Terbaru

LightBlog

Thursday, October 26, 2017

Makalah bahaya Riba

A.     Pengertian Riba
Dalam bahasa arab riba bermakna tambahan boleh jadi tambahan pada suatu benda semisal makna kata riba dalam QS alHajj:5 atau pun tambahan pada kompensasi dari benda tersebut semisal barter seribu rupiah dengan dua ribu rupiah. Dalam syariat, riba bermakna tambahan atau penundaan tertentu yang dilarang oleh syariat.
Jadi riba itu memiliki beberapa bentuk, ada yang berupa penambahan yang dalam bahasa arab disebut fadhl dan ada yang berbentuk penundaan penyerahan barang tertentu yang dilarang oleh syariat yang dalam bahasa arab disebut nasiah. Ada juga riba nasiah dalam bentuk penambahan yang disyaratkan untuk mendapatkan penundaan pembayaran utang.
Adapun surat tentang bahayanya riba :
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ (275)

“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila” (QS al Baqarah:275).

Maksudnya: orang yang mengambil riba tidak tenteram jiwanya seperti orang kemasukan syaitan.

B.     MACAM – MACAM DAN BENTUK  RIBA
Riba Dain (Riba dalam Hutang Piutang)Riba ini disebut juga dengan riba jahiliyah, sebab riba jenis inilah yang terjadi pada jaman jahiliyah.
Riba ini ada dua bentuk:
a. Penambahan harta sebagai denda dari penambahan tempo (bayar hutangnya atau tambah nominalnya dengan mundur-nya tempo).
Misal: Si A hutang Rp 1 juta kepada si B  dengan tempo 1 bulan. Saat jatuh tempo si B berkata: “Bayar hutangmu.” Si A menjawab: “Aku tidak punya uang. Beri saya tempo 1 bulan lagi dan hutang saya menjadi Rp 1.100.000.” Demikian seterusnya.sistem ini disebut dengan riba mudha’afah (melipatgandakan uang). Allah I berfirman:
b. Pinjaman dengan bunga yang dipersyaratkan diawal akad
Misalnya: Si A hendak berhutang kepada si B. Maka si B berkata di awal akad: “Saya hutangi kamu Rp 1 juta dengan tempo satu bulan, dengan pembayaran Rp 1.100.000.”Riba jahiliyah jenis ini adalah riba yang paling besar dosanya dan sangat tampak kerusakannya. Riba jenis ini yang sering terjadi pada bank-bank dengan sistem konvensional yang terkenal di kalangan masyarakat dengan istilah “menganakkan uang.” Wallahul musta’an.
Faedah enting
Termasuk riba dalam jenis ini adalah riba qardh (riba dalam pinjam meminjam). Gambarannya, seseorang meminjamkan sesuatu kepada orang lain dengan syarat mengembalikan dengan yang lebih baik atau lebih banyak jumlahnya.
Misal: Seseorang meminjamkan pena seharga Rp. 1000 dengan syarat akan mengembalikan dengan pena yang seharga Rp. 5000. Atau meminjamkan uang seharga Rp 100.000 dan akan dikembalikan Rp 110.000 saat jatuh tempo.
Ringkasnya, setiap pinjam meminjam yang mendatangkan keuntungan adalah riba, dengan argumentasi sebagai berikut:
1.    Hadits ‘Ali bin Abi Thalib z:“Setiap pinjaman yang membawa keuntungan adalah riba.”
Hadits ini dha’if. Dalam sanadnya ada Sawwar bin Mush’ab, dia ini matruk (ditinggalkan haditsnya). Lihat Irwa`ul Ghalil (5/235-236 no.1398).
Namun para ulama sepakat sebagai-mana yang dinukil oleh Ibnu Hazm, Ibnu Abdil Barr dan para ulama lain, bahwa setiap pinjam meminjam yang di dalamnya dipersyaratkan sebuah keuntungan atau penambahan kriteria (kualitas) atau penam-bahan nominal (kuantitas) termasuk riba.
2.    Tindakan tersebut termasuk riba jahiliyah yang telah lewat penyebutannya dan termasuk riba yang diharamkan berdasarkan Al-Qur`an, As-Sunnah, dan ijma’ ulama.
3.    Pinjaman yang dipersyaratkan adanya keuntungan sangat bertentangan dengan maksud dan tujuan mulia dari pinjam meminjam yang Islami yaitu membantu, mengasihi, dan berbuat baik kepada saudaranya yang membutuhkan pertolongan. Pinjaman itu berubah menjadi jual beli yang mencekik orang lain. Meminjami orang lain Rp. 10.000 dibayar Rp. 11.000 sama dengan membeli Rp. 10.000 dibayar Rp. 11.000.
Ada beberapa kasus yang masuk pada kaidah ini, di antaranya:
a.    Misalkan seseorang berhutang kepada syirkah (koperasi) Rp 10.000.000 dengan       bunga 0% (tanpa bunga) dengan tempo 1 tahun. Namun pihak syirkah mengatakan: “Bila jatuh tempo namun hutang belum terlunasi, maka setiap bulannya akan dikenai denda 5%.”
Akad ini adalah riba jahiliyah yang telah lewat penyebutannya. Dan cukup banyak syirkah (koperasi) atau yayasan yang menerapkan praktik semacam ini.
b.    Meminjami seseorang sejumlah uang tanpa bunga untuk modal usaha dengan syarat pihak yang meminjami mendapat prosentase dari laba usaha dan hutang tetap dikembalikan secara utuh.
            Modus lain yang mirip adalah membe-rikan sejumlah uang kepada seseorang untuk modal usaha dengan syarat setiap bulannya dia (yang punya uang) mendapatkan –misalnya– Rp 1 juta, baik usahanya untung atau rugi.
Sistem ini yang banyak terjadi pada koperasi, BMT, bahkan bank-bank syariah pun menerapkan sistem ini dengan istilah mudharabah (bagi hasil). Mudharabah yang syar’i adalah: Misalkan seseorang memberikan modal Rp. 10 juta untuk modal usaha dengan ketentuan pemodal mendapatkan 50% atau 40% atau 30% (sesuai kesepakatan) dari laba hasil usaha. Bila menghasilkan laba maka dia mendapatkannya, dan bila ternyata rugi maka kerugian itu ditanggung bersama (loss and profit sharing). Hal ini sebagaimana yang dilakukan Rasulullah n dengan orang Yahudi Khaibar.Wallahulmuwaffiq.
Adapun transaksi yang dilakukan oleh mereka, pada hakekatnya adalah riba dain/qardh ala jahiliyah yang dikemas dengan baju indah nan Islami bernama mudharabah. Wallahul musta’an.

c.    Mengambil keuntungan dari barang yang digadaikan.
Misal: Si A meminjam uang Rp 10 juta kepada si B (pegadaian) dengan mengga-daikan sawahnya seluas 0,5 ha. Lalu pihak pegadaian memanfaatkan sawah tersebut, mengambil hasilnya, dan apa yang ada di dalamnya sampai si A bisa mengembalikan hutangnya. Tindakan tersebut termasuk riba, namun dikecualikan dalam dua hal:
1. Bila barang yang digadaikan itu perlu pemeliharaan atau biaya, maka barang tersebut bisa dimanfaatkan sebagai ganti pembiayaan. Misalnya yang digadaikan adalah seekor sapi dan pihak pegadaian harus mengeluarkan biaya untuk pemeliha-raan. Maka pihak pegadaian boleh meme-rah susu dari sapi tersebut sebagai ganti biaya perawatan. Dalilnya hadits riwayat Al-Bukhari dalam Shahih-nya dari Abu Hurairah z, Rasulullah n bersabda:
“Kendaraan yang tergadai boleh dinaiki (sebagai ganti) nafkahnya, dan susu hewan yang tergadai dapat diminum (sebagai ganti) nafkahnya.”
2.    Tanah sawah yang digadai akan mengalami kerusakan bila tidak ditanami, maka pihak pegadaian bisa melakukan sistem mudharabah syar’i dengan pemilik tanah sesuai kesepakatan yang umum berlaku di kalangan masyarakat setempat tanpa ada rasa sungkan. Misalnya yang biasa berlaku adalah 50%. Bila sawah yang ditanami pihak pegadaian tadi menghasil-kan, maka pemilik tanah dapat 50%. Namun bila si pemilik tanah merasa tidak enak karena dihutangi lalu dia hanya mengambil 25% saja, maka ini tidak diperbolehkan. Wallahu a’lam bish-shawab.

Riba Fadhl
            Definisinya adalah adanya tafadhul (selisih timbangan) pada dua perkara yang diwajibkan secara syar’i adanya tamatsul (kesamaan timbangan/ukuran) padanya.
Riba jenis ini diistilahkan oleh Ibnul Qayyim dengan riba khafi (samar), sebab riba ini merupakan pintu menuju riba nasi`ah.
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum riba fadhl. Yang rajih tanpa keraguan lagi adalah pendapat jumhur ulama bahwa riba fadhl adalah haram dengan dalil yang sangat banyak. Di antaranya:
1.    Hadits ‘Utsman bin ‘Affan z riwayat Muslim:
“Jangan kalian menjual satu dinar dengan dua dinar, jangan pula satu dirham dengan dua dirham.”
Juga hadits-hadits yang semakna dengan itu, di antaranya:
a.    Hadits Abu Sa’id z yang muttafaq ‘alaih.
b.    Hadits ‘Ubadah bin Ash-Shamit z riwayat Muslim.
Juga hadits yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar, Abu Hurairah, Sa’d bin Abi Waqqash, Abu Bakrah, Ma’mar bin Abdillah dan lain-lain, yang menjelaskan tentang keharaman riba fadhl, tersebut dalam Ash-Shahihain atau salah satunya.
Adapun dalil pihak yang membolehkan adalah hadits Usamah bin Zaid z:
“Sesungguhnya riba itu hanya pada nasi`ah (tempo).”
Maka ada beberapa jawaban, di antaranya:
a. Makna hadits ini adalah tidak ada riba yang lebih keras keharamannya dan diancam dengan hukuman keras kecuali riba nasi`ah. Sehingga yang ditiadakan adalah kesempurnaan, bukan wajud asal riba.
b.    Hadits tersebut dibawa kepada pengertian: Bila jenisnya berbeda, maka diperbolehkan tafadhul (selisih timbangan) dan diharamkan adanya nasi`ah.
Ini adalah jawaban Al-Imam Asy-Syafi’i, disebutkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dari gurunya, Sulaiman bin Harb. Jawaban ini pula yang dirajihkan oleh Al-Imam Ath-Thabari, Al-Imam Al-Baihaqi, Ibnu Abdil Barr, Ibnu Qudamah, dan sejumlah ulama besar lainnya.
Jawaban inilah yang mengompromi-kan antara hadits yang dzahirnya berten-tangan. Wallahul muwaffiq.

Riba Nasi`ah (Tempo)
            Yaitu adanya tempo pada perkara yang diwajibkan secara syar’i adanya taqabudh (serah terima di tempat). Riba ini diistilahkan oleh Ibnul Qayyim dengan riba jali (jelas) dan para ulama sepakat tentang keharaman riba jenis ini dengan dasar hadits Usamah bin Zaid di atas. Banyak ulama yang membawakan adanya kesepakatan akan haramnya riba jenis ini.
Riba fadhl dan riba nasi`ah diistilahkan oleh para fuqaha dengan riba bai’ (riba jual beli).Kaidah Seputar Dua Jenis Riba
1.    Perkara yang diwajibkan secara syar’i adanya tamatsul, maka tidak boleh ada unsur tafadhul padanya, sebab bisa terjatuh pada riba fadhl. Misal: Tidak boleh menjual 1 dinar dengan 2 dinar, atau 1 kg kurma dengan 1,5 kg kurma.
2.    Perkara yang diwajibkan adanya tamatsul maka diharamkan adanya nasi`ah (tempo), sebab bisa terjatuh pada riba nasi`ah dan fadhl, bila barangnya satu jenis. Misal: Tidak boleh menjual emas dengan emas secara tafadhul, demikian pula tidak boleh ada unsur nasi`ah.
3.    Bila barangnya dari jenis yang berbeda maka disyaratkan taqabudh (serah terima di tempat) saja, yakni boleh tafadhul namun tidak boleh nasi`ah. Misalnya, menjual emas dengan perak, atau kurma dengan garam. Transaksi ini boleh tafadhul namun tidak boleh nasi`ah.
Ringkasnya:
a.    Beli emas dengan emas secara tafadhul berarti terjadi riba fadhl.
b.    Beli emas dengan emas secara tamatsul namun dengan nasi`ah (tempo), maka terjadi    riba nasi`ah.
c.    Beli emas dengan emas secara tafadhul dan nasi`ah, maka terjadi kedua jenis riba yaitu fadhl dan nasi`ah. Hal ini berlaku pada barang yang sejenis. Adapun yang berbeda jenis hanya terjadi riba nasi`ah saja, sebab tidak disyaratkan tamatsul namun hanya disyaratkan taqabudh.Wallahua’lam.
Untuk lebih memahami masalah ini, kita perlu menglasifikasikan barang-barang yang terkena riba yaitu emas, perak (masuk di sini mata uang), kurma, burr (gandum), sya’ir dan garam menjadi dua bagian:
Bagian pertama: emas, perak (dan mata uang masuk di sini).
Bagian kedua: kurma, burr, sya’ir, dan garam.
Keterangannya:
1.    Masing-masing dari keenam barang di atas disebut satu jenis; jenis emas, jenis perak, jenis mata uang, jenis kurma, demikian seterusnya. Kaidahnya: bila jual beli barang sejenis, misal emas dengan emas, kurma dengan kurma dst, maka diwajibkan adanya dua hal: tamatsul dan taqabudh.
2.    Jual beli lain jenis pada bagian pertama atau bagian kedua, hanya disyaratkan taqabudh dan boleh tafadhul. Misalnya, emas dengan perak atau sebaliknya, emas dengan mata uang atau sebaliknya, perak dengan mata uang atau sebaliknya. Ini untuk bagian pertama.
Misal untuk bagian kedua: Kurma dengan burr atau sebaliknya, sya’ir dengan garam atau sebaliknya, kurma dengan sya’ir, kurma dengan garam atau sebaliknya. Dalil dua keterangan ini adalah hadits ‘Ubadah bin Ash-Shamit z, yang diriwayatkan oleh Muslim (no. 1587). Rasulullah n bersabda:
“Emas dengan emas, perak dengan perak, burr dengan burr, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma, garam dengan garam, harus semisal dengan semisal (tamatsul), tangan dengan tangan (taqabudh). Namun bila jenis-jenis ini berbeda, maka juallah terserah kalian (dengan syarat) bila tangan dengan tangan (kontan).”
3. Jual beli bagian pertama dengan bagian kedua atau sebaliknya, diperbo-lehkan tafadhul dan nasi`ah (tempo). Misalnya membeli garam dengan uang, kurma dengan uang, dan seterusnya. Hal ini berdasarkan kesepakatan para ulama yang dinukil oleh Ibnul Mundzir, Ibnu Hazm, Ibnu Qudamah, Nashr Al-Maqdisi, Al-Imam An-Nawawi, dan sejumlah ulama lain. Dalil mereka adalah sistem salam, yaitu menye-rahkan uang di awal akad untuk barang tertentu, dengan sifat tertentu, dengan timbangan tertentu dan diserahkan pada tempo tertentu.
Telah maklum bahwa alat bayar masa itu adalah dinar (mata uang emas) dan dirham (mata uang perak), dan barang yang sering diminta adalah kurma atau sya’ir atau burr (jenis barang yang terkena hukum riba).


Ash-Sharf (Money Changer)
            Ash-sharf secara bahasa berarti memindah dan mengembalikan. Sedangkan secara istilah fuqaha, definisi ash-sharf adalah jual beli alat bayar (emas, perak dan mata uang) dengan alat bayar sejenis atau beda jenis. Ulama Syafi’iyyah dan yang lainnya membedakan: bila sejenis (emas dengan emas, perak dengan perak) disebut murathalah dan bila beda jenis (emas dengan perak atau sebaliknya) disebut ash-sharf.
            Adapun mata uang dengan mata uang lebih dominan disebut ash-sharf.
Telah dijelaskan di atas bahwa naqd (alat bayar) adalah salah satu bagian dari dua bagian hasil klasifikasi barang-barang jenis riba. Telah dijelaskan pula bahwa bila terjadi jual beli sesama jenis maka harus tamatsul dan taqabudh, dan bila lain jenis harus taqabudh boleh tafadhul.
            Yang perlu dipahami adalah bahwa masing-masing mata uang yang beredar di dunia ini adalah jenis tersendiri (rupiah jenis tersendiri, real jenis tersendiri, dst.). Sehingga bila terjadi tukar-menukar uang sejenis haruslah taqabudh dan tamatsul. Misal-nya, uang Rp. 100.000,00 ditukar dengan pecahan Rp. 10.000,00, maka nominalnya harus sama. Bila tidak, berarti terjatuh dalam riba fadhl. Selain itu juga harus serah terima di tempat. Bila tidak, berarti terjatuh dalam riba nasi`ah. Bila tidak tamatsul dan tidak taqabudh, berarti terjatuh dalam riba fadhl dan riba nasi`ah sekaligus.
            Namun bila mata uangnya berlainan jenis (misal dolar ditukar dengan rupiah), maka harus taqabudh dan boleh tafadhul. Misalnya, 1 dolar bernilai Rp. 10.000,00, bisa ditukar Rp. 9.500,00 atau Rp. 10.500,00, namun harus serah terima di tempat. Wallahu a’lam.

C.     BAHAYA RIBA DALAM EKONOMI
Para ekonom modern dewasa ini, telah menyadari secara empiris bahwa bunga mengandung mudharat, karena mengambil keuntungan tanpa memikul resiko atas proyek usaha yang dikelola si peminjam adalah sebuah ketidakadilan dan ini dapat menimbulkan berbagai krisis. Karena itu, tidak mengherankan jika banyak pakar ekonomi yang berkeyakinan bahwa krisis ekonomi dewasa ini disebabkan oleh sistem ribawi. Fakta, kini telah membuktikan bahwa sistem riba banyak menimbulkan bencana di berbagai negara dan bangsa. Negara-negara penghutang di jerat hutang yang besar. 30 % hutang tersebut  adalah hutang bunga. Yang lebih zalim adalah hutang bunga itu bukan saja atas modal yang dipinjam, tetapi juga bunga atas bunga. Inilah yang disebut dengan bunga yang berlipat ganda.

Ekonom ternama, Lord Keyness, menyimpulkan bahwa suku bunga yang tinggi menyebabkan macetnya pasar atau terhentinya kegiatan industri dan kemudian secara negatif mempengaruhi penerimaan yang merupakan sumber produksi. Penyimpanan nasabah di bank akan berjalan terus-menerus, meski suku bunga turun sampai titik nol.

Dalam memberikan tanggapan terhadap dampak bunga, ekonomi kenamaan W.S Mitchel dengan tepat sekali menuturkan bahwa bunga memainkan peranan penting dalam mengakibatkan timbulnya krisis. Pendapat senada diungkapkan oleh Nurcholish Madjid, yang menyatakan bahwa sistem ekonomi ribawi dapat menghancurkan ekonomi dunia. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia saat ini, katanya, merupakan pengaruh global, karena dunia dikuasai oleh sistem ekonomi ribawi, ciptaan kapitalis. Dimana negara-nagara kaya menghisap darah negara-negara miskin dengan pinjaman bunga.

Ekonomi global akan mempengaruhi setiap negara, sehingga krisis yang dihadapi bangsa Indonasia tidak akan pernah selesai bila diatasi sendiri. Sistem ekonomi riba menurutnya menjadi faktor utama ketimpangan ekonomi antara barat dan negara-negara berkembang. Antara orang-orang kaya dan orang-orang miskin. Sistem itu memungkinkan terjadinya pemindahan kekayaan dalam sekejap dari negara-negara berkembang kepada negara-negara kapitalis.

Akibat sampingan yang amat terasa adalah terjadinya menumpukan asset dalam jumlah besar dan dikuasai segelintir masyarakat. Sedangkan mayoritas rakyat tidak mendapat sumber kehidupan. Dalam sistem ekonomi riba, terjadi pengalihan kekayaan secara mudah. Akibatnya orang menjadi materialistis secara rakus dan serakah.

Cara riba merupakan jalan usaha yang tidak sehat, karena keuntungan yang diperoleh si pemilik modal bukan merupakan hasil pekerjaan atau jerih payahnya. Adalah tidak adil, bila seorang kapitalis (pemilik modal), meraup bunga dari modal-nya, tanpa menanggung resiko sedikitpun dalam sebuah usaha.

Dalam kenyataannya, pemilik uang tak peduli apakah si peminjam atau si pengelola modal, untung dan rugi, yang penting baginya adalah bunga sekian persen harus diterimanya. Pada pinjaman sistem bunga, tak terdapat kebersamaan dan kemitraan sebagaimana dalam sistemmudharabah. Pada sistem bunga, keuntungan yang didapat dengan mengeksploitir orang lain yang pada dasarnya lebih lemah dari panya. Praktek semacam ini merugikan pengusaha kecil dan sebaliknya menambah kekayaan bagi orang-orang kaya dan orang-orang kuat tanpa menggangu resiko apapun. Akhirnya, yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin. Dalam perekonomian bebas bunga, pemecahan dan pengurangan penderitaan orang banyak direalisir secara adil.

Kerangka pemikiran tersebut sejalan dengan pandangan para filosuf yang menyatakan bahwa harta tidak melahirkan harta, uang tidak menelorkan uang. Harta baru dapat berkembang dengan cara bekerja dan usaha jerih payah untuk kedua belah pihak dan kemaslahatan masyarakat, sehingga terealisir kehidupan bersama yang adil antara harta dan kerja. Pada dasarnya, keperluan akan pinjaman, timbul karena kebutuhan ekonomi, utamanya kaum miskin. Hanya suatu masyarakat kaya yang bisa memberikan pinjaman kepada masyarakat miskin. Karena itu, dikenakannya bunga dalam bentuk apa saja pada pinjaman, adalah suatu pengingkaran pada prinsip universal persaudaraan manusia yang harus saling menolong. Jadi, riba merupakan penghisapan dari kebutuhan sesama saudara. Bunga telah merontokkan fitrah dasar manusia untuk saling bantu dan mengasihi.

Bunga menghancurkan dasar-dasar kehidupan manusia yang fundamental, yaitu saling membantu dan menolong. Bunga juga menjadikan manusia hanya mementingkan diri sendiri. Semua orang dalam masyarakat seperti itu, mempunyai kecendrungan untuk bergumul dalam segala sesuatu yang semata-mata didasarkan oleh materi/uang.

Selanjutnya, bunga juga secara signifikan memicu inflasi. Untuk membayar hutang, peminjam harus menaikkan harga barang sebagai kompensasi bunga yang harus di bayarkan. Dan untuk membayar hutang tersebut sering terjadi pemangkasan upah buruh.

Kemudian, harus diketahui bahwa dalam ekonomi Islam, perdagangan menjadi satu faktor utama dalam proses pembangunan. Dinamikanya dapat melalui kerjasama dan partisipasi. Sedangkan konsep bunga adalah konsep yang menguntungkan satu pihak dan pemilik modal cendrung mementingkan diri sendiri. Maka dari sudut pandang ekonomi dan etika, bunga sesungguhnya meruntuhkan sendi-sendi kemanusian, tidak saling membantu, egois dan individualistis yang pada akhirnya mencegah peningkatan sumber daya ekonomi.
                                                                                            
D.    KEWAJIBAN MENJAUHI MAKAN DAN PRAKTEK ATAU USAHA RIBA
1.      Kewajiban menjauhi makanan riba
            Kewajiban setiap muslim adalah menjauhi riba dengan segala macam bentuknya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda di dalam hadits shahih riwayat jabir radhiyallahu ‘anhu dan selainnya: “Allah SWT melaknat orang yang memakan riba, yang memberi makan, dua saksi dan penulisnya.”
Jadi ada lima orang yang dilaknat oleh ALLAH SWT melalui lisan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebagian ulama berkata: “Orang yang memakan riba” mencakup orang yang secara langsung mengambil hasil riba itu atau yang ikut memakan hasil riba itu, sebab nash ini bersifat umum.

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ - رضى الله عنه - عَنِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ « اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ » . قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ ، وَمَا هُنَّ قَالَ « الشِّرْكُ بِاللَّهِ ، وَالسِّحْرُ ، وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِى حَرَّمَ اللَّهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ ، وَأَكْلُ الرِّبَا ، وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ ، وَالتَّوَلِّى يَوْمَ الزَّحْفِ ، وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلاَتِ » .
Dari Abu Hurairah, Nabi bersabda, “Jauhilah tujuh dosa yang membinasakan!”. Para shahabat bertanya,“Apa saja tujuh dosa itu wahai rasulullah?”.
Jawaban Nabi, “Menyekutukan Allah, sihir, menghabisi nyawa yang Allah haramkan tanpa alasan yang dibenarkan, memakan riba, memakan harta anak yatim, meninggalkan medan perang setelah perang berkecamuk dan menuduh berzina wanita baik baik” [HR Bukhari no 2766 dan Muslim no 272].
Allah SWT berfirman:
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila.” (QS. Al-Baqarah: 275)
Sehingga tidak boleh makan riba, ia adalah harta yang buruk dan dikhawatirkan akibat buruknya menimpa siapa saja yang memakannya.
Sunnah telah memerintahkan untuk menjauhi harta yang haram, lalu Salaf mengamalkan demikian. Telah tsabit riwayat tentang Abi Bakar radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau radhiyallahu ‘anhu suatu hari makan makanan dari hasil meramal seseorang, tatkala diberitahukan kepada beliau radhiyallahu ‘anhu tentang itu, maka beliau radhiyallahu ‘anhu berupaya memuntahkan makanan tadi, sebab beliau radhiyallahu ‘anhu takut makanan hasil meramal ini akan tertinggal bekasnya dalam diri beliau radhiyallahu ‘anhu.
Sedangkan sesuatu itu haram adalah sebab dzatnya sendiri atau karena sifat yang ada padanya, maka setiap muslim harus menjauhi harta yang haram.
2.      Kewajiban menjauhi praktek atau usaha riba
            sebagai umat islam wajib menjauhi prakter atau usaha riba, karna itu membentuk bank atau badan usaha yang berbentuk syariah, Pada masa Rasulullah, Beliau telah memberikan rambu-rambu tentang bentuk-bentuk perdagangan atau peraktek usahu mana yang diperbolehkan dan mana yang dilarang . Salah satu larangan itu adalah larangan usaha yang mengandung riba., dimana ayat tentang larangan riba ini turun menjelang wafat Rasulullah . Sehingga beliau tidak sempat menjelaskan secara rinci tentang riba ini. Karena itulah peranan ijtihad para cendekiawan muslim sangat diharapkan untuk menggali konsep dasar tentang sistem perbankan modern yang sesuai prinsip syariah islam.
                عَنْ جَابِرٍ قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلمآكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ
Dari Jabir, Rasulullah melaknat orang yang memakan riba, nasabah riba, juru tulis dan dua saksi transaksi riba. Nabi bersabda, “Mereka itu sama” [HR Muslim no 4177]. 

No comments:

Post a Comment

Adbox