

d. Presiden tidak dapat membubarkan parlemen seperti dalam sistem parlementer.

e. Parlemen memiliki kekuasaan legislatif dan sebagai lembaga perwakilan. Anggota parlemen dipilih oleh rakyat.

f. Presiden tidak berada dibawah pengawasan langsung parlemen.

`Sistem pemerintahan Presidensial merupakan system pemerintahan di mana kepala pemerintahan dipegang oleh presiden dan pemerintah tidak bertanggung jawab kepada parlemen (legislatif). Menteri bertanggung jawab kepada presiden karena presiden berkedudukan sebagai kepala Negara sekaligus kepala pemerintahan. Contoh Negara: AS, Pakistan, Argentina, Filiphina, Indonesia.[4]


D.                 Hubungan antara lembaga pemerintah dalam pandangan islam

1.                  Majlis Tasyi’iah (lembaga legeslatif)
Majlis Taqnimerupakan lembaga yang berdasarkan triminologifiqh disebut sebagai “lembaga penengah dan pemberi fatwa” (ahl al-hall wa al-‘aqd). Cukup jelas bahwa suatu negara yang didirikan dengan dasar kedaulatan de jure Tuhan tidak dapat melakukan legislasi yang bertolak belakang dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, sekalipun konsensus rakyat menuntunnya. Baru saja saya membeberkan perintah Al-Qur’an yang mengatur bahwa jika Allah dan/atau Rasul-Nya telah memberi peraturan didalam suatu masalah, tak seorang Muslim pun berhak untuk memutuskannya sesuai dengan pendapatnya sendiri dan bahwa orang-orang yang tidak membuat keputusan berdasarkan Al-Qur’an atau Kalam Ilahi ini adalah orang-orang kafir.
 Dari perintah-perintah ini, maka secara otomatis timbul prinsip bahwa Majlis Taqnin (lembaga legeslatif) dalam negara Islam sama sekali tidak berhak membuat perundang-undangan yang bertentangan dengan tuntunan-tuntunan Tuhan dan Rasul-Nya, dan semua cabang legislasi, meskipun telah disahkan oleh Majlis Taqnin (lembaga legeslatif) harus secara ipso facto dianggap ultra vires dari undang-undang Dasar. Padahal sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa syariat itu sendiri tidak menjelaskan secara detail untuk semua kebutuhan yang begitu banyak dan berubah-ubah dari kehidupan sosial kita.
Jika hai ini kita kaitkan dengan pemerintahan kita saat ini maka yang memiliki kewenangan dalam masalah di atas adalah Dewan Perwakilan Rakyat. Lemabaga ini adalah lembaga yang mengurusi Undang-Undang dan hukum yang relevan dengan situasi untuk kemaslahaan hidup manusia dan sekaligus mengawasi pelaksanaan hukum tersebut. Sedangkan dalam sebuah negara Islam yang berwenang dalam hal ini adalah Majlis Tanfidz, yang mana di dalamnya di duduki oleh para mujtahid dan ulama fatwa.

Setiap pemerintahan Islam Pada setiap masa pasti membutuhkan segolongan Ulama’ ahli ijtihad yang memenuhi syarat dan berkemampuan sempurna dalam memahami nas dasar undang-undang Tuhan dan peranannya. Selain itu harus pula menguasai ketetapan hukum terhadap masalah dan persoalan baru yang muncul tentang kemaslahatan dan kebutuhan manusia.
Kita telah menggali empat fungsi ini dari Al-Qur’an, As-Sunnah, konvensi empat khalifah dan pandangan-pandangan para fuqaha Islam terkemuka. Tetapi jika perlu, saya dapat mengutip sumber-sumber keempatnya. Tetapi saya kira, siapapun yang sepenuhnya yang menghayati prinsip-prinsip dasar Negara Islam akan dapat menyadarinya hanya melalui akal sehat, bahwa didalam negara İslam yang sifatnya demikian, harus membentuk fungsi dari Majlis Taqnin (lembaga legeslatif).
Pada tahap ini mungkin timbul pertanyaan, apakah dalam İslam ada peluang bagi yudikatif (majlis qadla) untuk menolak atau membatasi kekuasaan legeslatif (majlis taqnin) dalam hubungannya dengan penegakan hukum yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah? Saya tau bahwa tidak ada aturan tersendiri untuk pertanyaan ini, tetapi konvensi-konvensi yang ditegakkan selama berkuasanya Al-Khulafa Al-Rasyidun menunjukkan bahwa lembaga yudikatif (majlis Qadla) tidak memiliki atau menikmati kekuasaan semacam ini pada zamannya. Paling tidak, tidak ada contoh bahwa pernah seorang qadhi melakukan hal ini. Namun yang menjadi alasan disini adalah bahwa para anggota legeslatif (majlis taqnin) pada zamannya memiliki wawasan yang dalam serta berbobot dan benar didasarkan pada Al-Qur’an dan Sunnah, jadi bisa dikatakan bahwa mereka sama sekali tidak ada kemungkinan akan terjadi legeslasi yang bertentangan dengan jiwa Al-Qur’an dan Sunnah. Bahkan, jika kita dapat menjamin bahwa tidak akan ada lembaga legeslatif (majlis taqnin) yang akan menegakkan hukum-hukum yang bertentangan dengan semangat Al-Qur’an dan Sunnah, dalam hal ini lembaga yudikatif (majlis qadla) tidak membutuhkan otoritas untuk menolak keputusan-keputusan legeslatif. Tetapi jika tidak demikian jadinya, maka satu-satunya cara yang memuaskan adalah memberi kekuasaan kepada lembaga yudikatif (majlis qadla) untuk membatalkan semua hukum dan perundang-undangan yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah.

2.                  Majlis Tanfidziyah (lembaga eksekutif)
Dalam suatu Negara İslam, tujuan sebenarnya dari Majlis Tanfidz (lembaga eksekutif) adalah untuk menjalankan pedoman-pedoman Tuhan yang disampaikan melalui Al-Qur’an dan As-Sunnah serta untuk menyiapkan masyarakat agar mengakui dan menganut pedoman-pedoman ini untuk dijalankan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Karakteristik Majlis Tanfidz(lembaga eksekutif) suatu negara Muslim inilah yang membedakannya dari lembaga eksekutif negara non-Muslim. Kata-kata ulul amri dan umaradigunakan masing-masing didalam Al-Qur’an dan Hadis untuk menyatakanMajlis Tanfidz (lembaga eksekutif).

Dalam hal ini zhul Amir adalahsebagai kepala dalam Majlis Tanfidz (lembaga eksekutif) ini. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa Amir itu harus mempunyai kekuasaan yang luas dalam majlis ini. Kepala Majlis Tanfidz ini di beri kuasa untuk membuat peraturan-peraturan yang bersifat umum, akan tetapi dalam hal urusan Administarasi negara kepala Majlis Tanfidz tidak diperkenankan untuk ikut terlibat di dalamnya, karena kepala Majlis Tanfidz wewenangnya hanya sebatas kepala majlis saja. Jika sekiranya semua kekuasaan ada ditangannya atau kepala pemerintahan dikendalikan juga olehnya maka bagaimana kemudian jika ada masalah dalam negara apakah semua masalah dalam negara tersebut akan di serahkan semua kepadanya. Ataukah ia menyelesaikan masalah tersebut dengan cara mencari kawan, ataukah juga ia meminta bantuan kepada para anggota yang mewakili partai-partai terkemuka yang duduk dalam lembaga legeslatif dan menggantungkan segala tindakannya kepada partai-partai tersebut.
Maka dalam rangka meringankan beban tersebut, seorang Amair harus menyerahkan sebagian tugas negara kepada para pejabat pemerintah dalam hal ini para pejabat pemerintahan bekerja langsung di bawah Amir.
 Namun jika dalam perjalanannya/keputusannya nanti terdapat kelalaian seorang Amir tidak dapat begitu saja memberhentikan atau mempengaruhi keputusan-keputusan mereka, sekalipun kapasitasnya sebagai Amir (kepala negara) atau pribadinya.
 Jika kemudia seseorang mengajukan dakwaan kepada amir, maka sang amir harus hadir dan melakukan pembelaan di hadapan qadhi sebagaimana layaknya orang kebanyakan. Dalam masalah di atas kita belum pernah menemukan satu contoh pun dimana seseorang sekaligus merangkap jabatan di bidang yang sama; atau dimana kolektor atau gubernur atau bahkan seorang Amir mengikuti keputusan kehakiman. Jadi tidak seorang pun, tidak juga orang pertama negara, yang dikecualikan dari kewajiban untuk tampil di depan hakim untuk membela perkara perdata atau pidananya.

Berdasarkan tuntutan-tuntutan kebutuhan kita yang ada sekarang ini, maka kita dapat mengubah atau mengganti rincian-rinciannya. Tetapi kita harus tetap mempertahankan prinsip-prinsip fundamentalnya. Umpamanya, kita dapat mempertimbangkan kembali kekuasaan Amir (kepala negara) dan mengubahnya sesuai dengan kebutuhan. Banyak bukti bahwa di zaman sekarang ini, kita tidak dapat banyak berharap untuk mendapatkan atau menemukan seorang Amir yang kaliber dan standar ruhaniahnya menyamaiAl-Khulafa Al-Rasyidun. Oleh karena itu kita dapat mempertimbangkan serta membatasi kekuasaan-kekuasaan administratif mereka untuk tetap melindungi diri terhadap kecendrungan-kecendrungan kediktatoran. Kita juga bisa membatasi dia untuk tidak mendengar serta memutuskan perkara hukum, sehingga mereka tidak memiliki peluang untuk merusak jalannya pengadilan.
Dengan demikian, kita juga dibolehkan membuat beberapa perubahan, misalnya untuk:
a.                  memperbaharui undang-undang atau peraturan agar selaras dengan kebutuhan kita sekarang untuk pelaksanaan pemilihan Amir (kepala negara). Atau juga mengundangkan undang-undang untuk melaksanakan urusan legeslatif.
b.                  menjelaskan dan menetapkan kekuasaan-kekuasaan serta status berbagai pengadilan.[5]
3.                  Majlis Qadla (Lembaga Yudikatif)
Ruang lingkup Majlis Qadla (Lembaga Yudikatif) yang dalam terminologi hukum Islam dikenal dengan istilah qadla yang maknanya disiratkan oleh pengakuan atas kedaulatan de jur dari Tuhan Yang Maha kuasa. Ketika Islam mendirikan negaranya sesuai dengan prinsip-prinsip abadinya, Rasulullah saw sendirilah yang menjadi hakim pertama negara tersebut, dan beliau melaksanakan fungsi ini dengan sangat selaras dengan hukum Tuhan. Orang-orang yang melanjutkannya tidak memiliki alternatif lain kecuali mendasarkan keputusan mereka pada hukum Tuhan sebagaimana yang telah disampaikan oleh Rasulullah saw kepada mereka.
Mengenai Majlis Qadha (Lembaga Yudikatif) ulama banyak berbeda pendapat utamanya mengenai syariah yang tidak menerangkan secara detail salah satu sistem pengadilan, namun dalam syariah itu sendiri hanya memberikan batasan pada undang-undang pokok secara umum yang menyangkut susila pengadilan (termasuk cara dimana hakim harus bertindak).
Adapun undang-undang dari pengadilan, yaitu dapat dikatakan bahwa susunan dan sistem pembinaannya diserahkan saja kepada keinginan masyarakat, dengan kata lain diserahkan kepada ijtihad pada masa itu. Oleh karena itu nyatalah bahwa konstitusi bebas untuk membuat sistem apa saja terhadap pengadilan yang dapat mendatangkan maslahah pada zaman itu dengan syarat hukum itu diatur sesui dengan dasar syari’at. Namun sekiranya jika syari’at itu benar-benar akan dijadikan Undang-Undang Umum, misalnya negara kita harus menjadi negara Islam maka sudah seharus tiap hakim sudah menjadi hakim syara’ artinya ia tidak hanya menguasai Undang-undang yang telah ditetapkan oleh Majlis Taqnin (legeslatif) tetapi juga ia harus menguasai semua peraturan yang telah ditetapkan oleh Qur’an dan Sunnah. Oleh karena semua sistem Undang-Undang harus di pengaruhi oleh prinsip syari’ah, yang dimulai dengan undang-undang yang berdasarkan aturan yang jelas yang berasal dari Qur’an dan Sunnah yang berkaitan dengan hal-hal umum dan selanjutnya perkembangan undang-undang yang datang dari legeslatif yang semua permasalahannya tidak diterangkan oleh syari’ah.
Jika Majlis Qadla kita selaraskan dengan Lembaga Yudikatif saat ini maka kemandirian Yudikatif akan menjamin perdamaian dalam negeri suatu negara dan ketentaraman rakyat. Tidak akan ada jumlah hak atau hak-hak istimewa yang tertulis dalam undang-undang, yang dapat memberikan kepuasan jika pengadilan-pengadilan ini masih di interfensi oleh yang berkuasa. Akibatnya jika ada campur tangan dari pihak yang lebih berkuasa maka sangat susah untuk mengelola keadilan dalam lembaga pengadilan tersebut. Karena esensi kebaradaan negara sangat bergantung pada kepuasan rakyatnya.
Sekalipun pada zaman Rasulullah SAW semua Bidang pemerintahan mulai dari kewenangan dan keputusan itu berada di tangan beliau, tetapi dalam proses penyelesaian masalah Rasulullah SAW selalu melibatkan para sahabatnya/perwakilan masyarakat, yang kemudian di selesaikan di suatu tempat melalui musyawarah. Atas dasar inilah kemudian kita mengenal konsep syura dalam Islam’.

Namun pada intinya penyelenggaraan mekanisme negara dalam tatanan sistem politik pada umumnya, khususnya lembaga-lembaga negara, Al-Qur’an mengemukakan ada empat prinsip penggunaan kekuasaan politik yang dapat dipandang sebagai asas-asas pemerintahan/kekuasaan dalam sistem politik.
 Keempat asas tersebut adalah:
(1) Asas amanah,
(2) asas keadilan (keselarasan),
(3) asas ketaatan (disiplin), dan
(4) asas musyawarah dengan refrensi Al-Qur’an dan Sunnah.

Asas pertama :mengandung makna bahwa kekuasaan politik yang dimiliki oleh pemerintah adalah amanat Allah dan juga amanat dari rakyat yang telah memberikannya melalui baiat. Karena itu, asas ini menghendaki agar pemerintah melaksanakan tugas-tugasnya dengan memenuhi hak-hak yang diatur dan dilindungi oleh hukum Allah., termasuk didalamnya amanat yang dibebankan oleh agama dan yang dibebankan oleh masyarakat dan juga perorangan sehingga tercapai masyarakat yang damai dan sejahtera.

Asas kedua :mengandung makna bahwa pemerintah berkewajiban mengatur masyarakat dengan membuat aturan-aturan hukum yang adil berkenaan dengan masalah-masalah yang tidak diatur secara rinci atau didiamkan oleh hukum Allah. Dengan demikian, penyelenggaraan pemerintahan berjalan diatas hukum dam bukan atas dasar kehendak pemerintah atau pejabat negara. Adanya kreteria keadilan dalam pembuatan hukum parundang-undangan menghendaki agar hukum yang dibuat itu berorentasi kepada fitrah atau kodrat manusia.

Asas ketiga: mengandung makna wajibnya hukum-hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Sunnah ditaati. Demikian pula hukum perundang-undangan dan juga kebijakan pemerintah wajib ditaati. Kewajiban taat ini tidak hanya di bebankan kepada rakyat, tetapi juga dibebankan kepada pemerintah/pejabat. Oleh karena itu, hukum perundang-undangan dan kebijakan politik yang diambil pemerintah harus sejalan dan tidak boleh bertentangan dengan hukum agama. Jika tidak demikian, maka kewajiban rakyat kepada hukum dan kebijakan yang bersangkutan telah gugur, karena agama melarang ketaatan pada maksiat.
Sedangkan

Asas keempat: menghendaki agar hukum-hukum perundang-undangan dan kebijakan politik ditetapkan melalui musyawarah di antara mereka yang berhak. Masalah yang diperselisihkan di anatara para peserta musyawarah harus diselesaikan dengan menggunakan ajaran-ajaran dan cara-cara yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. Untuk maksud tersebut, diperlukan rumusan metode pembinaan hukum perundang-umdangan dan tata cara atau mekanisme musyawarah yang bersumber dari ajaran-ajaran Al-Qur’an dan Sunnah.  Maka jika di kaitkan dengan Tugas dan wewenang lembaga-lembaga diataskeempat asas ini sangat Relevan dan signifikan untuk di jadikan pondasi dasar pada setiap kebijakan dan keputusan yang berakhir pada realisasi/aplikasi di masyarakat. Jika demikian nyatanya saya sangat yakin Masyarakat akan hidup damai dan sejahtera di dunia dan akhirat.[6]


E.                Etika dalam membangun hubungan antar lembaga pemerintah

Etika Pemerintahan Dalam hubungannya dengan kegiatan pemerintahan, dikenal legitimasi sebagai dasar untuk mengukur etika dalam kekuasaan pemerintahan. Pemerintah yang mempunyai legitimasi etis adalah pemerintah yang dalam perbuatannya menyesuaikan dasar-dasar kekuasaannya dengan norma-norma moral yang berlaku dalam masyarakat. Menurut Max Weber, ciri-ciri legitimasi etis adalah,
1) Penyesuaian persoalan-persoalan kekuasaan secara etis, dalam arti berdasarkan nilai-nilai moral dalam masyarakat;
2) Perilaku kekuasaan didasarkan landasan etika yang dihubungkan dengan ajaran atau ideology                              
Setiap perbuatan dilakukan secara umum dan tidak hanya kepentingan tertentu (vested interest). Etika lebih banyak berbicara tentang baik dan buruk, bukan benar atau salah sebab yang berbicara tentang benar atau salah adalah hukum. Baik dan buruk lebih didasarkan norma dan tata krama yang pada umumnya tidak tertulis tetapi telah disepakati oleh masyarakat sebagai suatu tata nilai.
etika pemerintahan tidak terlepas dari filsafat pemerintahan. filsafat pemerintahan adalah prinsip pedoman dasar yang dijadikan sebagai fondasi pembentukan dan perjalanan roda pemerintahan yang biasanya dinyatakan pada pembukaan UUD negara.[7]
Dari segi etika, pemerintahan adalah perbuatan atau aktivitas yang erat kaitannya dengan manusia dan kemanusiaan. Oleh karena itu perbuatan atau aktivitas pemerintahan tidak terlepas dari kewajiban etika dan moralitas serta budaya baik antara pemerintahan dengan rakyat, antara lembaga/pejabat publik pemerintahan dengan pihak ketiga. Perbuatan semacam ini biasanya disebut Prinsip Kepatutan dalam pemerintahan dengan pendekatan moralitas sebagi dasar berpikir dan bertindak. Prinsip kepatutan ini menjadi fondasi etis bagi pejabat publik dan lembaga pemerintahan dalam melaksanakan tugas pemerintahan.
Etika pemerintahan disebut selalu berkaitan dengan nilai-nilai keutamaan yang berhubungan dengan hak-hak dasar warga negara selaku manusia sosial (mahluk sosial). Nilai-nilai keutamaan yang dikembangkan dalam etika pemerintahan adalah :
1. Penghormatan terhadap hidup manusia dan HAM lainnya                .
2. kejujuran baik terhadap diri sendiri maupun terhadap manusia lainnya(honesty).
3. Keadilan dan kepantasan merupakan sikap yang terutama harus diperlakukan terhadap orang lain.
4. kekuatan moralitas, ketabahan serta berani karena benar terhadap godaan(fortitude).
5.Kesederhanaan dan pengendalian diri (temperance)
6. Nilai-nilai agama dan sosial budaya termasuk nilai agama agar manusia harus bertindak secara profesionalisme dan bekerja keras.
Karena pemerintahan itu sendiri menyangkut cara pencapaian negara dari prespekti dimensi politis, maka dalam perkembangannya etika pemerintahan tersebut berkaitan dengan etika politik. Etika politik subyeknya adalah negara, sedangkan etika pemerintahan subyeknya adalah elit pejabat publik dan staf pegawainya                                .
Etika politik berhubungan dengan dimensi politik dalam kehidupan manusia yaitu berhubungan dengan pelaksanaan sistem politik seperti contoh : tatanan politik, legitimasi dan kehidupan politik. Bentuk keutamaannya seperti prinsip demokrasi(kebebasan berpendapat), harkat martabat manusia (HAM), kesejahteraan rakyat. Etika politik juga mengharuskan sistem politik menjunjung nilai-nilai keutamaan yang harus dapat dipertanggungjawabkan secara etis maupun normatif. Misalnya legitimasi politik harus dapat dipertanggungjawabkan dengan demikian juga tatanan kehidupan politik dalam suatu negara. Etika pemerintahan berhubungan dengan keutamaan yang harus dilaksanakan oleh para elit pejabat publik dan staf pegawai pemerintahan.
Oleh karena itu dalam etika pemerintahan membahas prilaku penyelenggaraan pemerintahan, terutama penggunaan kekuasaan, kewenangan termasuk legitimasi kekuasaan dalam kaitannya dengan tingkah laku yang baik dan buruk. Wujud etika pemerintahan tersebut adalah aturan-aturan ideal yang dinyatakan dalam UUD baik yang dikatakan oleh dasar negara (pancasila) maupun dasar-dasar perjuangan negara (teks proklamasi)                                  .
Di Indonesia wujudnya adalah pembukaan UUD 1945 sekaligus pancasila sebagai dasar negara (fundamental falsafah bangsa) dan doktrin politik bagi organisasi formil yang mendapatkan legitimasi dan serta keabsahan hukum secara de yure maupun de facto oleh pemerintahan RI, dimana pancasila digunakan sebagai doktrin politik organisasinya                              .Etika berkenaan dengan sistem dari prinsip – prinsip moral tentang baik dan buruk dari tindakan atau perilaku manusia dalam kehidupan sosial.
Etika berkaitan erat dengan tata susila ( kesusilaan ), tata sopan santun ( kesopanan ) dalam kehidupan sehari-hari yang baik dalam keluarga, masyarakat, pemerintahan, bangsa dan negara. Etika dalam kehidupan didasarkan pada nilai, norma, kaidah dan aturan. Etika berupa : etika umum ( etika sosial ) dan etika khusus ( etika pemerintahan ).[8]

  BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Sistem pemerintahan negara menggambarkan adanya lembaga-lembaga yang bekerja dan berjalan saling berhubungan satu sama lain menuju tercapainya tujuan penyelenggaraan negara. Lembaga-lembaga negara dalam suatu sistem politik meliputi empat institusi pokok, yaitu eksekutif, birokratif, legislatif, dan yudikatif. Selain itu, terdapat lembaga lain atau unsur lain seperti parlemen, pemilu, dan dewan menteri.

Pembagian sistem pemerintahan negara secara modern terbagi dua, yaitu presidensial dan ministerial (parlemen). Pembagian sistem pemerintahan presidensial dan parlementer didasarkan pada hubungan antara kekuasaan eksekutif dan legislatif. Dalam sistem parlementer, badan eksekutif mendapat pengwasan langsung dari legislatif. Sebaliknya, apabila badan eksekutif berada diluar pengawasan legislatif maka sistem pemerintahannya adalah presidensial. Dalam sistem pemerintahan negara republik, lebaga-lembaga negara itu berjalan sesuai dengan mekanisme demokratis, sedangkan dalam sistem pemerintahan negara monarki, lembaga itu bekerja sesuai dengan prinsip-prinsip yang berbeda.

Sesuai dengan fungsi-fungsi yang diselenggarakan, lembaga-lembaga tersebur dapat dipilih atas: (1) lembaga legeslatif (majlis taqnin), (2) lembaga eksekutif (majlis tanfidz), (3) lembaga yudikatif (majlis qadla). Lembaga yang pertama mempunyai dan menjalankan kekuasaan membuat peraturan perundang-undangan berkenaan dengan masalah-masalah bukan aqidah dan ritual dan yang tidak diatur secara tegas oleh Al-Qur’an dan Sunnah; juga peraturan yang berkenaan dengan pelaksanaan hukum Allah. Sedangkan lembaga yang kedua mempunyai dan menjalankan kekuasan untuk menerapkan hukum Allah dan hukum perundang-undangan. diatas adalah perlunya wali terpilih di baiat oleh rakyat. Al-Qur’an tidak memberikan petunjuk teknis bagaimana seorang wali atau kepala pemerintahan dipilih. Juga Rasulullah SAW tidak membicarakan atau menunjuk siapa yang akan menggantikannya dalam kedudukannya sebagai pemimpin umat Islam sesudahnya. İni dipandang sebagi suatu isyarat bahwa persoalan kepemimpinan umat diserahkan agar diselesaikan sendiri oleh umat İslam melalui musyawarah. Dan cara seperti ini telah dilaksanakan oleh sahabat-sahabat Nabi dalam mengangkat Khulafa Rasyidin. Musyawarah itu sendiri masih merupakan proses pemilihan wali, sedangkan pembaiatan merupakan proses pengakuan dan legitimasi kedudukan dan kekuasaan wali

B. Saran-saran

Berdasarkan kesimpulan tersebut, makalah ini mempunyai banyak kekurangan dan jauhnya dari kesempurnaan, oleh karena itu segala kritik dan saran  yang bersifat membangun sangat lah penulis harapkan terutama dari bapak dosen pembimbing dan rekan pembaca sekalian demi kesempurnaan makalah ini dimasa mendatang, semoga makalah ini bermanfaat untuk kita semua dan menambah wawasan kita.


                                            
DAFTAR PUSTAKA

Muin salim, Abdul, Konsepsi Kekuasaan Politik Dalam Al-Qur’an, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2002.
Al-Maududi, Abu A’la, Sistem Politik Islam, judul asli “The Islamic Law and Constitution,” penerjemah Asep Hikmat. Bandung: Mizan, 1993.
Asad, Muhammad, Masalah Kenegaraan Dalam Islam, judul asli “Islamic Constitution Making. penerjemah Amirudin jamil dan Umar Amin Husin. Jakarta : Yayasan kesejahteraan umat, 1990.
Wahab khalaf, Abdul, PolitikHukum Islam, Jogjakarta : Tiara Wacana, 2005
Karim Zaidan, Abdul, Masalah Kenegaran Dalam Pandangan Islam, Jakarta : Yayasan Al-Amin, 1984
Shiddiq Al-jawi, Muhammad, Konsep Negara Islam Menurut Rasulullah dan Sahabat. 1997
Abu A’la Al-Maududi”Sistem Politik Islam” ( Bandung : Mizan, 1993), Cet II. hl. 247
Abdul Wahab Khalaf”Politik Hukum Islam” ( Jogjakarta : Tiara Wacana, 2005), cet II. hl. 47-48
Mohammad Asad”Masalah Kenegaraan dalam Islam” ( Jakarta : Yayasan Kesejahteraan Bersama), hl. 55
Abdul Karim Zaidan,”Masalah Kenegaraan Dalam Pandangan Islam”Jakarta : Yayasan Al-Amin, cet I. hl. 26



[1] Muin salim, Abdul, Konsepsi Kekuasaan Politik Dalam Al-Qur’an, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2002.
[2] Al-Maududi, Abu A’la, Sistem Politik Islam, judul asli “The Islamic Law and Constitution,” penerjemah Asep Hikmat. Bandung: Mizan, 1993.
[3] Asad, Muhammad, Masalah Kenegaraan Dalam Islam, judul asli “Islamic Constitution Making. penerjemah Amirudin jamil dan Umar Amin Husin. Jakarta : Yayasan kesejahteraan umat, 1990.
[4] Wahab khalaf, Abdul, PolitikHukum Islam, Jogjakarta : Tiara Wacana, 2005
[5] Karim Zaidan, Abdul, Masalah Kenegaran Dalam Pandangan Islam, Jakarta : Yayasan Al-Amin, 1984
[6] Shiddiq Al-jawi, Muhammad, Konsep Negara Islam Menurut Rasulullah dan Sahabat. 1997
[7] Mohammad Asad”Masalah Kenegaraan dalam Islam” ( Jakarta : Yayasan Kesejahteraan Bersama), hl. 55

[8] Abdul Wahab Khalaf”Politik Hukum Islam” ( Jogjakarta : Tiara Wacana, 2005), cet II. hl. 47-48

No comments:

Post a Comment

Adbox