Terbaru

LightBlog

Friday, October 27, 2017

Makalah Patologi Birokrasi


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Birokrasi
Beberapa Pengertian Birokrasi menurut Para Ahli :
1.      Hegel dan Karl Marx
Keduanya mengartikan birokrasi sebagai instrumen untuk melakukan pembebasan dan transformasi sosial.Hegel berpendapat birokrasi adalah medium yang dapat dipergunakan untuk menghubungkan kepentingan partikular dengan kepentingan general (umum). Sementara itu teman seperjuangannya, Karl Marx, berpendapat bahwa birokrasi merupakan instrumen yang dipergunakan oleh kelas yang dominan untuk melaksanakan kekuasaan dominasinya atas kelas-kelas sosial lainnya, dengan kata lain birokrasi memihak kepada kelas partikular yang mendominasi tersebut.
2.      Bintoro Tjokroamidjojo
Menurut Bintoro Tjokroamidjojo (1984) ”Birokrasi dimaksudkan untuk mengorganisir secara teratur suatu pekerjaan yang harus dilakukan oleh banyak orang”. Dengan demikian sebenarnya tujuan dari adanya birokrasi adalah agar pekerjaan dapat diselesaikan dengan cepat dan terorganisir.Bagaimana suatu pekerjaan yang banyak jumlahnya harus diselesaikan oleh banyak orang sehingga tidak terjadi tumpang tindih di dalam penyelesaiannya, itulah yang sebenarnya menjadi tugas dari birokrasi.
3.      Blau dan Page
Blau dan Page (1956) mengemukakan ”Birokrasi sebagai tipe dari suatu organisasi yang dimaksudkan untuk mencapai tugas-tugas administratif yang besar dengan cara mengkoordinir secara sistematis (teratur) pekerjaan dari banyak orang”. Jadi menurut Blau dan Page, birokrasi justru untuk melaksanakan prinsip-prinsip organisasi yang ditujukan untuk meningkatkan efisiensi administratif, meskipun kadangkala di dalam pelaksanaannya birokratisasi seringkali mengakibatkan adanya ketidakefisienan.
4.      Isman Dengan mengutip pendapat dari Mouzelis, Ismani (2001) mengemukakan ”Bahwa dalam birokrasi terdapat aturan-aturan yang rasional, struktur organisasi dan proses berdasarkan pengetahuan teknis dan dengan efisiensi dan setinggi-tingginya. Dari pandangan yang demikian tidak sedikitpun alasan untuk menganggap birokrasi itu jelek dan tidak efisien”.
5.      Fritz Morstein Marx Dengan mengutip pendapat Fritz Morstein Marx, Bintoro Tjokroamidjojo (1984) mengemukakan bahwa birokrasi adalah ”Tipe organisasi yang dipergunakan pemerintahan modern untuk pelaksanaan berbagai tugas-tugas yang bersifat spesialisasi, dilaksanakan dalam sistem administrasi yang khususnya oleh aparatur pemerintahan”.
6.      Riant Nugroho Dwijowijoto  Dengan mengutip Blau dan Meyer, Dwijowijoto (2004) menjelaskan bahwa ”Birokrasi adalah suatu lembaga yang sangat kuat dengan kemampuan untuk meningkatkan kapasitas-kapasitas potensial terhadap hal-hal yang baik maupun buruk dalam keberadaannya sebagai instrumen administrasi rasional yang netral pada skala yang besar”. Selanjutnya dikemukakan bahwa ”Di dalam masyarakat modern, dimana terdapat begitu banyak urusan yang terus-menerus dan ajeg, hanya organisasi birokrasi yang mampu menjawabnya. Birokrasi dalam praktek dijabarkan sebagai pegawai negeri sipil”.
Menurut Taliziduhu Ndraha, Miftah Thoha, Peter M. Blau, David Osborne, JW Schoorl) Patologi birokrasi adalah penyakit, perilaku negatif, atau penyimpangan yang dilakukan pejabat atau lembaga birokrasi dalam rangka melayani publik, melaksanakan tugas, dan menjalankan program pembangunan.
B.     Fungsi Birokrasi
Birokrasi, dalam keadaan demikian, hanya berfungsi sebagai pengendali, penegak disiplin, dan penyelenggara pemerintahan dengan kekuasaan yang sangat besar, tetapi sangat mengabaikan fungsi pelayanan masyarakat. Buruk serta tidak transparannya kinerja birokrasi bisa mendorong masyarakat untuk mencari ”jalan pintas” dengan suap atau berkolusi dengan para pejabat dalam rekrutmen pegawai atau untuk memperoleh pelayanan yang cepat. Situasi seperti ini pada gilirannya seringkali mendorong para pejabat untuk mencari ”kesempatan” dalam ”kesempitan” agar mereka dapat menciptakan rente dari pelayanan berikutnya. 
Apabila ditelusuri lebih jauh, gejala patologi dalam birokrasi, menurut Sondang P. Siagian, bersumber pada lima masalah pokok.
  1. Pertama, persepsi gaya manajerial para pejabat di lingkungan birokrasi yang menyimpang dari prinsip-prinsip demokrasi. Hal ini mengakibatkan bentuk patologi seperti: penyalahgunaan wewenang dan jabatan menerima sogok, dan nepotisme.
  2. Kedua, rendahnya pengetahuan dan keterampilan para petugas pelaksana berbagai kegiatan operasional, mengakibatkan produktivitas dan mutu pelayanan yang rendah, serta pegawai sering berbuat kesalahan.
  3. Ketiga, tindakan pejabat yang melanggar hukum, dengan ”penggemukan” pembiayaan, menerima sogok, korupsi dan sebagainya.
  4. Keempat, manifestasi perilaku birokrasi yang bersifat disfungsional atau negatif, seperti: sewenang-wenang, pura-pura sibuk, dan diskriminatif.
  5. Kelima, akibat situasi internal berbagai instansi pemerintahan yang berakibat negatif terhadap birokrasi, seperti: imbalan dan kondisi kerja yang kurang memadai, ketiadaan deskripsi dan indikator kerja, dan sistem pilih kasih. Jenis Patologi Birokrasi Menurut Sondang P. Siagian (1988) ada beberapa patologi birokrasi yang dapat dijumpai, antara lain :
a)      Penyalahgunaan wewenang dan tanggung jawab
b)      Pengaburan masalah
c)      Indikasi korupsi, kolusi dan nepotisme
d)     Indikasi mempertahankan status quo
e)      Empire bulding (membina kerajaan)
f)       Ketakutan pada perubahan, inovasi dan resiko
g)      Ketidakpedulian pada kritik dan saran
h)      Takut mengambil keputusan
i)        Kurangnya kreativitas dan eksperimentasi
j)        Kredibilitas yang rendah, kurang visi yang imajinatif,
k)      Minimnya pengetahuan dan keterampilan, dll.

C.    Jenis Patologi Sistem Organisasi Birokrasi
Jenis Patologi Sistem Organisasi Birokrasi “parkinsonian”, dimana terjadinya proses pertumbuhan jumlah personil dan pemekaran struktur dalam birokrasi secara tidak terkendali. Pemekaran yang terjadi bukan karena tuntutan fungsi, tetapi semata-mata untuk memenuhi tuntutan struktur dan kekuasaan. Birokrasi “orwellian” yakni proses pertumbuhan kekuasaan birokrasi atas masyarakat, sehingga kehidupan masyarakat menjadi dikendalikan oleh birokrasi. Promosi dan rotasi bukan atas dasar kompetensi dan kebutuhan organisasi tetapi kepentingan kekuasaan dan dilakukan
  1. Ritualisme/simbolisme: berbagai kegiatan serimonial yang berlebihan
  2. Kinerja yang rendah (tokenisme) atau paling tinggi mediocre : pemborosan, tidak efektif.
Ada beberapa hal lain yang termasuk kedalam patologi birokrasi Organisasi atau kelompok antara lain : 
  1. Terlalu percaya pada preseden, padahal tuntutan telah berubah. 
  2. Formalisme dan Kurang inisiatif (takut membuat kesalahan) 
  3. Inertia (lamban dalam berbagai urusan/keputusan) 
  4. Duplikasi kegiatan dan departementalisme Red tape (cara kerja yang berbelit-belit dan ditunda-tunda) 
  5. Peraturan dijadikan tujuan dan menjadi senjata para birokrat untuk melindungi kepentingannya dan mempertahankan status quo. 
  6. Budaya korupsi ( korupsi berjamaah) : discretionary corruption: diskriminasi, spoil system, kolusi illegal corruption: menyalahi aturan yang ada mercenary corruption: penggelapan uang, komisi, suap, kuitansi fiktif,mark up, ruislag, ideological corruption: Kebijakan yang memihak partai/ideologi 

D.    Jenis Patologi Perilaku Birokrat
  1. Penyalahgunaan wewenang dan jabatan (korupsi): menerima suap, markup, menetapkan imbalan, kontrak fiktif, penipuan.
  2. Tindakan sewenang-wenang: ekstorsi (pemerasan secara kasar/halus). Misalnya: pemotongan insentif, rapel, gaji dsb
  3. Empire Building dengan menciptakan para aktor dependent disekelilingnya: promosi (pangkat dan jabatan) , bonus dsb.
  4. Nepotisme/primordialisme : perekrutan dan penempatan posisi atas dasar “pertalian darah” /kesukuan kedaerahan bukan kompetensi.
  5. Sycophancy (kecenderungan ingin memuaskan atasan dengan cara yang counter productive)
  6. Konsumerisme dan hedonisme
  7. Takut mengambil keputusan/mengambil resiko (Decidiophiobia):
  8. Mutu Pelayanan terhadap pelanggan rendah: acuh tak acuh , pura-pura sibuk, tidak sopan, diskriminasi.
  9. Disiplin dan Semangat kerja umumnya rendah
  10. Armandiloisme : mamalia penggangsir yang melindungi diri dengan memo, rapat dan perangkat peraturan
  11. Hyperpolysyllabicomia: gemar memakai kata-kata jargon (samar) dan yang muluk untuk menutupi kelemahannya Penyelesaian Masalah Atau Solusi Patologi Birokrasi Ada penyakit ada pula obatnya.

E.     Pengertian Patologi birokrasi
Patologi Birokrasi (Bureaupathology) adalah himpunan dari perilaku-perilaku yang kadang-kadang disibukkan oleh para birokrat.Fitur dari patologi birokrasi digambarkan oleh Victor A Thompson seperti “sikap menyisih berlebihan, pemasangan taat pada aturan atau rutinitas-rutinitas dan prosedur-prosedur, perlawanan terhadap perubahan, dan desakan picik atas hak-hak dari otoritas dan status.
Prof. Dr. Sondang P. Siagian, MPA., (1988) mengatakan bahwa pentingnya patologi ialah agar diketahui berbagai jenis penyakit yang mungkin diderita oleh manusia. Analogi itulah yang berlaku pula bagi suatu birokrasi.Artinya agar seluruh birokrasi pemerintahan negara mampu menghadapi berbagai tantangan yang mungkin timbul baik bersifat politik, ekonomi, sosio-kultural dan teknologikal.
Risman K. Umar (2002) mendifinisikan bahwa patologi birokrasi adalah penyakit atau bentuk perilaku birokrasi yang menyimpang dari nilai-nilai etis, aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan perundang-undangan serta norma-norma yang berlaku dalam birokrasi.
Patologi birokrasi adalah penyakit dalam birokrasi Negara yang muncul akibat perilaku para birokrat dan kondisi yang membuka kesempatan untuk itu, baik yang menyangkut politis, ekonomis, social cultural dan teknologikal.
Patologi birokrasi atau penyakit birokrasi adalah “hasil interaksi antara struktur birokrasi yang salah dan variabel-variabel lingkungan yang salah”.Patologi birokrasi muncul dikarenakan hubungan antar variabel  pada struktur birokrasi yang terlalu berlebihan, seperti rantai hierarki panjang, spesialisasi, formalisasi dan kinerja birokrasi yang tidak linear.

F.     Macam-Macam Patologi Birokrasi Antara Lain:
  1. Paternalistik, yaitu atasan bagaikan seorang raja yang wajib dipatuhi dan dihormati, diperlakukan spesial, tidak ada kontrol secara ketat, dan pegawai bawahan tidak memiliki tekad      untuk mengkritik apa saja yang telah dilakukan atasan. Hal tersebut menjadikan pelayanan publik kurang maksimal dikarenakan sikap bawahan yang terlalu berlebihan terhadap atasan sehingga birokrasi cenderung mengabaikan apa yang menjadi kepentingan masyarakat sebagai warga negara yang wajib menerima layanan sebaik mungkin;
  2. Pembengkakan  anggaran, terdapat beberapa alasan mengapa hal ini sering terjadi yaitu: semakin besar anggaran yang dialokasikan untuk kegiatan semakin besar pula peluang untuk memark-up anggaran, tidak adanya kejelasan antara biaya dan pendapatan dalam birokrasi publik, terdapatnya tradisi memotong anggaran yang diajukan pada proses perencanaan anggaran sehingga memunculkan inisiatif pada orang yang mengajukan anggaran untuk melebih-lebihkan anggaran, dan kecenderungan birokrasi mengalokasikan anggaran atas dasar input. Pembengkakan anggaran akan semakin meluas ketika kekuatan civil society lemah dalam mengontrol pemerintah;
  3. Prosedur yang berlebihan akan mengakibatkan pelayanan menjadi berbelit-belit dan kurang menguntungkan bagi masyarakat ketika dalam keadaan mendesak;
  4. Pembengkakan birokrasi, dapat dilakukan dengan menambah jumlah struktur pada birokrasi dengan alasan untuk meringankan beban kerja dan lain-lain yang sebenarnya struktur tersebut tidak terlalu diperlukan keberadaannya. Akibatnya banyak dana APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) yang dikeluarkan oleh pemerintah yang secara tidak langsung dapat merugikan Negara. Sehingga anggaran menjadi kurang tepat sasaran; dan
  5. Fragmentasi birokrasi, banyaknya kementerian baru yang dibuat oleh pemerintah lebih sering tidak didasarkan pada suatu kebutuhan untuk merespon kepentingan masyarakat agar lebih terwadahi tetapi lebih kepada motif tertentu.
Prof. Dr. Sondang P. Siagian, MPA (1994) menyebut serangkaian contoh penyakit (patologi) birokrasi yang lazim dijumpai. Penyakit – penyakit tersebut dapat dikategorikan dalam lima macam :
  1. Patologi yang timbul karena persepsi dan gaya menejerial para pejabat dilingkungan birokrasi (birokrat). Diantara patologi jenis ini antara lain, penyalahgunaan wewenang dan jabatan, menerima suap, arogansi dan intimidasi, kredibilitas rendah, dan nepotisme.
  2. Patologi yang timbul karena kurangnya atau rendahnya pengetahuan ketrampilan para petugas pelaksana berbagai kegiatan operasional. Diantara patologi jenis ini antara lain, ketidaktelitian dan ketidakcekatan, ketidakmampuan menjabarkan kebijakan pimpinan, rasa puas diri, bertindak tanpa pikir, kemampuan rendah, tidak produktif, dan kebingungan.
  3. Patologi yang timbul karena karena tindakan para anggota birokrasi melanggar norma hukum dan peraturan perundang – undangan yang berlaku. Diantara patologi jenis ini antara lain, menerima suap, korupsi, ketidakjujuran, kleptokrasi, dan mark up anggaran.
  4. Patologi yang dimanifestasikan dalam perilaku para birokrasi yang bersifat disfungsional atau negatif. Diantara patologi jenis ini antara lain, bertindak sewenang-wenang, konspirasi, diskriminatif, dan tidak disiplin.
  5. Patologi yang merupakan akibat situasi internal dalam berbagai instansi di lingkungan pemerintah. Diantara patologi jenis ini antara lain, eksploitasi bawahan, motivasi tidak tepat, beban kerja berlebihan, dan kondisi kerja kurang kondusif.
Adapun ruang lingkup patologi birokrasi itu sendiri bila menggunakan terminologi Smith berkenaan dengan kinerja birokrasi yang buruk, dapat dipetakan dalam dua konsep besar yakni :
  1. Disfunctions of bureaucracy, yakni berkaitan dengan struktur, aturan, dan prosedur atau berkaitan dengan karakteristik birokrasi atau birokrasi secara kelembagaan yang jelek, sehingga tidak mampu mewujudkan kinerja yang baik, atau erat kaitannya dengan kualitas birokrasi secara institusi.
  2. Mal administration, yakni berkaitan dengan ketidakmampuan atau perilaku yang dapat disogok, meliputi :perilaku korup, tidak sensitive, arogan, misinformasi, tidak peduli dan bias, atau erat kaitannya dengan kualitas sumber daya manusianya atau birokrat yang ada di dalam birokrasi.
G.    Latar Belakang Munculnya Patologi Birokrasi
Birokrasi merupakan wujud terbaik organisasi karena menyediakan konsistensi, kesinambungan, kemungkinan meramalkan, stabilitas, sifat kewaspadaan, kinerja efisien dari tugas-tugas, hak keadilan, rationalsm, dan profesionalisme. Ikhtisar singkat dari keuntungan-keuntungan birokrasi pemerintah adalah: efisien, ideal dan cocok untuk memperkecil pengaruh dari politik dan pribadi di dalam keputusan-keputusan organisatoris serta wujud terbaik organisasi karena membiarkan memilih pejabat-pejabat untuk mengidentifikasi dan mengendalikan yang bertanggung jawab untuk siapa atas apa yang dilakukan  karena orientasi lebih pada melayani pemerintah, tidak lagi menjadi alat rakyat tetapi telah menjadi instrumen politis dengan sifat sangat otoritatif dan represif.
Kutipan Lord Acton (1972), ”Power tends to corrupt, abolute power corrupt absolutlely” (Kekuasan cenderung untuk berbuat korupsi, kekuasan yang absolut berkorupsi secara absolut pula). Namun pendapat Acton bahwa absolutism dapat menjadikan kesempatan korupsi itu lebih mudah.Hal ini tentu karena lemahnya bahkan tidak adanya kontol dari luar.Tanpa akuntabilitas, korupsi ‘berjamaah’ para birokrat sulit sekali diungkap. Namun, Birokrasi Weberian yang diharapkan akan menghasilkan hal-hal yang telah tersebut di atas, ternyata tidak berjalan sebagaimana mestinya. Menurut Islamy (1998:8), birokrasi di kebanyakan negara berkembang termasuk Indonesia cenderung bersifat patrimonialistik : tidak efesien, tidak efektif (over consuming and under producing), tidak obyektif, anti terhadap kontrol dan kritik, tidak mengabdi kepada kepentingan umum.
Birokrasi dalam perkembangannya dewasa ini dipersiapkan sebagai penyelenggaraan Negara kgususnya penyelenggaraan pemerintah, sehinga muncul tiga istilah yaitu : birokrat, politisi, dan akademisi. Saluran-saluran yang harus dilalui ketiga istilah ini adalah : birokrat saluran kegiatannya adalah penyelenggaraan pemerintah, sehingga apartur pemerintah dikategorikan birokrat. Politisi saluranya adalah jabatan-jabatan politik dalam Negara yang perolehannya melalui aktivitas partai polotik.Sedangkan akademisi salurannya kepada dunia pendidikan terutama kepada pendidikan tinggi.Bila merenungkan rumusan Weber bahwa birokrasi itu merupakan ciri oraganisasi yang berdasarkan dengan struktur, berhaerarki, rasionalitas, keteraturam dan lain sebagainya, maka dikotomi ketiga istilah diatas sebenarnya terhimpun dalam satu kesatuan wadah yang diistilahkan birokrasi.
Berdasarkan urian tersebut maka birokrasi merupakan wadah yang menghimpun idealsme, keinginan, pemikiran, penalaran dan lain sebagainya dari birokrat, politisi maupun akademisi yang beraneka ragam bentuk dan karakternya dalam suatu organisasi Negara.
Para birokrat, politisi, akademisi dan bahkan seluruh lapisan masyarakat adalah komunitas manusia yang memiliki :
a.       Rasionalitas yang dapat difungsikan untuk menentukan factor-faktor  yang positif dalam interaksi dan reaksi manusia dari seluruh aspek yang ada disekitarnya.
b.      Kebuasaan yang sangat kejam dimana binatang yang paling buas bagi manusia dapat dipunahkan tetapi binatang tidak pernah memunahkan manusia.
c.       Sifat rasionalitas dan kebuasan manusia ini dalam kehidupan birokrasi dapat dimanfaatkan dengan baik apabila pengelolaannya dan pengaturannya sesuai dengan kaidah-kaidah dan norma yang tepat.
d.      Manusia dalam birokrasi dengan kodratinya memiliki kreativitas untuk pengembangkan birokrasi.James R Evans mengemukakan pengertian kreativitas adalah keterampilan untuk menetukan pertalian, melihat subyek dan perspektif baru, dan membetik kombinasi-kombinasi baru dari dua atau lebih konsep yang telah tercetak dalam pemikiran. Berdasarkan pandangan ini kita dapat merumuskan kreativitas birokrasi yang dapat dikatakan pertalian antara cara berpikir dengan cara bertinadak setiap manusia individu dalam ikatan birokrasi sehingga menghasilkan sesuatu baik yang berkaitan dengan pemikitan atau penalaran mauun yang berkaitan dengan hasil kerja dari setiap individu yang dapat digunakan atau dimanfaatkan untuk pertumbuhan atau perkembangan birokrasi dan kesejahteraan anggota birokrasi.
e.       Pengembangan birokrasi pada masa periode tertentu senatiasa mengalami perubahan secara fluktuatif, tidak ada sesuatu perubahan yang terjadi dalam sebuah birokraasi yang selalu mengarah kepada perbahan secara positif , misalnya selalu memperoleh keuntungan dalam berusaha atau senantiasa memperoleh kamudahan dalam penyelesaian sesuatu kegiatan. Tetapi kondisi negative, misalnya mengalami kerugian, menghadapi permasalahan dalam pelaksanaan suatu kegiatan. Mengapa demikian ?karena aktivitas birokrasi banyak dipengaruhi oleh kondisi politik yang sedang bereaksi untuk mendapatkan suatu kekuasaan yang diistilahkan dengan otoritas. Bila kita mengidentifikasi otoritas dalam suatu birokrasi   kita dapat kemukakan argumentasi sebagai bahan penghayatan sebagai berikut : Otoritas kharismatik, otoritas tradisional, otoritas legal.
f.       Kekuasaan dan kewenangan manusia yang terkait dalam sebuah birokrasi memiliki tingkatan yang berbeda-beda, semakin tinggi posisi seseorang maka kekuasaan dan kewenangan semakin besar, tetapi penyelesaian dalam berbagai aktivitas semakin kecil. Demikian pula sebaliknya bila posisi seseorang semakin rendah,  semakin kecil pula kekuasaan dan kewenangan yang di miliki, tetapi semakin besar tanggung jawab penyelesaian aktivitas. Fenomena ini dalam birokrasi mendorong manusia untuk berusaha menciptakan kemampuan untuk dapat merebut kekuasaan dan kewenangan yang lebih tinggi.
g.      Perebutan kekuasaan dan kewengan yang tidak di dasarkan pada profesionalisme, rasionalisme, dan moralitas merupakan suatu penyakit atau patologi dalam birokrasi. 
Prof. Dr. Sondang  P Siagian MPA dalam bukunya ”Patologi Birokrasi: Analisis, Identifikasi dan Terapinya” (1994) menyebut serangkaian contoh penyakit (patologi) birokrasi yang lazim dijumpai. Penyakit – penyakit tersebut dapat dikategorikan yakni :
1)      Persepsi gaya manajerial para pejabat dilingkungan birokrasi yang menyimpang dari prinsip prinsip demokrasi. Hal ini mengakibatkan bentuk patologi seperti penyalahgunaan wewenang dan jabatan menerima sogok dan nepotisme
2)      Rendahnya pengetahuan dan keterampilan para petugas pelaksana berbagai kegiatan operasional mengakibatkan produktivitas dan mutu pelayanan yang rendah, serta pegawai sering berbuat kesalahan
3)      Tindakan pejabat yang melanggar hukum dengan penggemukan pembiayaan, menerima sogok, korupsi dan sebagainya.
4)      Manifestasi perilaku birokrasi yang bersifat disfungsional atau negatif seperti sewenang wenang, pura pura sibuk dan diskriminaitf
5)      Akibat situasi internal berbagai instansi pemerintahan yang berakibat negatif terhadap birokrasi seperti imbalan dan kondisi kerja yang kurang memadai, ketiadaan deskripsi dan indikator kerja dan sistem pilih kasih.

H.    Pemecahan Masalah Patologi Birokrasi
Banyaknya penyakit yang melekat pada birokrasi, maka dari itu diperlukan adanya suatu penanggulangan untuk memperbaiki birokrasi agar lebih baik, cepat tanggap dan mampu merespon apa yang menjadi kepentingan masyarakat. Beberapa hal yang perlu dilakukan dalam rangka mengatasi birokrasi atau bahasa lainnya menyembuhkan penyakit-penyakit kronis yang melekat pada birokrasi yaitu, mengembangkan kebijakan pembangunan birokrasi yang holistis (menyeluruh) agar mampu menyentuh semua dimensi baik itu sistem, struktur, budaya, dan perilaku birokrasi; mengembangkan sistem politik yang demokratis dan mampu mengontrol jalannya pemerintahan dengan maksud agar pemerintah lebih transparan, tanggung jawab terhadap apa yang mereka lakukan dan masyarakat dengan mudah mengakses informasi publik; mengembangkan birokrasi berbasis teknologi informasi dan komunikasi seperti, e-government, e-procurement untuk mempermudah interaksi antara masyarakat dengan para pemberi layanan[8].Akan tetapi sistem berbasis teknologi tersebut tetap perlu dimonitoring dan dikawal terkait dengan pengimplementasiannya guna meminimalisir terjadinya kecurangan yang dilakukan birokrasi.
Berikut alternatif pemecahan masalah patologi di tubuh birokrasi dalam membangun pelayanan publik yang efisien, responsif, dan akuntabel dan transparan perlu ditetapkan kebijkan yang menjadi pedoman perilaku aparat birokrasi pemerintah sebagai berikut :
  1. Dalam hubungan dengan berpola patron klien tidak memiliki standar pelayanan yang jelas/pasti, tidak kreatif. Perlu membuat peraturan Undang – Undang pelayanan publik yang memihak pada rakyat.
  2. Dalam hubungan dengan struktur yang gemuk, kinerja berbelit – belit, perlu dilakukan restrukturisasi brokrasi pelayanan publik.
  3. Untuk mengatasi Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme selain hal diatas diharapkan pemerintah menetapkan perundangan dibidang infomatika (IT) sebagai bagian pengembangan dan pemanfaatan e Goverment agar penyelenggaraan pelayanan publik terdapat transparasi dan saling kontrol.
  4. Setiap daerah provinsi dan kabupaten dituntut membuat Perda yang jelas mengatur secara seimbang hak dan kewajiban dari penyelenggara dan pengguna pelayanan publik.
  5. Setiap daerah diperlukan lembaga Ombusman. Lembaga ini bisa berfungsi ingin mendudukan warga pada pelayanan yang prima. Ombusman harus diberikan kewenangan yang memadai untuk melakukan investigasi dan mencari penyelesaian yang adil terhadap perselisihan antara pengguna jasa dan penyelenggara dalam proses pelayanan publik.
  6. Peran kualitas sumber daya aparatur sangat mempengaruhi kualitas pelayanan, untuk itu kemampuan kognitif yang bersumber dari intelegensi dan pengalaman, skill atau ketrampilan, yang didukung oleh sikap (attitude) merupakan faktor yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah patologi atau penyakit birokrasi yang berhubungan dengan pelayanan publik. Untuk itu pelatihan diharapkan mampu menjadi program yang berkelanjutan agar sumber daya aparatur memeliki kecerdasan inteltual, emosional dan spiritual sebagai landasan dalam pelayanan publik.
Pengembangan sumber daya aparatur bukanlah satu – satunya cara untuk keluar dari kemelut birokrasi. Tetapi sebagai sebuah usaha tentu ada hasilnya, keseluruhan pembinaan kualitas birokrasi atau aparatur pemerintah setidaknya ada setitik pencerahan, namun harus tetap ditingkatkan secara terus menerus agar dapat diciptakan sosok birokrasi atau aparatur yang profesional dan berkarakter. Dengan usaha – usaha yang seperti telas disampaikan pada pembahasan diatas diharapkan dapat mewujudkan Good Governance. Meningkatkan profesionalisme birokrasi melalui perubahan paradigma, perilaku dan orientasi pelayanan kepada publik.
Secara lengkap berbagai penyebab munculnya patologi dan bentuk-bentuk patologi tersebut dapat diuraikan dalam tabel berikut.

I.       Penyebab dan Bentuk-bentuk Patologi Birokrasi
PERSEPSI DAN GAYA     MANAJERIAL PARA PEJABAT BIROKRASI
RENDAHNYA PENGETAHUAN &KETERAMPILAN PETUGAS
PELANGGARAN TERHADAP NORMA HUKUM
PERILAKU YANG BERSIFAT DISFUNGSIONAL
SITUASI INTERNAL DALAM BERBAGAI INSTANSI PEMERINTAHAN
Penyalahgunaan wewenang dan jabatan;
Persepsi yang didasarkan pada prasangka;
Pengaburan masalah;
Menerima sogok;
Pertentangan kepentingan;
Kecenderungan mempertahankan status quo;
Empire Building;
Sikap bermewah-mewah;
Pilih kasih;
Ketakutan pada perubahan, inovasi dan resiko;
Penipuan;
Sikap sombong;
Ketidakpedulian pada kritik dan saran;
Jarak kekuasaan;
Tidak mau bertindak;
Takut mengambil keputusan
Sikap menyalahkan orang lain;
Tidak adil;
Intimidasi;
Kurangnya komitmen;
Kurangnya koordinasi
Kurangnya kreativitas dan eksperimentasi;
Kreativitas yang rendah;
Kurangnya visi yang imajinatif;
Kedengkian;
Nepotisme;
Tindakan yang tidak rasional
Bertindak di luar wewenangnya;
Paranoia;
Sikap Opresif;
Patronase; Penyeliaan dengan pendekatan punitive;
Keengganan mendelegesaikan;
Keengganan memikul tanggung jawab;
Ritualisme;
Astigmatisme;
Xenophobia;
Ketidakmampuan menjabarkan kebijakan pimpinan;
Ketidaktelitian;
Rasa puas diri;
Bertindak tanpa pikir;
Kebingungan;
Tindakan yang counter productive;
Tidak adanya kemampuan berkembang;
Mutu hasil pekerjaan yang rendah;
Kedangkalan;
Ketidakmampuan belajar;
Ketidaktepatan tindakan;
Inkompetensi;
Ketidakcekatan;
Ketidakteraturan;
Melakukan kegiatan yang tidak relevan;
Sikap ragu-ragu;
Kurangnya imajinasi;
Kurangnya prakarsa;
Kemampuan rendah;
Bekerja tidak produktif;
Ketidakrapian;
Stagnasi.
Penggemukan pembiayaan;
Menerima sogo;
Ketidakjujuran;
Korupsi;
Tindakan kriminal;
Penipuan;
Kleptokrasi;
Kontrak fiktif;
Sabotase;
Tatabuku yang tidak benar;
Pencurian.
Bertindak sewenang-wenang;
Pura-pura sibuk;
Paksaan;
Konspirasi;
Sikap takut;
Penurunan mutu;
Tidak sopan;
Diskriminasi;
Cara kerja yang legalistil;
Dramatisasi;
Sulit dijangkau;
Sikap tidak acuh;
Tidak disiplin;
Inersia;
Sikap kaku (tidak fleksibel)
Tidak berperikemanusiaan;
Tidak peka;
Sikap tidak sopan;
Sikap lunak;
Tidak peduli mutu kinerja;
Salah tindak;
Semangat yang salah tempat;
Negativisme;
Melalaikan tugas;
Rasa tanggung jawab yang rendah;
Lesu darah (anorexia)
Paperasserie;
Melaksanakan kegiatan yang tidak relevan;
Cara kerja yang berelit-belit (red tape)
Kerahasiaan;
Pengutamaan kepentingan sendiri;
Suboptimasi
Sycophancy;
Tampering;
Imperatif wilayah kekuasaan;
Tokenisme;
Tidak professional;
Sikap tidak wajar;
Melampaui wewenang;
Vasted interest;
Pertentangan kepentingan;
Pemborosan;
Penempatan tujuan dan sasaran yang tidak tepat;
Kewajiban sosial sebagai beban;
Eksploitasi;
Ekstorsi;
Tidak tanggap;
Pengangguran terselubung;
Motivasi yang tidak tepat;
Imbalan yang tidak memadai;
Kondisi kerja yang kurang memadai;
Pekerjaan yang tidak kompatibel;
Inconvenience;
Tidak adanya indkator kinerja;
Kekuasaan kepemimpinan;
Miskomunikasi;
Misinformasi;
Beban kerja yang terlalu berat;
Terlalu banyak pegawai;
Sistem pilih kasih (spoil system);
Sasaran yang tidak jelas;
Kondisi kerja yang tidak aman;
Sarana dan prasarana yang tidk tepat;
Perubahan sikap yang mendadak.

Adapun beberapa jenis penyakit birokrasi yang sudah sangat dikenal dan dirasakan masyarakat yaitu ketika setiap mengurus sesuatu dikantor pemerintah, pengurusannya berbelit-belit, membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang besar, pelayanannya kurang ramah, terjadinya praktek kolusi, korupsi dan nepotisme dan lain-lain. Sedangkan penyakit birokrasi yang lebih sistemik banyak sebutan yang diberikan  terhadapnya yaitu antara lain; politisasi birokrasi, otoritarian birokrasi, birokrasi katabelece (Istianto, 2011:143).
Istilah patologi lazim digunakan dalam wacana akademis di lingkungan administrasi publik untuk menjelaskan berbagai praktik penyimpangan dalam birokrasi, seperti; paternalisme, pembengkakan anggaran, prosedur yang berlebihan, fragmentasi birokrasi, dan pembengkakan birokrasi (Dwiyanto, 2011:59). Untuk keperluan teoritik, maka dimensi-dimensi patologis yang disebutkan terakhir akan diuraikan secara singkat seperti berikut.
1.      Birokrasi Paternalistis
Perilaku birokrasi paternalistis adalah hasil dari proses interaksi yang intensif antara struktur birokrasi yang hierakis dan budaya paternalistis yang berkembang dalam masyarakat. Struktur birokrasi yang hierarkis cenderung mebuat pejabat bawahan menjadi sangat tergantung pada atasannya.Ketergantungan itu kemudian mendorong mereka untuk memperlakukan atasan secara berlebihan dengan menunjukkan loyalitas dan pengabdian yang sangat tinggi kepada pimpinan dan mengabaikan perhatiannya kepada para pengguna layanan yang seharusnya menjadi perhatian utama (Mulder, 1985).
Struktur birokrasi yang hierarkis mendorong pejabat bawahan untuk menunjukkan loyalitas dan penghormatan kepada atasan secara berlebihan, karena seorang pejabat bawahan hanya memiliki satu atasan.Pejabat atasan memiliki peran yang penting dalam pengembangan karier pegawai, karena informasi mengenai kinerja pegawai sangat ditentukan oleh atasannya.Bahkan penilaian kinerja pegawai itu dilakukan oleh atasan langsung.Informasi mengenai kinerja pegawai atau pejabat itu kemudian diteruskan oleh atasan langsung kepada pejabat atasan yang lebih tinggi.
Peranan atasan langsung dalam penilaian kinerja menjadi sangat penting sehingga wajar apabila para pejabat birokrasi cenderung memperlakukan atasannya secara berlebihan.Mereka cenderung menunjukkan perilaku ABS, yaitu meberikan laporan yang baik dan menyenangkan atasan dengan menciptakan distorsi informasi.Akibatnya, para pejabat atasan seringkali menjadi kurang memahami realitas masalah yang dihadapi oleh masyarakat (Harmon, 1995).Berbagai persoalan yang dikeluhkan oleh pengguna layanan tidak tersampaikan pada pejabat atasan, namun tidak diatasi sendiri oleh petugas pelayanan karena mereka tidak memiliki kewenangan yang memadai untuk meresponsnya.Mereka beranggapan bahwa menyampaikan persoalan yang terkait dengan pelaksanaan tugasnya dapat menciptakan penilaian buruk dari pejabat atasan terhadap kinerja mereka.Akibatnya responsivitas birokrasi dan pejabatnya terhadap dinamika lingkungannya menjadi sangat rendah.
2.      Prosedur Yang Berlebihan
Prosedur yang berlebihan merupakan bentuk penyakit birokrasi publik yang menonjol di berbagai instansi pelayanan publik di Indonesia.Birokrasi publik bukan hanya mengembangkan prosedur yang rigid dan kompleks, tetapi juga mengembangkan ketaatan terhadap prosedur secara berlebihan.  Dalam birokrasi publik, prosedur bukan lagi sebagai fasilitas yang dibuat untuk membantu penyelenggaraan layanan tetapi sudah menjadi seperti berhala yang harus ditaati oleh para pejabat birokrasi dalam kondisi apapun.Bahkan prosedur sudah menjadi tujuan birokrasi itu sendiri dan menggusur tujuan yang semestinya, yaitu melayani publik sexcara professional dan bermartabnat.Apapun penyebabnya, pelanggaran terhadap prosedur selalu dianggap sebagai penyimpangan dan karena itu pelanggarnya harus diberi sanksi.
Dalam birokrasi Weberian pengembangan prosedur yang rinci dan tertulis dilakukan untuk menciptakan kepastian pelayanan.Prosedur tertulis yang jelas dan rinci sebenarnya diperlukan oleh pejabat birokrasi sebagai penyelenggara layanan ataupun oleh para pengguna layanan.Para pejabat birokrasi memerlukan prosedur yang rinci dan tertulis karena dengan prosedur seperti itu mereka terhindar dari keharusan mengambil keputusan.Keberadaan prosedur pelayanan sangat membantu mereka dalam menentukan tindakan yang harus dilakukan untuk merespon berbagai persoalan yang muncul dalam penyelenggaraan layanan.  Risiko melakukan kesalahan dalam mengambil keputusan bias dihindari dengan adanya prosedur pelayanan yang tertulis dan rinci.
Prosedur yang tertulis dan rinci juga menguntungkan bagi para pengguna layanan, karena mereka dapat lebih mudah memahami hak dan kewajibannya dalam mengakses pelayanan.Mereka juga menjadi semakin mudah mengetahui apakah hak-haknya sebagai warga negara dilanggar oleh para pejabat birokrasi atau tidak pada saat mereka mengakses pelayanan publik. Para pengguna layanan juga menjadi lebih mudah untuk turut serta mengontrol proses penyelenggaraan layanan publik. Tanpa prosedur yang jelas dan rinci maka sangat sulit bagi para pengguna layanan untuk memahami hak dan kewajibannya ataupun menjalankan peran kontrol terhadap proses penyelenggaraan layanan publik. Oleh karena itu, prosedur yang rinci dan tertulis sebenarnya diperlukan oleh pejabat birokrasi dan pengguna layanan.Tidaklah mengherankan jika prosedur kemudian berkembang semakin banyak sehingga menjadikan birokrasi mengalami over regulation yang juga merupakan salah satu penyakit birokrasi.   
3.      Pembengkakan Birokrasi
Mengamati sejarah perkembangan berbagai birokrasi pemerintah di Indonesia dengan mudah dapat dilihat perkembangan sejumlah birokrasi yang semula dibentuk dengan misi yang jelas dan struktur yang ramping, tetapi dalam waktu singkat birokrasi tersebut sudah berubah menjadi kerajaan birokrasi yang besar.Kecenderungan seperti ini sebenarnya bukan hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga terjadi di negara-negara lainnya.Fenomena ini lazim terjadi karena memang ada kecenderungan dari internal birokrasi untuk mengembangkan diri seiring dengan kegiatan untuk memperbesar kekuasaan dan anggaran.
Menurut Dwiyanto (2011:97) terdapat dua cara yang biasanya ditempuh untuk membengkakkan birokrasi. Cara pertama dilakukan dengan memperluas misi birokrasi. Pada saat pemerintah membentuk satuan birokrasi tertentu biasanya pemerintah memiliki gambaran yang jelas mengenai misi yang akan diemban oleh satuan birokrasi itu. Misi itu juga yang menjadi alasan dibentuknya sebuah atau beberapa satuan birokrasi.Namun, setelah terbentuk, para pejabat di birokrasi itu untuk selanjutnya cenderung memperluas misi birokrasi. Alasan utama yang mendorong mereka memperluas misi birokrasi tidak lain adalah keinginan para pejabat itu untuk dapat mengakses kekuasaan dan anggaran yang lebih besar.
Cara kedua untuk membengkakkan birokrasi adalah dengan melakukan kegiatan di luar misinya.  Tindakan seperti ini banyak sekali dilakukan oleh satuan-satuan birokrasi, baik di pemerintah pusat maupun daerah. Munculnya inisiatif untuk membengkakkan birokrasi juga disebabkan oleh cara pengalokasian anggaran yang berorientasi pada input. Karena alokasi anggaran didasarkan pada input, maka birokrasi dan para pejabatnya yang ingin memperoleh anggaran besar cenderung memperbesar input. Cara termudah untuk memperbesar input adalah dengan menciptakan banyak kegiatan.   
4.      Fragmentasi Birokrasi
Fragmentasi adalah pengkotat-kotakan birokrasi ke dalam sejumlah satuan yang masing-masing memiliki peran tertentu.Fragmentasi birokrasi memiliki beberapa interpretasi.Pragmentasi birokrasi dapat menunjukkan derajat spesialisasi dalam birokrasi.Dalam konteks ini pembentukan satuan-satuan birokrasi didorong oleh keinginan untuk mengembangkan birokrasi yang mampu merespons permasalahan publik yang cenderung semakin kompleks.
    Namun, fragmentasi birokrasi yang tinggi juga dapat disebabkan oleh sejumlah motif lainnya. Pemerintah mengembangkan satuan birokrasi dalam jumlah banyak bias saja bukan karena keinginan pemerintah untuk merespon kebutuhan dan aspirasi masyarakat secara efisien dan efektif, malainkan karena adanya tujuan tertentu.
Menurut Bambang Noorsetyo dalam cermanya di depan peserta program megister universitas merdeka malang (15 oktober 2000) menyatakn bahwa  patologi birokrasi dapat dikelompokkan ke dalam 5 (lima) kelompok yaitu:
Persepsi dan gaya manajerial pejabat birokrasi antra lain:
1.      Penyalagunaan wewenang dan jabatan
2.   Persepsi sebagai dasar prasangka dalam pengambilan keputusan
3.   Pengabur masalah
4.   Praktik menerima suap

Rendahnya pengetahuan dan keterampilan petugas pelaksanaan misalnya:
1.      Tidak mampu menjabrkan policy pimpinan
2.      Kurang teliti
3.      Rasa puas diri
4.      Bertindak tanpa berpikir matang
5.      Kenerja rendah
6.      Bingung
Pelaku birokrasi yag melanggar hukum, antra lain adanya:
1.      Boros
2.      Praktek suap-menyuap
3.      Kejujuran kurang
4.      Korupsi
5.      Kriminal
Perilaku birokrasi yang bersifat disfungsioal dan negatif,     
1.      Sewenang-wenang
2.      Pura-pura sibuk
3.      Pemaksaan
4.      Konspirasi
5.      Diskiminasi
6.      Tak acuh
7.      Sulit di jangkau
8.      Disiplin rendah
Situsi internal instansi/birokrasi, antra lain:
1.      Tujuan dan saran tidak tepat
2.      Kewajiban social sebgai beban
3.      Eksploitasi
4.      Pengangguran terselubung
5.      Imbalan tidak memadai
6.      Kondisi kerja kurang memadai
7.      Misinformasi.

Salah satu faktor penyebab timbulnya penyakit birokrasi yang paling dominan menurut penulis adalah disebabkan rendahnya akhlak aparatur.satu contoh kasus korupsi misalnya, pada umumnya tidak dilakukan oleh rendahnya akhlak aparatur. Suatu contoh kasus korupsi misalnya, pada umumnya tidak dilakukan oleh karena pengetahuan yang rendah, tetapi justru dilkukan oleh aparatur berpendidikan tidak rendah. Rendahnya moralitas pegawai menunjukan rendahnya atau tidak dipergunakannya norma-norma ettika sebagai acuan dalam bepikir, betindak an berperilaku dalam pelaksanaan tugas pekerjaan di bidangnya.
Moralitas merupakan suatu dorongan dari untuk melakukan suatu sistem atauetika,sehingga semakin tinggi kadar moralitas seseorang semakin kuat poa dorongan melaksanakan nilai-nilai etika dalam kehidupan sehari-harinya. Demikian pula sebaliknya kadar moralitas yang rendah, maka dorongan penerapannilai-nilai etika semakin rendah pula.
Dalam buku Patologi Serta Terapinya Dalam Ilmu Administrasi Dan Organisasi mengatakan bahwa patologi birokrasi adalah sebagai berikut :
1.      Penyakit nepotisme, istilah nepotisme pada mulanya lebih banyak di bicarakan dalam materi administrasi kepegawaian personal manajemen, kemudian berkembang lebih lanjut kedalam berbagai aspek kehidupan pada manusia lainnya. Mengapa terjadi nepotisme dalam administrasi,karena tidak tercapainya kepuasan yang diharapkan semula, tetapi justru yang terjadi adalah ketidakpuasan karena tidak terpenuhinya kebutuhan, sebagai factor utama dalam menciptakan kepuasan manusia. Namun demikian bahwa pemikiran yang seimbang dan tindakan yang seimbang akan melahirkan tingkat kepuasan secara adil dan merata dalam kehidupan manusia yang terlibat dalam ikatan kerja sama. Ketidak seimbangan aktivitas manusia dalam administrasi sangat mudah diserang oleh virus penyakit nepotisme yang merugikan dirinya sendiri.
Penyakit nepotisme dalam administrasi juga menciptakan suatu perubahan dalam sebuah bentuk kerja sama, tetapi perubahan yang diciptakan tersebut berorientasi kepada perubahan negative. Penyakit nepotsime dalam administrasi sangat berpengaruh negative dalam pengembangan konseptual teoritis, actual empiris, dan etika administrasi sehingga wawasan keilmuan untuk menciptakan kecerdasan beripikir dan keterampilan untuk menciptakan kemahiran bertindak akan menjadi kabur serta suatu saat akan terkubur.
Penanganan virus penyakit nepotisme dalam administrasi seharusnya dilakukan secara terus menerus, karena kemungkinan akan berkembang apabila kita tidak waspada. Tindakan yang dilakukan itu merupakan suatu permulaan karena diawali oleh pemikiran yang dilandasi wawasan keilmuan,  ketangguhan moralitas, dan keteguhan iman. Oleh sebab itu kita semua harus senantiasa menjunjung tinggi niali kebenaran sehingga virus-virus penyakit nepotisme itu tidak akan mengancam kehidupan kita setiap saat. Sebaikanya semua manusia yang terlibat dalam kerja sama untuk melakukan aktivitas adminsitrasi saling mengontorol dan mengingatkan antara satu dengan yang lainnya tentang bahanya virus penyakit nepotisme.
2.      Penyakit kolusi, kolusi adalah suatu tindakan dari kedua belah pihak untuk menciptakan kesepakatan yang sesungguhnya bertentangan dengan etika, moralitas, rasionalitas, keimanan dan peraturan yang berlaku dalam suatu bentuk ikatan kerjasama. Pengertian kolusi ini jelas bahwa sangat merugikan bagi orang-orang yang berprilaku berdasarkan tindakan moralitas, etika, rasionalitas, keimanan dan peraturan yang berlaku dalam ikatan kerjasama.Dan kemudian menguntungkan secara konkert atau secara realita bagi orang-orang yang perbuatan atau tindakannya bertentangan dengan moralitas, etika, rasionalitas, keimanan dan peraturan yang berlaku dalam bentuk ikatan kerjasama.
Penyakit atau patologi kolusi administrasi telah menjangkit hampir disemua lini dalam adminstrasi Negara maupun administrasi pemerintahan. Mulai dari tingkat pusat sampai kepada tingkat daerah kabupaten atau kota, bahkan sampai kepada desa-desa. Penyakit atau patologi kolusi administrasi ini secepatnya perlu diagnosis sehingga dapat memberi kembali sehat.
Penanganan virus patologi kolusi dalam berbagai aktivitas admnistrasi diharapkan dapat tercipta sebuah pengaturan hubungan dan keharmonisan kerja antar sesame manusia yang terkait dalam bentuk kerja sama. Diharapkan pula terciptanya keteraturan kerja yang dilakukan oleh seluruh unsur yang ada dalam administrasi. Tindakan penanganan virus tersebut bukanlah menjadi akhir persoalan, malainkan akan berdinamisasi sesuai dengan tuntutan perubahan kebutuhan anggota yang terkait dalam kerjasama. Penaganan virus patologi kolusi dalam administrasi yang tidak tepat terutama konsultan yang bukan ahli dalam rangka menerapi virus patologi kolusi sebenarnya bukan saja merugikan manusia yang terkait dalam kerjasama tetapi mungkin manusia lainnya yang berada diluar ikatan kerjasama.
3.      Penyakit korupsi, penyakit atau patologi korupsi administrasi merupakan suatu penyakit yang sangat ditakuti oleh semua ikatan bentuk kerjasama manusia melalui organisasi internasional , Negara, pemerintah, sampai kepada organisasi swasta pun, semuanya ketakutan bila terjangkit virus-virus penyakit atau patologi korupsi yang dapat mematikan aktivitas administrasi. Penyakit korupsi yang begitu ditakuti oleh semua pihak mulai dari anggota ikatan kerjasama yang terendah sampai kepada anggota yang tertinggi, atau mulai dari anggota masyarakat terendah sampai kepada anggota masyarakat yang tertinggi.
Korupsi adalah suatu perbuatan atau tindakan seseorang atau beberapa orang baik statusnya sebagai bawahan maupun pejabat dalam suatu organisasi yang melakukan pelanggaran etika, moralitas, rasionalitas, keyakinan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan mendapatkan sesuatu keuntungan dalam rangka memenuhi keinginan dan kebutuhan seseorang atau beberapa orang yang dapat berakibat merugikan orang lain atau Negara.
Manurut Kartini Kartono korupsi adalah tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeruk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum dan Negara.Jadi korupsi merupakan gejalah salah pakai, salah urus terhadap sumber-sumber kekayaan Negara dengan menggunakan wewenang dan kekuatan formal untuk memperkaya dirinya dengan jalan menggunakan segala kekuatan yang dimiliki terutama bersumber dari jabatan kewenangan.
Untuk pengobatan atau menerapi penyakit atau patologi korupsi dapat dilakukan langkah-langkah :
a)      Penyadaran etika
b)      Penyadaran moralitas
c)      Peningkatan keimanan
d)     Kelayakan hidup
e)      Penegakan peraturan
f)       Pemberian pemahaman
g)      Pemberian sanksi
4.      Penyakit keserakahan, penyakit atau patologi keserakahan dalam pelaksanaan ativitas adminsitrsi adalah suatu metode teknik dan taktik yang dilakukan seseorang anggota yang terkait dalam ikatan bentuk kerjasama berpikir dan bertindak untuk dapat menguasai sebagian atau bahkan kalau bisa keseluruhan factor-faktor kenikmatan khususnya yang berupa material dengan mengorbankan orang lain.
Penyakit atau patologi keserakahan manusia sebenarnya adalah suatu penyakit yang sangat kejam karena dapat menghancurkan ikatan kerjasama dan bahkan mematikannya.
Penyakit atau patologi keserakahan bukan semata-mata hanya mengumpulkan harta benda yang melimpah untuk memenuhi kebutuhan, tetapi lebih banyak diarahkan kepada pemenuhan keinginan.Keinginan yang berlebihan hanya menimbun harta benda saja dengan memperolehnya tidak wajar.
Penanganan virus patologi keserakahan dalam administrasi diperlukan ketegasan dan kejujuran secara individual disamping harus pula diperlakukan atau dengan katalain dispesialisasikan untuk dapat memahami bahwa keserakahan dengan merampas hak orang lain disamping mendapat hukuman moral juga mendapatkan jeratan hukum yang berlaku.
5.      Penyakit egoisme, penyakit atau patologi egois terhadap pelaksanaan kegiatan atau aktivitas administrasi adalah sifat-sifat manusia yang terkait dalam bentuk kerjasama yang selalu ingin menang sendiri ketika mendiskusikan sesuatu pemikiran, baik secara ilmiah maupun pemikiran terhadap suatu penyelesaian permasalahan atau kegiatan. Egoism sebenarnya adalah suatu virus penyakit atau patologi dalam pelaksanaan setiap aktivitas administrasi. Jika terlalu kuat pengaruh manusia yang memiliki sifat egoisme sangat memungkinkan aktivitas yang dilakukan dalam bentuk kerjasama itu akan bersifat negative dan tidak mustahil dapat mematikan atau membubarkan suatu bentuk kerjasama yang dituntuk oleh administrasi.
Untuk menerapi patologi egoisme yang menyerang dalam pelaksanaan aktivitas administrasi sebenarnya banyak cara yang dapat dilakukan agar hasil yang diharapkan dalam ikatan kerjasama itu dapat terwujud dengan baik. Langkah-langkah untuk menerapi patologi tersebut adalah :
a)      Melalui interaksi social
b)      Melakukan keterbukaan
c)      Melalui penididikan dan pelatihan
d)     Melalui kelompok informal dan kelompok formal
e)      Persekongkolan jabatan, jabatan dari sudut pandang pengaturan dari berbagai aktivitas sering juga diistilahkan dengan pemimpin, sedangkan jabatan yang melakukan aktivitas diistilahkan sebagai yang dipimpin. Persekongkolan adalah suatu bentuk usaha yang dilakukan oleh dua orang manusia atau lebih untuk melakukan kesepakatan yang tersembunyi guna mendapatkan sesuatu yang diinginkan kedua belah pihak walaupun bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku dalam komunitas masyarakat tertentu.
Persekongkolan jabatan adalah suatu usaha yang dilakukan dua orang manusia atau lebih dengan menciptakan kesepakatan guna mempertahankan atau memperoleh suatu jabatan tertentu dalam organisasi dengan mengorbankan orang lain. Persekongkolan jabatan yang senantiasa terjadi dalam kehidupan manusia dalam suatu organisasi sebenarnya merupakan bagian penyakit yang dapat menciptakan ketidakstabilan dan bahkan mungkin kematian suatu organisasi.
Berikut ini adalah langkah-langkah untuk mencegah berkembang biaknya virus patologi persekongkolan jabatan :
a.       Pengisian atau rekrutmen jabatan
b.      Batasan kewenagan dan tanggung jawab dalam jabatan
c.       Persyaratan jabatan
d.      Penghasilan jabatan.
6.      Persekongkolan pekerjaan, dalam suatu ikatan organisai ada berbagai jenis pekerjaan ada jenis pekerjaannya ringan tetapi hasilnya besar dan ada juga sebaliknya pekerjaan nya sulit tapi hasilnya kurang. Fenomena inilah yang merupakan penyebab utama persekongkolan pekerjaan.Persekongkolan pekerjaan kenyataanya semakin menambah panjangnya jerit tangis anggota ikatan kerjasama maupun naggota masyarakat pada umumnya yang tidak memiliki kemampuan dalam rangka melakukan suatu tindakan persekongkolan.
Bagaimana mengurangi atau menghilangkan persekongkolan pekerjaan dalam suatu ikatan dalam bentuk kerjasama yang dewasa ini dimana-mana terdengar jerit tangis manusia yang tidak memiliki kemampuan itu, yang perlu diciptakan adalah
a)      Menciptakan kondisi social yang baik
b)      Menciptakan emosional yang cerdas
c)      Menciptakan intelektualitas yang baik
d)     Menciptakan karakter yang baik
e)      Menciptakan spiritualitas yang baik

7.      Persekongkolan status adalah usaha mempertahankan status yang dimilikinya dengan menyebabkan melemahkan ataupun merugikan organisasi. Persekongkolan status  yang di miliki oleh manusia dalam sebuah organisasi jika dibiarkan tumbuh dan berkembang akan merusakn norma-norma social, moralitas masyarakat, rasionalitas keilmuan. Terhadap manusia yang mengalami atau menderita penyakit ini sebaiknya memberikan langkah-langkah :
a)      Menanamkan pengertian pemahaman tentang virus penyakit persekongkolan status dalam aktivitas administrasi yang sesungguhnya bukan saja akan merugikan sekelompok orang melainkan lebih pada perkembangan dan penguatan proses administrasi itu sendiri dan pencapaian tujuan yang efektif, efisian dan rasional.
b)      Memberikan kesadaran bahwa hasil yang dicapai akibat dari virus penyakit ini akan lebih banyak kerugian dan kesengsaraan bila dibandingkan dengan manfaat dan keuntungan yang diterima
c)      Memberikan teknik atau cara menghindari sehinggga semua anggota dalam proses kerjasama aktivitas dapat terindar dari virus penyakit ini.
8.      Persekongkolan kolega, sasaran manusia dalam melakukan persekongkolan dalam kolega atau sering diitilahkan dengan pertemanan ini senatiasa bertujuan untuk menciptakan keeratan pertemanan atau ikatan keprofesian yang kuat, sehingga kepuasan dalam kehidupan kedua belah pihak senatiasa dapat terjamin walaupun mungkin dapat merugikan pihak-pihak tertentu. Tindakan merugikan orang lain kerena persekongkolan kolega merupan suatu tindakan yang dapat menciptakan penyakit administrasi bila tidak ditangani dan diarahkan kepada yang positif kemungkinan dapat menghambat atau merusak dalam pertumbuhan organisai maupun perkembangan administrasi baik dalam arti keilmuan maupun profesionalitas.
9.      Persekongkolan keluarga, virus patologi persekongkolan dalam berbagai anggota keluarga terhadap proses aktivitas administrasi dalam sebuah ikatan kerjasama janganlah dianggap bahwa persepsi dan pandangan anggota keluarga merupakan salah satu ancaman yang dapat mengangu tatapi juga dapat merupakan penyebab utama lahirnya kekhawatiran   keberlangsungan hidup administrasi.
Kekeliruan dan kesalahan terhadap penanganan virus patologi ini dalam administrasi akan dapat menciptakan kekacauan dan ketidakstabilan kondisi pelaksanaan aktivitas setiap anggota birokrasi tersebut.
Menerapi virus patologi ini bukan saja dilakukan oleh dokter konsultan yang memiliki kemampuan spesialisasi dari berbagai jesi virus yang handal tetapi juga harus didukung oleh pengalaman terhadap penanganan penaggualan virus patologi persekongkolan yang sebenarnya bukan saja merugikan manusia lain tetapi merugikan dirinya sendiri. Oleh sebab itu harus dilibatkan seluruh jajaran anggota birokrasi yang mulai dari tingkat pimpinan yang tertinggi sampai pada yang terendah.

J.      Beberapa Upaya Dalam Mengatasi Patologi Birokrasi
Berikut alternatif pemecahan masalah patologi di tubuh birokrasi di Indonesia dalam membangun pelayanan publik yang efisien, responsif, dan akuntabel dan transparan perlu ditetapkan kebijkan yang menjadi pedoman perilaku aparat birokrasi pemerintah sebagai berikut:
1.      Dalam hubungan dengan berpola patron- klien tidak memiliki standar pelayanan yang jelas/pasti, tidak kreatif. Perlu membuat peraturan Undang–Undang pelayanan publik yang memihak pada rakyat.
2.      Dalam hubungan dengan struktur yang gemuk, kinerja berbelit – belit, perlu dilakukan restrukturisasi brokrasi pelayanan publik.
3.      Untuk mengatasi Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme selain hal diatas diharapkan pemerintah menetapkan perundangan dibidang infomatika (IT) sebagai bagian pengembangan dan pemanfaatan e Goverment agar penyelenggaraan pelayanan publik terdapat transparasi dan saling kontrol.
4.      Setiap daerah provinsi dan kabupaten dituntut membuat Perda yang jelas mengatur secara seimbang hak dan kewajiban dari penyelenggara dan pengguna pelayanan publik.
5.      Setiap daerah diperlukan lembaga Ombusman.Lembaga ini bisa berfungsiingin mendudukan warga pada pelayanan yang prima. Ombusman harus diberikan kewenangan yang memadai untuk melakukan investigasi dan mencari penyelesaian yang adil terhadap perselisihan antara pengguna jasa dan penyelenggara dalam proses pelayanan publik.
6.      Peran kualitas sumber daya aparatur sangat mempengaruhi kualitas pelayanan, untuk itu kemampuan kognitif yang bersumber dari intelegensi dan pengalaman,skill atau ketrampilan, yang didukung oleh sikap (attitude) merupakan faktor yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah patologi atau penyakit birokrasi yang berhubungan dengan pelayanan publik di Indonesia. Untuk itu pelatihan diharapkan mampu menjadi program yang berkelanjutan agar sumber daya aparatur memeliki kecerdasan inteltual,emosional dan spiritual sebagai landasan dalam pelayanan publik.
Kutipan Lord Acton (1972), ”Power tends to corrupt, abolute power corrupt absolutlely” (Kekuasan cenderung untuk berbuat korupsi, kekuasan yang absolut berkorupsi secara absolut pula) secara implisit menjelaskan hubungan bagaimana seseorang yang berkuasa terlalu lama akan mempunyai kecenderungan untuk menyelewengkan kekuasannya. Manifestasinya dalam bentuk KKN.Sehingga langkah strategis pertama yang harus diambil adalah menempatkan para birokrat yang sudah terlalu lama berkuasa berkecimpung di dalam urusan pelayanan ke posisi yang lain (tour of duty).Baik itu rotasi horisontal ataupun promosi vertikal.
Langkah strategis yang kedua adalah dengan sedini mungkin mengenalkan teknologi informasi di lingkungan Pemerintah.Yang pertama dengan menghindarkan interaksi/transaksi uang cash antara pelanggan dan pelayan.Hal ini didasarkan atas asumsi bahwa semakin sering seseorang mengadakan kontak langsung dengan uang tunai, semakin besar pula kesempatan orang itu untuk mengadakan KKN. Walaupun katakanlah sudah secara ekspilist diterangkan biaya serta waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan proses pelayanan, akan tetapi praktek di lapangan akan berbicara lain. Hal seperti ini dapat disiasati dengan menyediakan mesin.
Contoh kongkrit yang mungkin bisa diaplikasikan adalah dengan pengadaan mesin pencetak perangko ataupun kupon sebagai pengganti uang tunai (stamp vending machine) seperti yang telah dilaksanakan di Jepang. Maksudnya, setiap formulir aplikasi permohonan pelayanan hanya butuh sehelai “perangko” ataupun “kupon” bertuliskan besaran biaya yang dibutuhkan untuk proses penyelesaiannya. Hal ini akan membawa konsekuensi bahwa seseorang yang bertugas melayani pelanggan tidak akan disibukkan atau direpotkan dengan urusan uang tunai di sekitar loket mereka. Mereka hanya akan berkonsentrasi di seputaran urusan administrasi persuratan saja, tidak ada yang lain. Hal ini cukup efektif dalam menekan angka kolusi di Jepang yang biasa disebut dalam ungkapan shuden no shita (lengan baju bawah baju kimono). Dampak seperti inilah diharapkan dapat menekan angka KKN di dalam proses birikrasi pelayanan publik kita.
Cara lain dapat berupa transfer uang di bank dengan sistem online dengan mengadakan kerjasama antara pihak penyedia layanan (Pemerintah Daerah) dengan pihak bank. Yang kedua, ditinjau dari sudut pandang pengguna jasa pelayanan, yaitu dengan memperkenalkan budaya antri yang tersistematis melalui pengadaan mesin antri (queuing machine).Kenapa budaya antri? Karena masyarakat Indonesia pada umumnya masih belum menganggap antri sebagai pola atau gaya hidup yang efektif. Sistem ini telah banyak diaplikasikan di instansi-instansi swasta dan hasilnya-pun cukup efektif untuk menciptakan suasana yang tertib dan kondusif.
Kemudian berkenaan dari pihak birokrat sendiri sebagai penyedia monopoli pelayanan publik, sebagai wujud pertanggungjawaban langsung (direct responsibility) kepada pengguna jasa layanan, alangkah lebih baiknya apabila di luar loket pelayanan dipasang nama petugas pelayanan yang bertugas pada hari itu sehingga langkah strategis ketiga ini diharapkan apabila terjadi ketidakpuasan pelanggan kepada penyedia jasa layanan akan langsung dapat dicatat nama petugasnya dan segera bisa ditindaklanjuti.
Ketiga langkah strategis di atas hanyalah beberapa cara di antara sekian banyak cara yang dapat ditempuh Pemerintah dalam mengeliminasi tindakan KKN yang sudah berakar di setiap lini kehidupan bangsa kita. Memang sebenarnya akar dari tindakan KKN ini tidak terlepas dari belum terpenuhinya kesejahteraan aparatur negara, kaitannya dengan pendapatan take home pay mereka. Akan tetapi, berdasarkan penelitian dari The World Bank Development Research Group Public Service Delivery (Juni, 2001) meragukan mengenai gaji kecil aparatur negara merupakan alasan untuk melakukan korupsi.Hanya disebutkan disana bahwa merubah struktur penggajian mungkin suatu bagian yang penting dalam reformasi birokrasi, tapi seharusnya jangan dilihat sebagai alat utama untuk melawan korupsi.
Kita bersyukur bahwa RUU Pelayanan Publik yang sedang digodok di DPR saat ini merupakan bentuk political will dari pihak Pemerintah dan DPR dalam mengakomodasi hak serta kewajiban baik untuk birokrat maupun masyarakat. Dan juga dengan naiknya gaji PNS mulai awal tahun depan diharapkan dapat mendongkrak semangat aparatur negara untuk lebih giat dan semangat dalam melayani publik sesuai dengan fungsinya.
BAB III
PENUTUP

A.    Simpulan
Dari materi yang telah terurai di atas dapat di simpulkan bahwa patologi birokrasi adalah penyakit di dalam birokrasi yang sangat menggagu jalannya aktivitas di dalam birokrasi tersebut. Penyakit birokrasi yang terjadi bukan saja membahayakan manusia di dalam organisasi tersebut yang melakukannya tetapi juga orang lain di dalam organisasi tersebut akan merasakan bahaya patologi birokrasi tersebut, bahkan lebih dari itu patologi dalam birokrasi dapat mendatangkan bahaya bagi seluruh masyarakat.
Berdasarkan hasil analisis di atas, terdapat hal-hal perlu diperhatikan, sebagai berikut:
1.      Patologi Birokrasi harus diobati dengan Aturan, System dan Komitmen pengelolaan yang berorientasi "melayani, bukan dilayani", "mendorong, bukan menghambat", "mempermudah, bukan mempersulit", "sederhana, bukan berbelit-belit", "terbuka untuk setiap orang, bukan hanya untuk segelintir orang". Pemerintah harus merubah paradigma lamanya dari yang dilayani menjadi pelayanan dan pengabdi masyarakat.
2.      Penguatan kelembagaan untuk meningkatkan pengelolaan kualitas pelayanan pubik ini ditujukan pada pelayanan publik dengan model satu pintu dan pelayanan yang berbasis pada pelayanan administrasi dokumen.
3.      Peningkatan kualitas pelayanan publik diwujudkan melalui terbentuknya komitmen moral yang tinggi dari seluruh aparatur daerah dan dukungan stakeholders lainnya.
4.      Selain kepemimpinan dan tim yang tangguh, peningkatan pelayanan publik juga dipengaruhi oleh aspek kejelasan dan kepastian proses pelayanan seperti prosedur (mekanisme), biaya, hasil yang diperoleh dan waktu.
5.      Sumber daya yang ada merupakan daya dukung yang signifikan demi lancarnya pelayanan yang berkualitas. SDM atau karyawan yang terampil, memiliki wawasan serta sisi kemanusiaan yang kuat misalnya emphaty adalah faktor utama dari sumber daya yang harus dimiliki terlebih dahulu.

B.     Saran
Semoga dengan tersusunnya makalah ini dapat menambah pengetahuan tentang dampak dan cara penyelesaian terhadap penyakit-penyakit dipemerintahan yang dilakukan birokrat-birokrat Negara.Serta kami penulis makalah ini menyadari masih terdapat kekurangan sehingga untuk mengetahui lebih luas tentang patologi birokrasi,pembaca dapat memperoleh dari berbagai sumber lainnya,seperti buku,referensi ataupun internet.


DAFTAR PUSTAKA

H.Makmur, M.si Prof. 2011.Patologi Serta Terapinya Dal Ilmu Administrasi Dan Organi.Jakarta:PT Gramedia.
Miftah Thoha.2003. Birokrasi dan Politik di Indonesia. Jakarta:Penerbit Raja Grafindo.
Dwiyanto, Agus. 2011. Mengembalikan Kepercayaan Publik Melalui Reformasi Birokrasi.Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
 Ali Andrias, S.IP., M.Si. 2012. Patologi Birokrasi dan Pelayanan Publik.Jakarta:PT Gramedia
Agus Dwiyanto. 2011. Mengembalikan Kepercayaan Publik Melalui Reformasi Birokrasi. Jakarta:Pustaka Utama.
Sondang P. Siagian.1994.  Patologi Birokrasi  Analisis Identifikasi dan Terapinya. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Ali Andrias, S.IP., M.Si. 2012. Patologi Birokrasi dan Pelayanan Publik .Jakarta: PT Gramedia.
Agus Dwiyanto. 2011. Mengembalikan Kepercayaan Publik Melalui Reformasi Birokrasi. Jakarta: Pustaka Utama



 Agus Dwiyanto. Mengembalikan Kepercayaan Publik Melalui Reformasi Birokrasi. (Jakarta: Pustaka Utama.2011). Hal 118-128.
Miftah Thoha.Birokrasi dan Politik di Indonesia.(Jakarta:Penerbit Raja Grafindo.2003).hlm.50
 Miftah Thoha.Birokrasi dan Politik di Indonesia.(Jakarta:Penerbit Raja Grafindo.2003).hlm.52
 Agus Dwiyanto. 2011. Mengembalikan Kepercayaan Publik Melalui Reformasi Birokrasi. (Jakarta: PT GramediaPustaka Utama.2011). Hal 63.
Sondang P. Siagian.1994.  Patologi Birokrasi  Analisis Identifikasi dan Terapinya.(Jakarta: Ghalia Indonesia.1994).Hal.35-81.
Ali Andrias, S.IP., M.Si.Patologi Birokrasi dan Pelayanan Publik .(Jakarta:Gramedia.2012).hlm.70.
Prof. Dr. H. Makmur, M.si. Patologi Serta Terapinya Dal Ilmu Administrasi Dan Organisasi.(Jakarta:Penerbit Refikaditama.2011).hlm.50.
Agus Dwiyanto. 2011. Mengembalikan Kepercayaan Publik Melalui Reformasi Birokrasi. Jakarta: PT GramediaPustaka Utama. Hal 118-128.
 Siagian, 1994. Patologi Birokrasi: Analisis, Identifikasi Dan Terapinya.(Jakarta:Ghalia   Indonesia.1994).Hal. 35-145.

 Penulis Syima 

No comments:

Post a Comment

Adbox