Terbaru

LightBlog

Thursday, October 26, 2017

Hukum Politik Perbankan Syariah di INDONESIA

BAB II
PEMBAHASAN
HUKUM POLITIK PERBANKAN SYARIAH DIINDONESIA

A.    Pengertian Hukum

Pengertian Hukum Secara Umum adalah keseluruhan norma yang oleh penguasa masyarakat yang berwenang menetapkan hukum, dinyatakan atau dianggap sebagai peraturan yang mengikat bagi sebagian atau seluruh anggota masyarakat tertentu, dengan tujuan untuk mengadakan suatu tata yang dikehendaki oleh penguasa tersebut

Menurut J.C.T. Simangkir, S.H. dan Woerjono Sastropranoto, S.H. “ Hukum ialah peraturan- peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan bermasyarakat yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwaji, pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan tadi yan berakibatkan diambilnya tindakan, yaitu dengan hukum tertentu”.

B.     Politik
Secara etimologis, politik berasal dari kata Yunani polis yang berarti kota atau negara kota. Kemudian arti itu berkembang menjadi polites yang berarti warganegara, politeia yang berarti semua yang berhubungan dengan negara, politika yang berarti pemerintahan negara dan politikos yang berarti kewarganegaraan.
Pada umumnya dapat dikatakan bahwa politik (politics) adalah bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik (atau negara) yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu. Pengambilan keputusan (decision making) mengenai apakah yang menjadi tujuan dari sistem politik itu menyangkut seleksi terhadap beberapa alternatif dan penyusunan skala prioritas dari tujuan-tujuan yang telah dipilih. Sedangkan untuk melaksanakan tujuan-tujuan itu perlu ditentukan kebijakan-kebijakan umum (public policies) yang menyangkut pengaturan dan pembagian (distribution) atau alokasi (allocation) dari sumber-sumber (resources) yang ada. Untuk bisa berperan aktif melaksanakan kebijakan-kebijakan itu, perlu dimiliki kekuasaan (power) dan kewenangan (authority) yang akan digunakan baik untuk membina kerjasama maupun untuk menyelesaikan konflik yang mungkin timbul dalam proses itu. Cara-cara yang digunakan dapat bersifat meyakinkan (persuasive) dan jika perlu bersifat paksaan (coercion). Tanpa unsur paksaan, kebijakan itu hanya merupakan perumusan keinginan (statement of intent) belaka.
Politik hukum, politik adalah “cara bertindak, cara atau kebijakan untuk mencapai tujuan tertentu”Secara umum politik terkait erat dengan masalah kenegaraan atau yang berhubungan dengan negara. Terlepas dari itu, “politik hukum” memiliki definisinya sendiri. Menurut Satjipto Rahardjo, politik hukum adalah aktivitas untuk menentukan suatu pilihan mengenai tujuan dan cara-cara yang hendak dipakai untuk mencapai tujuan hukum dalam masyarakat. Padmo Wahjono disetir oleh Kotam Y. Stefanus mengatakan bahwa politik hukum adalah kebijaksanaan penyelenggara Negara tentang apa yang dijadikan criteria untuk menghukumkan sesuatu ( menjadikan sesuatu sebagai Hukum ). Kebijaksanaan tersebut dapat berkaitan dengan pembentukan hukum dan penerapannya. Politik hukum adalah “legal policy tau garis (kebijakan) resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru mauoun dengan penggantia hukum lama, dalam mencapai tujuan negara”. Dengan demikian, politik hukum merupakan pilihan tentang hukum-hukum yang akan diberlakukan sekaligus pilihan tentang hukum-hukum yang akan dicabut atau tidak diberlakukan yang kesemuanya dimaksudkan untuk mencapai tujuan negara seperti yang tercantum  didalam pembukaan UUD 1945.
C.    Perbankan Syariah
Perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup tentang kelembagaan, kegiatan usaha serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya.
Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkan kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan / atau bentuk lainnya dalam meningkatkan taraf hidup orang banyak.
Pembiayaan berdasarkan prinsip syariah adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara  bank dan dengan pihak lain  yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.
Prinsip Syariah adalah aturan perjanjian berdasrkan hukum islam antara bank antara bank lain untuk menyimpan dana/ atau pembiayaan kegiatan usaha dan/ atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai syariah, antara lain pembiayaan bersasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaandengan prinsip penyertaan modal (musyarakah), prinsip jual beli dengan memperoleh keuntungan  (murabahah), pembiayaan barang modal berdasrkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau adanya pilihan pemindahan pemilikan atau barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtima).
D.    Landasan  Hukum Perbankan Syariah
Perbankan  syariah di negara-negara islam berpengaruh di indonesia. Pada awal periode 1980-an, ketika beberapa aktivitas muda islam melakukan kajian tentang ekonomi islam, mengkomendasikan urgensi perbankan syariah, bahkan mempraktekannya dalam skala yang terbatas, antara lain melalui bait a-tamwil salman, Bandung. Upaya yang lebih insentif dilakukan pada tahun 1990-an. Yang puncaknya pada Musyawarah Nasional IV MUI di Jakarta, 22-25 Agustus 1990.  Berdasarkan amanat Munas IV MUI, dibentuk sekelompok kerja untuk mendirikan bank islam i indonesia. Hasil kerja TIM ini adalah pendirian PT Bank Muamalat ( BMI) Yang sesuai akte pendirianny, berdiri pada tanggal 1 nopember 1991. Sejak tanggal 1 mei 1992, BMI resmi beroperasi dengan modal awal sebesar Rp 106.382.000; sampai bulan September 1999, BMI telah Memiliki lebih dari 45 outlet yang tersebar diseluruh wilayah Indonesia, dan lain sebagainya.
Pada saat pendirian BMI, Presiden soeharto, wakil presiden Sudarmono dan pejabat negara lain menjadi pendukung utama pendiriannya. Sehingga pendirian bank syariah pertama diindonesia ini penuh dengan nuansa politik. Namun dalam perkembangannya, pendirian perbankan Syariah mulai berbijak pada landasan Ekonomi, sesuai dengan kebutuhan Riil masyarakat sehingga pertumbuhan perbankan Syariah diidonesia cukup pesat

E.     Hukum Dasar Perbankan Syari’ah
Pengertian hukum dasar di sini harus dibedakan dengan dasar hukum. Karena keduanya memiliki perbedaan yang sangat mendasar. Dasar hukum memberikan arah pengertian kepada wujud atau materi hukum itu sendiri. Sedangkan hukum dasar lebih memberikan pengertian dimana hukum itu berada dan harus digali.
Ubi Societas Ibi Ius “dimana ada hukum di sana ada masyarakat”. Artinya tidak ada sebuah komunitas mayarakatpun yang tidak memiliki hukum. Hanya saja hukum di sini sifatnya masih sangat sederhana sekali yang biasanya berupa tradisi.
Hukum bersifat lokal, cukup untuk memberikan arah ketertiban dalam pergaulan yang juga bersifat lokal, terbatas pada kebutuhan komunitas tersebut. Hukum dalam arti yang demikian ini belum ditulis secara rapi sebagai pegangan yang harus dihormati dan dijunjung tinggi. Hukum hanya merupakan kesepakatan-kesepakatan sosial yang mengikat langkah-langkah kehidupan mereka.
Dari kesepakatan-kesepakatan sosial yang dibatasi oleh wilayah teritorial sebuah komunitas inilah hukum dasar harus digali. Hal ini dimaksudkan agar hukum yang dipakai dan dijadikan pedoman dalam kehidupan masyarakat sesuai dengan cita kehidupan mayarakat yang bersangkutan.
 Di dalam konteks Indonesia, sudah barang tentu hukum dasar itu harus digali dari tempat dimana rakyat Indonesia hidup dan tumbuh berkembang. Sebuah komitmen yang monumental, menunjukkan bahwa Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah merupakan suatu wujud deklarasi yang diakui oleh seluruh dunia. Di mana di dalamnya disebutkan cita bangsa Indonesia yang harus dipelihara, ditumbuhkembangkan, dan dijaga demi harkat dan martabat bangsa Indonesia yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, sebagaimana yang telah disebutkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, alinea 4 sebagai berikut: “Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemenrintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pada prinsipnya yang melatarbelakangi dan menjiwai sistem Undang-Undang Dasar 1945 yaitu bahwa Undang-Undang Dasar 1945 tidak lain adalah merupakan hasil deduksi logis dari suatu hukum yang lebih tinggi, yaitu hukum ada di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Hukum yang terdapat di dalam Pembukaan ini adalah merupakan apa yang di dalam teori disebut sebagai “Staatsfundamental Recht” atau “Fundamental Law” Negara kita. Di dalam istilah penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 hukum itu disebut dengan istilah hukum dasar, dimana di dalamnya terdapat cita hukum yang di dalam bahasa Jerman disebut Rechtsidee. Sehingga secara hierarchie tata hukum kita adalah sebagai berikut:
Rechtsidee, dari rechtsidee ini kemudian ditarik keluar,
Asas-asas atau prinsip-prinsip dasar hukum kita. Dari sini ditarik keluar apa yang disebut:
Hukum Dasar yang tidak tertulis. Dari Hukum Dasar yang tidak tertulis ditarik keluar apa yang dapat dijelmakan dalam: Hukum Dasar yang tertulis yaitu UUD 1945. Atas dasar hukum dasar yang tertulis ini dibentuk selanjutnya: Badan Hukum Publik berbentuk dalam Negara Republik Indonesia. Badan Hukum Publik ini adalah sebagai pelaksana untuk menjelmakan Rechtsidee beserta hukum dasar yang ada di dalamnya itu menjadi kenyataan di dalam kehidupan berbangsa.
Hukum yang berhasil digali dari hukum dasar tersebut kemudian dirumuskan menjadi sebuah kebijakan oleh pemerintah guna mendapatkan apresiasi positif masyarakat dan dapat dilaksanakan oleh pihak yang berwenang. Kebijakan pemerintah sebagaimana dimaksudkan, harus mengarah pada suatu tujuan yang aplikatif dan mengandung keterpautan dengan apa yang seyogyanya atau senyatanya dan yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah, dalam arti bukan merupakan sesuatu yang ingin dilakukan dan dipaksakan.
Dalam konteks yang demikian, hukum merupakan suatu kebutuhan yang melekat pada kehidupan sosial itu sendiri. Hukum melayani anggota-anggota masyarakat dalam mengalokasikan kekuasaan, mendistribusikan sumber daya, melindungi kepentingan anggota-anggota masyarakat, dan menjamin tercapainya tujuan yang telah ditetapkan dalam masyarakat. Hal ini perlu mendapatkan perhatian khusus oleh semua kalangan, khususnya mereka yang terkait langsung dengan kewenangan pembuatan kebijakan demi pembentukan hukum yang bersifat responsive. Dengan demikian kebijakan harus diartikan sebagai: “Kebijakan yang dikembangkan atau dirumuskan oleh instansi-instansi serta pejabat-pejabat pemerintah” . Menurut Burkhardi Krems sebagaimana dikutip oleh Attamimi, pembentukan peraturan perundang-undangan meliputi kegiatan yang berhubungan dengan isi atau subtansi peraturan, metode pembentukan serta proses dan prosedur pembentukan peraturan. Setiap bagian kegiatan tersebut harus memenuhi persyaratan-persyaratannya sendiri agar produk hukum tersebut dapat berlaku sebagaimana mestinya, baik secara yuridis, politis maupun sosiologis. Dalam kaitan ini aktor-aktor bukan pemerintah atau swasta, tentu saja dapat mempengaruhi perkembangan atau perumusan kebijakan negara.
Bertitik tolak dari apa yang telah dipaparkan di atas, bisa diambil sebuah kesimpulan bahwasanya kebijakan pemerintah Indonesia di bidang perekonomian harus berakar dan bersumber pada kulturbegrif bangsa Indonesia. Dalam konteks budaya bangsa inilah kewajiban mengakomodasi hukum–hukum yang berlaku di negeri Nusantara ini merupakan suatu keharusan yang tidak bisa dikesampingkan. Sehinga adat-istiadat dan agama menjadi unsur dominan lahirnya aturan hukum perekonomian (perbankan) yang sesuai dan cocok untuk bagsa Indonesia.
Dengan tanpa berbuat dan berfikiran diskriminatif, bahwa secara faktual sebagian besar penduduk Indonesia adalah beragama Islam, bahkan dengan kebesarannya itu Islam tampil dengan segala sarana dan prasarana kehidupan, termasuk di dalamnya konsep perekonomian dan perbankan.
      Maka konsep perekonomian dan perbankan yang harus dikembangkan di Indonesia ini seharusnya mempergunakan konsep Islam yang dalam tulisan ini adalah konsep perbankan syari’ah. Dalam kenyataannya keberadaan ekonomi (bank) syari’ah di Indonesia, merupakan hal yang sudah lama menjadi aktivitas masyarakat. Hanya saja yang menjadi persoalan adalah bahwa aktivitas perekonomian yang demikian itu masih bersifat soiologis (voluntary law) semata. Dengan kata lain aktivitas perbankan syari’ah di kalangan masyarakat, sekalipun dari sisi keadilan sudah dianggap memadai, namun pada sisi-sisi yang lain seperti kepastian hukum dan lainnya masih perlu diupayakan. Kalau dalam teori kedaulatan negara dinyatakan bahwa kedudukan hukum memang lebih rendah dari pada kedudukan negara, dan negara tidak tunduk kepada hukum karena hukum diartikan sebagai perintah-perintah dari negara (bentuk imperatif dari norma), akan tetapi menurut Krabe (tokoh teori kedaulatan hukum) negara sendiri dalam kenyataannya tunduk pada hukum. Menurutnya hukum itu sendiri bersumber dari rasa hukum yang terdapat dalam masyarakat itu sendiri. Rasa hukum ini yang disebut instink hukum sebagai tingkatan terendah, sebaliknya dalam tingkatan yang lebih tinggi disebut kesadaran hukum. Lebih lanjut Krabe mengatakan rasa hukum itu terdapat pada diri setiap individu, disamping rasa lainnya seperti kesusilaan, rasa keindahan dan rasa keagungan.
Dengan demikian jelaslah bahwa negara (pemerintah) sangat berkewajiban membentuk suatu undang-undang yang khusus dalam persoalan perekonomian rakyat sesuai dengan kultur Indonesia yang dalam kenyataannya terwarnai dengan kultur Islami, demi tercapainya keteraturan keadilan kepastian hokum.

Konsep Perbankan Syari’ah
Pengertian Perbankan Syari’ah Lembaga perbankan merupakan inti dari sistem keuangan di setiap negara. Karena bank merupakan rujukan setiap orang, badan-badan usaha, baik swasta maupun milik negara/pemerintah. Baik dalam hal menyimpan uang maupun meminjam, serta jasa-jasa lainnya yang terkait dengan masalah keuangan. Melalui kegiatan perkreditan dan berbagai jasa yang diberikan, bank melayani pembiayaan serta melancarkan mekanisme sistem pembayaran bagi semua sektor perekonomian. Berkaitan dengan masalah bank, Pasal 1 butir 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, merumuskan bahwa bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
Sedangkan dalam Peraturan Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syari’ah, Pasal 1 butir 9 dijelaskan: “Dewan Syari’ah Nasional adalah dewan yang dibentuk oleh Majelis Ulama’ Indonesia yang bertugas dan memiliki kewenangan untuk menetapkan fatwa tentang produk dan jasa dalam kegiatan usaha Bank yang melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syari’ah”. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa yang dimksudkan dengan Bank Syari’ah adalah Bank sebagaimana bank umum (konvensional) yang menjalankan keuangannya berdasarkan prinsip syari’ah.

Basis Kebijakan Hukum Perbankan Syari’ah
Di muka sudah dijelaskan bahwa sekalipun bank syari’ah ini relatif masih muda, namun fakta sosial tetap menunjukkan adanya eksistensi perbankan syari’ah yang kokoh. Hal ini bisa dilihat dari animo masyarakat yang begitu besar terhadap bank syari’ah, baik dalam hal meminjam maupun menyimpan uangnya. Di dalam Himpunan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional, NO: 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah, pada konsideran disebutkan: Bahwa masyarakat banyak memerlukan bantuan penyaluran dana dari bank berdasarkan pada prinsip jual beli;
Bahwa dalam rangka membantu masyarakat guna melangsungkan dan meningkatkan kesejahteraan dan berbagai kegiatan, bank syar’ah perlu memiliki fasilitas murabahah bagi yang memerlukannya, yaitu menjual suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai laba.
Bahwa oleh karena itu, DSN memandang perlu menetapkan fatwa tentang murabahah untuk dijadikan pedoman oleh bank syari’ah.
Dengan demikian operasional bank syariah sama sekali berbeda dengan bank konvenional yang hanya berlatar belakang keuntungan (profit sharing) di mana teori kapitalis dan sosialis menjadi dominan. Bank syari’ah yang diproyeksikan sebagai alat tolong menolong antara mereka yang memiliki modal dan mereka yang memiliki keahlian kerja, masing-masing mendapatkan keuntungan karena jasanya satu terhadap yang lain. Kehadiran hukum dalam sistem perbankan syari’ah yang secara nyata ingin memberikan sumbangan pembangunan di bidang perekonomian merupakan hal yang sangat berarti. Bahkan merupakan hal yang mutlak diperlukan, demi ketertiban, keadilan dan kepastian hukumnya. [10]
F.     Perbankan Syariah Dalam Perspektif Politik Hukum Indonesia Masa Kini

Pemberlakuan Hukum Islam dibidang muamalat khususnya perbankan syariah mempunyai arti tersendiri bagi umat Islam Indonesia. Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang perbankan, ketentuan hukum Islam di bidang muamalat belum dapat dikatakan diakui dalam tata hukum nasional. Namun sejak lahirnya UU No.7 tahun 1992 yang diikuti dengan PP No.72 tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil, dan kemudian lahir Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 yang merupakan amandemen atas UU No.7 tahun 1992 tentang Perbankan dan diperkuat dengan beberapa peraturan dari Bank Indonesia, maka dapat dikatakan penerapan hukum Islam dibidang muamalat di Indonesia secara yuridis formal telah diakui eksistensinya.
Adanya hubungan yang cukup baik antara umat Islam dengan Negara dan juga telah diterimanya asas tunggal Pancasila dalam kehidupan berorganisasi dan Politik, maka yang semula politik hukum Indonesia pada masa awal orde baru kurang responsip bahkan memarginalkan hukum Islam, sedikit demi sedikit atau pelan tetapi pasti hukum Islam diberi tempat dalam tata hukum nasional, dimulai dengan lahirnya UU No.1 tahun 1974 tentang perkawinan, UU No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan khususnya perbankan syariah juga diberikan landasan hukum yang kuat yaitu UU No.7 tahun 1992 dan kemudian diubah dengan UU No.10 tahun 1998.
Pada Era Reformasi saat sekarang ini disamping GBHN 1999-2004 telah memberikan tempat berlakunya hukum agama (Islam) dalam tata hukum nasional, juga dalam TAP MPR Nomor III Tahun 2000 antara lain menyatakan sumber hukum di Indonesia terdiri dari sumber hukum tertulis dan tidak tertulis, maka kesempatan untuk mengembangkan dan memasukkan hukum Islam, terutama hukum ekonomi Islam sangat besar peluang dan harapannya. Hal ini didukung dengan telah diamandemen UUD 1945 terutama ps.24 dan 25 yang menempatkan Peradilan Agama dalam lingkup yudikatif , lalu diundangkannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yang antara lain telah mengakui keberadaan lembaga-lembaga keuangan yang berdasar syari’ah Islam seperti perbankan syariah, asuransi syariah, reksadana syariah, pasar modal syariah, bisnis syariah dan sebagainya, dan menetapkan Peradilan Agama sebagai lembaga hukum formal yang diberi wewenang untuk menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah, termasuk didalamnya perbankan syari’ah.

Melihat peristiwa lahirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 yang dapat dibilang berjalan dengan mulus tanpa ada hambatan dari pihak manapun, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa politik hukum Indonesia dimasa sekarang ini sangat akomodatif dan responsip terhadap hukum Islam dan menerima penerapan hukum ekonomi Islam, khususnya perbankan syariah.
Untuk lebih memperkuat eksistensi perbankan syariah, sekarang ini DPR sedang membahas tentang RUU Perbankan Syariah untuk ditetapkan menjadi Undang-Undang. Namun sayangnya ada pihak-pihak tertentu yang ingin mengalihkan kewenangan untuk mengadili sengketa perbankan syariah, yaitu yang semula menjadi kewenangan absolute Peradilan Agama, akan dialihkan menjadi kewenangan Peradilan Umum dengan alasan akad dalam perbankan syariah menyangkut persoalan bisnis dan komersiil semata, sehingga masuk dalam ruang lingkup perdata umum. Hal ini membuktikan apa yang telah diperingatkan Prof. Mahadi adalah benar adanya yaitu bahwa sekalipun teori resepsi telah mati, namun arwahnya tetap gentayangan, artinya masih ada sebagian sarjana hukum atau pemegang politik pemerintahan yang masih phobia terhadap pemberlakuan hukum Islam di Indonesia.
Terlepas dari pro dan kontra terhadap kewenangan mengadili sengketa perbankan syariah di Indonesia, keberadaan dan pengembangan Perbankan syariah dimasa sekarang dan masa yang akan datang tidak lagi bergantung kepada ligitimasi yuridis formal, tetapi pengembangan perbankan syariah dimasa datang lebih ditentukan oleh adanya kesadaran beragama dari umat Islam, artinya adanya pengakuan dan ketaatan setiap umat Islam yang disertai dengan keyakinan dan kesadaran terhadap pelaksanaan hukum Islam, khususnya hukum ekonomi Islam.
Standar akuntansi bank syariah, sampai kepada berbagai pedoman seperti pedoman laporan bulanan, pedoman pembukaan kantor, pedoman akuntansi, dan lainnya. Dengan demikian dari aspek sistem pengaturan, dewasa ini secara global BI merupakan bank sentral yang paling produktif dalam menerbitkan regulasi bank syariah, dan diperkirakan belum ada bank sentral di negara lain yang sedemikian aktif dalam menyusun regulasi perbankan syariah. Komitmen yang tinggi dari BI ini bertujuan untuk mewujudkan pertumbuhan bank syariah yang sehat dan patuh kepada prinsip syariah. Tinjauan inilah yang kemudian menjadi pijakan tinjauan hukum materil perbankan syariah di Indonesia. Dimana pada dasarnya bank syariah terlahir dengan mengemban misi yang mencoba menerapkan kebijakan keterkaitan antara sektor moneter dengan sektor riil yang didasari atas penyelenggaraan perekonomian nasional.


G.    Tinjauan Politik Kelembagaan Perbankan Syariah
Jaminan UUD 1945 Pasal 29 yakni, kebebasan berkeyakinan beserta pelaksanaannya harus dipandang sebagai adanya kebebasan bagi masyarakat Islam untuk melakukan aktivitas keperdataan sesuai dengan konsep hukum Islam sebagai keyakinan yang dianutnya. Dalam pencapaiannya, penerapan pasal inipun mengalami banyak interpretasi. Bagi Indonesia yang mayoritas masyarakatnya beragama Islam, tentu dalam pencapaian yang diinginkan oleh Islam formalis adalah harus dengan penetapan ketentuan-ketentuan syariah dalam ketetapan hukumnya (hukum formil), yang terkadang tanpa tersadar bahwa terbentuknya Indonesia atas dasar kontrak sosial. Dimana Indonesia tetap berpegang pada kemajemukan penduduk meskipun Islam sebagai agama mayoritas.
Jaminan negara tentang hak kebebasan beragama tersebut menempatkan posisi negara sebagai fasilitator. Dalam ketetapan pencapaiannya dikembalikan kepada mekanisme penetapan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Jika berbentuk undang-undang, maka harus melalui lembaga legislatif, yang diperoleh dari hasil Pemilihan Umum (Pemilu). Oleh karena Indonesia menganut sistem politik demokrasi, maka hal ini juga harus terpenuhi dalam segala langkah upaya melalui jalur politik. Sehingga apapun yang terlahir, baik undang-undang maupun keputusan kenegaraan tidak mengarah pada pembelaan atau pertentangan negara terhadap satu kelompok tertentu. Berikut DPS-DSN juga harus melepaskan seragam partai, menjaga jarak dan tidak terintegrasi dengan pemerintah atau lembaga perbankan untuk menghindari politisasi fatwa.
Demikian juga yang seharusnya dilakukan oleh para pelaku industri perbankan syariah. Melalui jalur politik dalam penetapan hukumnya akan membuat tujuan pencapaian perkembangan perbankan syariah di Indonesia akan semakin terbuka lebar. Hal ini telah dipraktikkan oleh “Arthaloka“ pada masa disahkannya UU No. 7/1992 tentang Perbankan. Jika langkah-langkah yang perlu dicapai di atas telah tercapai secara komprehensif, maka orientasi bank syariah harus dikonsentrasikan penuh untuk peningkatan kualitas SDM, manajemen risiko, pengembangan bisnis, peningkatan kualitas pelayanan, perluasan jaringan kantor, pengembangan teknologi informasi dan sistem informasi, dan permodalan.
Dari deskripsi yang telah dijelaskan sebelumnya. Ada dua pandangan berbeda mengenai institusi atau lembaga perbankan syariah di Indonesia.
Ø  Perbankan syariah dianggap sebagai lembaga keuangan yang futuristik, jika perbankan syariah mampu menerapkan regulasi yang telah ditetapkan dan mampu meningkatkan kualitas SDMnya.
Ø  Regulasi yang ada saat ini sudah cukup bagus. Serta tidak lepas dari dukungan Pemerintah, para ulama dan regulasi BI yang terus mengakomodasi kebutuhan regulasi industri, dan membuka kesempatan yang lebih luas kepada perbankan dan investor untuk menjalankan kegiatan usaha bank syariah.
Dalam menyusun peraturan bagi perbankan syariah ini, BI bertujuan untuk mewujudkan pertumbuhan bank syariah yang sehat dan patuh kepada prinsip syariah. Baik manajemen maupun regulasi yang mendukungnya. Sehingga dalam menjalankan aktivitasnya lembaga perbankan syariah tidak lagi hanya berorientasi pasar, akan tetapi lebih jauh sebagai lembaga keuangan yang mempunyai karakteristik tersendiri melalui penerapan syariah secara menyeluruh tanpa ada politisasi poin-poin syariah didalamnya.
Secara umum, perbankan syariah, mulai dari pendekatan politik, landasan hukum, efektifitas pengawasan, dan kelembagaannya telah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Meski harus ada perbaikan kelembagaan pengawasan yang memang harus berbeda treatmentnya dibandingkan dengan perlakuan terhadap perbankan konvensional.
Karena industri ini terkait dengan syariah dan masih muda. Ketika kemudahan-kemudahan itu tidak ada, janganlah ditafsirkan menghambat perkembangannya. Sekali lagi harus dicamkan ini highly regulated industry, terlebih lagi industri ini terkait dengan syariah, tentu sewajarnya paradigma ini perlu dipegang, bila seluruh stakeholders perbankan syariah ingin selamat dunia dan akhirat. Sebab, ini merupakan amanah yang harus kita pertanggung jawabkan kelak. Dengan demikian dalam hal ini sebaiknya kita melihat gambaran yang lengkap mengenai regulasi BI tidak secara parsial atau segmentasi. Adanya anggapan bahwa BI menghambat pengembangan bank syariah merupakan informasi yang misleading kepada masyarakat dan apalagi informasi tersebut tanpa didukung oleh data yang akurat.
Khususnya dalam pembukaan bank syariah, BI telah menyediakan regulasi yang cukup memadai untuk pendirian baru, konversi, dan membolehkan bank umum konvensional membuka kantor bank syariah. Dengan regulasi tersebut, pertumbuhan bank syariah pada periode tahun 1999 hingga akhir 2004 terus meningkat. Demikian pula pertumbuhan jaringan kantor dan volume usaha menunjukkan pertumbuhan yang sangat pesat.                                                                                  




No comments:

Post a Comment

Adbox