Terbaru

LightBlog

Wednesday, October 25, 2017

Makalah Partai politik masa orde baru

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar belakang
Orde baru merupakan sebuah istilah yang digunakan untuk memisahkan antara kekuasaanmasa Sukarno (Orde Lama) dengan masa Suharto. Sebagai masa yang menandai sebuah masa baru setelah pemberontakan Gerakan 30 September tahun 1965. Orde baru lahir sebagai upayauntuk: mengoreksi total penyimpangan yang dilakukan pada masa Orde Lama, penataan kembali seluruh aspek kehidupan rakyat, bangsa, dan negara Indonesia,melaksanakan Pancasila dan UUD1945 secara murni dan konsekuen dan menyusun kembali kekuatan bangsa untuk menumbuhkan stabilitas nasional guna mempercepat proses pembangunan bangsa.
            Partai politik merupakan institusi yang menjadi penyangga bekerjanya demokrasi perwakilan.selama demokrasi perwakilan masih di pandang selama sebagai cara paling masuk akal untuk mewujudkan daulat rakyat maka keberadaan partai politik tidak akan terhindarkan.partai politik dibutuhkan agar demokrasi perwakilan tetap berjalan. 

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Partai politik pada massa orde baru
Setelah runtuhnya rezim Demokrasi terpimpin atau Orde lama maka muncul kembali rezim baru yang disebut dengan Orde Baru.  Masa orde baru ini bisa dimulai ketika Presiden Sukarno memberikan surat Supersemar kepada Soharto. Menurut Joeniarto (Mahfudz MD,1998 : 200) mendefinisikan orde baru sebagai tatanan kehidupan negara dan bangsa yang diletakkan kembali pada pelaksanaan kemurnian Pancasila dan UUD 1945. Bangsa Indonesia pada masa Orde baru bertekad melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Maka sering dikatakan juga pada masa orde Baru ini sistemnya Demokrasi Pancasila karena ingin melaksanakan kehidupan pemerintahan berdasarkan Pancasila.
Yang menjadi obyek kajian yang menarik pada masa Orde Baru salah satunya tentang Pelaksanaan Pemilihan Umum ( Pemilu ). Pemilu pertama kali di Indonesia di laksanakan pada tahun 1955 yang bersifat nasional. Sebelumnya sebenarnya sudah dilakukan Pemilu tetapi hanya bersifat lokal seperti di Minahasa dan Yogyakarta pada tahun 1951. (Sigit P,2009 :59 ).
Pemilu pada tahun 1955 dilaksanakan dua kali. Yang pertama adalah Pemilu untuk memilih DPR dan yang kedua untuk memilih anggota Dewan Konstituante.  Ketika pada pemerintahan dipegang Presiden Suharto, pemilu yang kedua seharusnya dilaksanakan selambat-lambatnya 6 juli 1968 berdasarkan Tap MPRS No.XI Tahun 1966. Namun Presiden Suharto kemudian menyatakan pemilu tidak dapat dilaksanakan pada waktu yang telah ditentukan. MPRS kemudian menjadwal ulang pemilu dengan menetapkan pemilu paling lambat 5 juli 1971.
Menurut Sigit Pamungkas (2009 : 76) penundaan yang di lakukan Presiden  Suharto ini disebut politik Pemilu  pertama pada masa Orde Baru untuk mempersiapkan jalan agar kekuasaannya langgeng (bertahan lama).
Mahfud MD ( 1999:232 )  dalam bukunya Hukum dan Pilar-pilar Demokrasidibalik penundaan pemilu dari tahun 1968 menjadi 1971 ini telah dicapai kesepakatan kompromis antara partai-partai dan pemerintah meliputi dua hal, Pertama, partai-partai setuju memberi hak kepada pemerintah untuk mengangkat sepertiga dari seluruh anggota MPR dan mengangkat 100 orang dari 460 orang anggota DPR; kedua, pemerintah menyetujui usul partai-partai untuk menyelenggarakan Pemilu dengan sistem Proposional. Dengan hal ini maka pemerintah sudah memiliki kemenangan dalam struktur politik dan Ketatanegaraan.
Kemudian Harry Tjan Silalahi (Syamsuddin H,1998:54) memberikan gambaran ada dua hakikat pokok dalam Pemilu untuk pemahaman Politik ( political self-understanding ) Orde Baru. Pertama, pemilu bukanlah merupakan suatu alat atau sarana untuk mengubah pemerintah atau negara RI dan kedua keterlibatan masyarakat di dalam pemilu lebih merupakan kewajiban ketimbang hak  warganegara.  Kedua gambaran tersebut dapat artika bahwa pemilu pada Orde Baru lebih menekankan pada mempertahankan kekuasaan dan bukan untuk mengganti rezim pemerintahan. Ada hal mendasar yang menjadikan pemilu-pemilu pada Orde Baru dikategorikan Pemilu yang tidak demokratis.
Syamsudin Haris dalam buku Perihal Pemilu ( Sigit P,2009 : 75) menyebutkan yaitu pertama, terlalu dominan peranan pemerintah, dan sebaliknya, amat minimnya keterlibatan masyarakat hampir di semua tingkatan kelembagaan maupun proses pemilu. Kedua, proses pemilu tidak berlangsung fair karena adanya pemihakan pemerintah kepada salah satu organisasi peserta Pemilu yaitu Golkar.
Pada Orde baru perlu diketahui untuk penyelenggarakan Pemilu sebanyak 6 kali yaitu 1971, 1977,1982, 1987 1992 dan 1997.meskipun demikian, pelaksanaan pemilu dibawah orde baru memiliki karakter yang berbeda dengan pemilu yang dikenal negara-negara demokrasi pada umumnya. Jika di negara demokrasi karakter pemilu dibangun diatas prinsip fre and fair baik dalam struktur dan proses pemilu, sebaliknya, orde baru justru menghindari penerapan prinsip tersebut. Yang terjadi kemudian adalah ketidak seimbangan kontestasi antar peserta pemilu dan hasil pemilu tidak mencerminkan aspirasi dan kedaulatan rakyat.
Ada beberapa hal mendasar yang menjadikan pemilu-pemilu selama orde baru berkuasa tidak dikatogorikan sebagai pemilu yang demokratis:
1.      Pertama, terlalu dominannya peranan pemerintah,dan sebaliknya, amat minimnya keterlibatan masyarakat hampir di semua tingkatan kelembagaan maupun proses pemilu. Dominasi pemerintah yang yang terlalu besar terlihat dalam postur kelembagaan penyelenggaraan pemilu dari tingkat pusat hingga tingkat struktur kepanitiaan terendah yang di dominasi pemerintahaan. Kalaupun melibatkan unsur diluar pemerintahaan tidak lebih pada aksesoris belaka.
2.      Kedua, proses pemilu tidak berlangsung fair karena adanya pemihakan pemerintahan kepada salah satu organisasi peserta pemilu , yaitu golkar. Birokrasi dengan ‘ monoloyalitas-nya  dan militer mem back up golkar untuk mencapai kemenangan.
3.      Ketiga, menopoli pemerintahan dalam salah satu proses pemilu yang terpenting, yaitu penghitungan suara. Pada tahap ini, hampir tidak ada peluang bagi OPP di luar golkar mengikuti dan terlibat secara penuh dalam dalam penghitungannya, kecuali ditingkat tempat pemungutan suara. 
Pada Pemilu 1971 Pemilu pertama era Orde Baru yang dilaksanakan berdasarkan UU Nomor 15 Tahun 1969 tentang Pemilu. Untuk pemilu berikutnya , landasan hukumnya mengacu pada UU Nomor 15 tahun 1969 yang telah diperbaharui dengan UU Nomor 4 tahun 1975, UU Nomor 2 Tahun 1980 dan UU Nomor 1 Tahun 1985. Sekurang-kurangnya ada empat tujuan diadakan Pemilu pada era Orde Baru yang terdapat didalam konsiderans UU No. 15 tahun 1969 tentang Pemilu. Keempat hal tersebut adalah :
1.       Memilih wakil-wakil rakyat yang duduk dalam lembaga permusyawaratan/ perwakilan
2.       Melaksanakan kedaulatan rakyat atas dasar kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
3.       Mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
4.       Sebagai sarana untuk mencapai kemenangan Orde Baru dalam mewujudkan tata kehidupan yang dijiwai semangat Pancasila dan UUD 1945.
Dari keempat tujuan tersebut terdapat suatu kejanggalan yang mungkin merupakan penyimpangan politik Pemilu pada era Orde Baru. Pada tujuan Pemilu yang keempat menyebutkan bahwa tujuannya....mencapai kemenangan Orde baru......Dari hal tersebut jelas sekali bahwa tujuan pemilu pada orde baru bisa diasumsikan untuk memperoleh kemenangan pada satu pihak yaitu pemerintah yang bertahan pada saat itu. Untuk menjamin maksud tersebut maka pemilu dilaksanakan dengan sistem Proposional diselenggarakan oleh Pemerintah yang dikuasai oleh elit penguasa itu sendiri.
Menurut Miriam Budiardjo (2008 :462) memberikan pengertian untuk sistem Proposional dalam Pemilu ialah satu wilayah besar ( yaitu daerah pemilihan ) memilih beberapa wakil ( multi member constituency ) . Satu wilayah dianggap sebagai satu kesatuan, dan dalam wilayah itu, jumlah kursi dibagi sesuai jumlah yang diperoleh oleh konstestan, secara nasional, tanpa menghiraukan distribusi suara itu.
Dan menurut Syamsudin Haris ( 1998:123) dalam penentuan calon serta anggota DPR dilakukan oleh OPP (Organisasi Partai Politik ) yang terkontrol oleh pemerintah, bukan oleh pemilih melalui partisipasi pencalonan dan pemilihan nama calon. OPP ( organisasi partai Politik ) hanya sebagai pelaksana yang dikendalikan secara penuh oleh pemerintah. Sehingga OPP tidak bisa mengontrol sendiri Pemilu pada saat ini karena semua yang dilakukan OPP dikendalikan oleh Pemerintah.
Forum Rektor Simpul wilayah jawa Timur (2000:10 ) menjelaskan “ penguasa Orde Baru mengembangkan kerangka hegemoni guna mengukuhkan dominasi kekuasaannya, antara lain dengan mengembangkan citra masyarakat cacat, baik secara ideologis maupun sosiokultural.” Pemerintah pada saat itu memiliki organisasi pendukung untuk mempertahankan kekuasaan Pemerintahan yang mengikuti Pemilu yaitu Golkar ( Golongan Karya ).
Menurut Mahfud MD (1998 : 220-221) selain menggarap UU Pemilu dan melakukan emaskulasi terhadap partai-partai besar, pemerintah juga membangun partai sendiri yaitu Golongan Karya ( Golkar ). Sejak awal orde baru Golkar sudah didesain untuk menjadi partai pemerintah diproyeksikan menjadi tangan sipil, Angkatan Darat dalam Pemilu. Sekretariat Bersama Golkar adalah tangan sipil Angkatan Darat yang dulu berhasil secara efektif mengimbangi ( kemudian menghancurkan ) PKI.
Pada pemilu 1971 diikuti oleh 10 partai yaitu Golkar, NU, Parmusi ,PNI, PSII, Parkindo, Katolik, Perti , IPKI dan Murba. Kemudian hasil pemilu 1971 menempatkan Golkar sebagai mayoritas tunggal dengan perolehan suara 62,82%. PNI mendapat suara 6,93%, Parmusi mendapat 5,36%, Partai NU mendapat 18,68%, Parkindo 1,34 %, katolik 1,10 % dan Perti 0,69%. Sementara perolehan IPKI 0,69% dan Murba 0,08% sehingga tidak berhasil memenuhi angka untuk mendapatkan kursi DPR. ( Sigit P,2009 : 81).
Pemilih dari Golkar hampir seluruh Indonesia dengan perbandingan antara pemilih di Jawa dan Luar jawa yang sebanding besarnya. Dari sisi ideologi pemilih, dari ideologi Islam dan Sekuler juga sebagian besar memilih partai Golkar. Jika digambarkan maka sebagai berikut.
Pada pemilu tahun 1977, dari 10 partai yang ikut di pemilu 1971 di persempit jumlah pesertanya menjadi 3 Partai. Ketiga partai tersebut adalah Partai persatuan Pembangunan (PPP) yang sebagai partai Islam, Partai Demokrasi Indonesia (PDI) sebagai partai nasionalis dan Kristen, kemudian pemenang Pemilu 1971 yaitu Golkar yang dianggap sebagai Organisasi sosial politik milik Pemerintah yang berfungsi melanggengkan pemerintahan pada era Orde Baru.
Pada pemilu tahun 1977 ini mengacu pada UU No.3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya. Dari UU ini muncul politisasi dari UU yang di keluarkan oleh Pemerintah. Dalam pasal 1 ayat 1 UU No. 3 Tahun 1975 disebutkan “ Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan partai Politik dan Golongan Karya adalah Organisasi kekuatan sosial politik yang merupakan hasil pembaharuan dan penyederhanaan kehidupan politik di Indonesia. “ . Golkar sesuai dengan UU No. 3 Tahun 1975 dianggap bukan partai politik melainkan Organisasi sosial politik. Tetapi pada prakteknya Golkar dianggap sebagai partai politik karena pada saat itu selalu ikut dalam Pemilu. Karena di UU No.3 tahun 1975 tersebut memberikan suatu keistimewaan dari Golkar daripada partai-partai yang lain. Maka masyarakat akan lebih percaya dengan kinerja Golkar untuk memberikan pemerintahan yang terbaik bagi bangsa Indonesia. Karena Golkar adalah milik Pemerintah maka dalam orasinya menyuarakan kinerja terbaik Pemerintah Suharto.
Penyimpangan Hukum yang berbau Politik orde baru adalah tentang kepengurusan Partai, dipasal 10 ayat 1 UU No. 3 tahun 1975 di sebutkan bahwa kepengurusan partai-partai terbatas pada ibukota tingkat pusat, Dati I, Dati II.
Ketentuan ini menurut Miriam Budiardjo ( 2008 : 476 ) disebut massa mengambang ( Floating mass ) . Dalam hal ini justru menguntungkan Golkar karena Golkar bebas bergerak sampai ke desa. Hal ini karena Golkar adalah milik Pemerintah yang memiliki jaringan sampai ke perangkar Desa. Sedangkan kedua Partai yaitu PDI dan PPP tidak mempunyai kepengurusan sampai ke desa bahkan dengan adanya UU No. 3 tahun 1975 dilarang untuk membentuk kepengurusan sampai desa.
Hasil Pemilu pada tahun 1977 tetap dimenangkan oleh Golkar dengan perolehan 62,11%, kemudian untuk PPP dan PDI masing-masing hanya mendapat 29,29% dan 8,6% . Dilihat dari proses Pemilu dari tahun 1971-1997 ini memberikan suatu fenomena yang didominasi politisasi di Pemerintahan era Orde Baru. Sartori ( Sigit P,2009:84 ) menyebutkan sistem Kepartaian pada era Orde Baru adalah Hegemonik. Hegemonik ini adalah sebuah partai atau koalisis partai yang mendominasi kemenangan di suatu negara sampai kurun waktu tertentu. Sehingga konsistensi Golkar memenangkan Pemilu ini sebagai bentuk bahwa kedua Partai lawan yaitu PDI dan PPP tidak lebih hanya sebagai penyerta. Pemilu ada era Orde Baru hanya tidak ada kompetisi karena 6 kali Pemilu selalu dimenangkan oleh Golkar.
Hal yang menarik pada Orde Baru adalah Anggota Legislatif yang terpilih dari pemilu lebih merespon kepada Pemerintah daripada aspirasi rakyat. Karena pada saat itu yang membuat rancangan Perundang-undangan adalah Eksekutif. Maka Legislatif lebih dikenal sebagai lembaga yang hanya mengesahkan saja. Hal ini karena anggota Legislatif berasal dari Golkar. Dan Golkar sendiri adalah memilih Pemerintah. Pengendali utama para anggota Golkar dari Eksekutif Pemerintahan. Pada era orde Baru ini lebih sering dikenal sebagai Pemerintahan yang otoriter. Dengan Kemenangan Golkar pada era Orde Baru ini, pemilu yang dilaksanakan tidak melahirkan sirkulasi elit Penguasa. Elit Penguasa yang berkuasa hanya berputar disekitar kroni Suharto. Setiap kali Pasca Pemilu, PDI dan PPP tidak serta merta ikut dalam pemerintahan.
2.2 Keterlibatan ABRI dalam politik masa Orde baru
Untuk anggota DPR yang duduk di Parlemen tidak semuanya hasil Pemilu tetapi ada penunjukan dari pihak ABRI sebanyak 75 orang. Jumlah ini tidak sebanding dengan jumlah anggota dari Partai PDI dan PPP yang ada di DPR. Dwifungsi ABRI, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya diartikan bahwa ABRI memiliki dua fungsi, yaitu fungsi sebagai pusat kekuatan militer Indonesia dan juga fungsinya di bidang politik. Dalam pelaksanaannya pada era Soeharto, fungsi utama ABRI sebagai kekuatan militer Indonesia memang tidak dapat dikesampingkan, namun pada era ini, peran ABRI dalam bidang politik terlihat lebih signifikan seiring dengan diangkatnya Presiden Soeharto oleh MPRS pada tahun 1968. Hal ini dipandang wajar karena pada saat itu sektor militer memiliki kekuatan yang paling besar. Sebenarnya, sejak awal milliter ikut ambil peran dalam mengurusi urusan sipil telah muncul suatu indikasi dimana kekuatan militer Indonesia dianggap akan memgang peran penting dalam sejarah perpolitikan Indonesia.
Indikasi ini muncul sesuai dengan teori Hunnington dan Finner yang mengatakan bahwa penyebab paling penting dari intervensi militer dalam bidang politik adalah sistem kebudayaan politiknya, struktur politik, serta institusinya. Oleh karena itulah, tidak heran jika partisipasi politik dari kekuatan militer Indonesia sangat kental pada masa itu mengingat masih rendahnya level sistem budaya politik pada masa itu serta tidak mampunya membatasi kegiatan militer pada bidang non-politis saja.
Secara umum, intervensi ABRI dalam bidang poilitik pada masa Orde Baru yang mengatasnamakan Dwifungsi ABRI ini salah satunya adalah dengan ditempatkannya militer di DPR, MPR, maupun DPD tingkat provinsi dan kabupaten. Perwira yang aktif, sebanyak seperlima dari jumlahnya menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPRD), dimana mereka bertanggung jawab kepada komandan setempat, sedangkan yang d di MPR dan DPR tingkat nasional bertanggung jawab langsung kepada panglima ABRI. Selain itu, para ABRI juga menempati posisi formal dan informal dalam pengendalian Golkar serta mengawasi penduduk melalui gerakan teritorial diseluruh daerah dari mulai Jakarta sampai ke dareah-daerah terpencil, salah satunya dengan gerakan AMD (ABRI Masuk Desa).
Keikutsertaan militer dalam bidang politik secara umum bersifat antipartai. Militer percaya bahwa mereka merupakan pihak yang setia kepada modernisasi dan pembangunan. Sedangkan partai politik dipandang memiliki kepentingan-kepentingan golongan tersendiri. Lebih jauh, Harold Crouch dalam bukunya “Militer dan Politik di Indonesia” menerangkan bahwa pandangan pihak militer terpecah menjadi dua kelompok, namun keduanya tetap menganut sifat antipartai. Hal ini juga disampaikan oleh A.H. Nasution. Kelompok pertama adalah kelompok berhalauan keras yang ingin mengubah struktur politik dengan sistem dwipartai. Berbeda dengan kelompok tersebut, kelompok kedua adalah kelompok moderat yang cenderung tetap ingin mempertahankan sistem politik saat itu, dan menginginkan perubahan dilaksanakan secara bertahap dan alami.Contoh kasus yang nyata dari kelompok militan adalah pada tahun 1967, Panglima Divisi Siliwangi HR Dharsono, didukung oleh Panglima Kostrad Kemal Idris, menyiarkan suatu rencana menjalankan sistem dwipartai di Jawa Barat. Mereka mengusulkan pembubaran partai-partai yang ada. Namun usulan-usulan pembubaran partai ini ditolak oleh kelompok moderat yang berada di sekililing Soeharto pada tahun 1967 dan 1968.
Perbedaan pandangan ini kemudian dimenangkan oleh kelompok moderat. Alasannya adalah bahwa pembubaran partai dapat menciptakan pandangan bahwa Orda Baru bersifat diktatorisme. Soeharto lebih percaya bahwa perubahan harus dilakukan melalui jalan demokrasi, yaitu melalui pemilu. Pandangan demikian kemudian menimbulkan korelasi antara ABRI dan kemunculan beberapa partai politik sepanjang era Orde Baru.
1.       yaitu Golkar. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, kelahiran Golkar tidak lepas dari peran dan dukungan militer, yang pada saat itu merupakan bentuk reaksi terhadap meningkatnya kampanye PKI. Embrio Golkar awalnya muncul dengan pembentukan Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar). Namun setelah kudeta PKI tahun 1965, Sekber Golkar perlahan-lahan berubah menjadi partai politik. Selain itu, seperti kita tahu bersama juga, Presiden Soeharto kemudian menjatuhkan pilihannya pada Golkar. Jadi, peran ABRI bagi Golkar cukup prominen.
2.      yaitu Partai Persatuan Pembangunan. Sejalan dengan maksud pemerintahan untuk melakukan penyederhanaan partai-partai politik, maka dilaksanakan fusi-fusi partai politik. Hal ini juga dipicu oleh pendapat Letjen Ali Moertopo pada bulan Mei 1971. Beliau berpendapat bahwa strukturisasi tidak harus dilakukan melalui pembubaran partai politik. Ternyata dorongan fusi ini justru disambut baik oleh golongan Islam. Oleh karena itu, lahirlah PPP pada tanggal 5 Januari 1973 yang ditandatangani oleh NU, Parmusi, PSII, dan Perti. Ketersediaan partai-partai tersebut tidak lepas dari tekanan pemerintah dan militer.
3.      yaitu Partai Demokrasi Indonesia (PDI). PDI juga merupakan partai yang terbentuk pada praktik fusi oleh pemerintah. PDI terfusi atas partai-partai yang cenderung bersifat nasionalis seperti PNI, Murba, IPKI, serta Parkindo dan Partai Katolik (yang menolak dikategorikan dalam kategori material-spiritual). Ketiga partai yang terbentuk ini kemudian mengindikasikan keberhasilan penyederhanaan partai pada Orde Baru (dengan bantuan ABRI atau militer), karena sejak saat itu hingga tahun 1998/1999 hanya PPP, PDI dan Golkar yang mengikuti pemilihan umum.
Keterlibatan ABRI di sektor eksekutif sangat nyata terutama melalui Golkar. Hubungan ABRI dan Golkar disebut sebagai hubungan yang bersift simbiosis mutualisme. Contohnya pada Munas I Golkar di Surabaya (4-9 September 1973), ABRI mampu menempatkan perwira aktif ke dalam Dewan Pengurus Pusat. Selain itu, hampir di seluruh daerah tingkat I dan daerah tingkat II jabatan ketua Golkar dipegang oleh ABRI aktif. Selain itu, terpilihnya Sudharmono sebagai wakil militer pada pucuk pemimpin Golkar (pada Munas III) juga menandakan bahwa Golkar masih di bawah kendali militer.
Selain dalam sektor eksekutif, ABRI dalam bidang politik juga terlibat dalam sektor Legislatif. Meskipun militer bukan kekuatan politik yang ikut serta dalam pemilihan umum, mereka tetap memiliki wakil dalam jumlah besar (dalam DPR dan MPR) melalui Fraksi Karya ABRI. Namun keberadaan ABRI dalam DPR dipandang efektif oleh beberapa pihak dalam rangka mengamankan kebijaksanaan eksekutif dan meminimalisir kekuatan kontrol DPR terhadap eksekutif. Efektivitas ini diperoleh dari adanya sinergi antara Fraksi ABRI dan Fraksi Karya Pembangunan dalam proses kerja DPR; serta adanya perangkat aturan kerja DPR yang dalam batas tertentu membatasi peran satu fraksi secara otonom. Dalam MPR sendiri, ABRI (wakil militer) mengamankan nilai dan kepentingan pemerintah dalam formulasi kebijakan oleh MPR.
Setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah tentu memiliki dampak yang akan dirasakan secara luas, tidak terkecuali Dwifungsi ABRI. Dalam hal ini, kita akan mengetahui bahwa Dwifungsi ABRI tidak hanya menimbulkan dampak negatif sebagaimana yang berkembang di masyarakat selama ini, namun juga dampak positif bagi system politik di Indonesia yang seringkali tidak diekspos pada masyarakat. Diantara berbagai dampak negatif yang muncul sebagai konsekuensi pelaksanaan Dwifungsi ABRI, berkurangnya jatah kaum sipil di bidang pemerintahan adalah hal yang paling terlihat. Pada masa Orde Baru, pelaksanaan negara banyak didominasi oleh ABRI. Dominasi yang terjadi pada masa itu dapat dilihat dari: Banyaknya jabatan pemerintahan mulai dari Bupati, Walikota, Gubernur, Pejabat Eselon, Menteri, bahkan Duta Besar diisi oleh anggota ABRI yang “dikaryakan”,Selain dilakukannya pembentukan Fraksi ABRI di parlemen, ABRI bersama-sama Korpri pada waktu itu juga dijadikan sebagai salah satu tulang punggung yang menyangga keberadaan Golkar sebagai “partai politik” yang berkuasa pada waktu itu,
            ABRI melalui berbagai yayasan yang dibentuk diperkenankan mempunyai dan menjalankan berbagai bidang usaha dan lain sebagainya. Pada akhirnya, keberhasilan Presiden Soeharto untuk menjalankan berbagai macam program pembangunannya menjadi dampak positif diberlakukannya konsep Dwifungsi ABRI di era orde baru. Dengan adanya Dwifungsi ABRI tidak bisa kita pungkiri kegiatan politik masyarakat khususnya yang tidak sejalan dengan apa yang digariskan oleh pemerintah berada di bawah kekangan. Namun demikian, terjadi sebuah stabilitas politik yang mampu menjadi pendorong bagi keberhasilan program-program yang dicanangkan oleh pemerintah. Hal ini bisa kita lihat dengan kiprah Fraksi ABRI di DPR-RI yang dengan tegas memposisikan dirinya sebagai partai pendukung pemerintah. Jika ditambah dengan suara Golkar, tentu saja setiap kebijakan pemerintah yang dibahas di DPR-RI dapat berjalan dengan mulus tidak seperti apa yang kita lihat pada masa pemerintahan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono.
dengan status Soeharto sebagai seorang pemimpin yang berasal dari golongan tentara memicu banyaknya ABRI yang mulai terjun dalam bidang politik pemerintahan Indonesia. Hal ini juga didukung oleh beberapa statement bahwa element yang dapat mengatasi ancaman pertahanan dan pembangunan nasional adalah dengan menyelaraskan peranan ABRI yang tidak lagi hanya bergerak dibidang hankam tetapi bidang non-hankam. Akibatnya, tak terhitung banyaknya anggota ABRI yang menjadi anggota DPR, DPRD, atau posisi lainnya dalam birokrasi pemerintahan di Indonesia.
      Banyaknya anggota ABRI yang duduk di kursi pemerintahan menuai banyak implikasi positif maupun negatif. Implikasi positif ini cenderung banyak dirasakan oleh para anggota ABRI yang mendominasi kursi pemerintahan di Indonesia pada era Soeharto. Disisi lain, dampak negatif cenderung banyak dirasakan oleh masyarakat Indonesia dimana mereka merasakan sistem pemerintahan Indonesia saat itu berada dalam dominasi ABRI yang memicu banyaknya praktek kolusi, korupsi, dan nepotisme. Hal ini, jelaslah membawa dampak yang merugikan untuk bangsa Indonesia sebagai komponen yang seharusnya dilindungi dan dipenuhi kebutuhannya.

No comments:

Post a Comment

Adbox