Terbaru

LightBlog

Thursday, October 26, 2017

Makalah Fiqih Puasa

1. Definisi puasa, pensyariatan dan waktu wajib puasa
  
Puasa menurut bahasa berarti menahan atau mencegah. Sedangkan menurut syara’ adalah suatu amal-amal ibadah yang dilaksanakan dengan cara menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkan puasa mulai terbit fajar sampai terbenam mtahari disertai niat kareena allah dengan syarat dan rukun tertentu.

Pensyariatan Puasa dalam Islam

Puasa itu di Fardlukan pada tahun kedua hari Hijrah. Rasulullah wafat sesudah berpuasa Sembilan hari Ramadhan. Beliau membolehkan bagi orang sakit dan bagi orang yang dalam perjalanan tidak berpuasa dengan wajib mengqadlainya di waktu yang lain dan beliau membolehkan wanita yang sedang mengandung dan yang sedang menyusui anak tidak berpuasa, dengan memberi fidyah.
Di antara petunjuk Rasulullah ialah tidak memasuki puasa Ramadhan melainkan dengan nyata-nyata telah melihat bulan, atau dengan pensaksian seseorang yang adil, apabila tidak terlihat bulan dan tidak ada pensaksian tentang telah ada bulan, beliau menyempurnakan bulan Sya’ban 30 hari. Apabila dua saksi mengakui melihat bulan sesudah keluar waktu hari raya, beliaupun berhari raya dan mengerjakan sembayang hari raya esok harinya. Beliau menyegerakan berbuka dan beliau berbuka itu sebelum bersembayang maghrib dengan beberapa biji kurma basah, kalau tidak ada dengan beberapa biji kurma kering kalau tidak ada dengan beberapa teguk air.
Beliau kadang-kadang berpuasa di dalam safarnya dan terkadang-kadang berbuka. Dan beliau menyuruh para sahabat berbuka apabila mereka telah dekat kepada musuh. Dan beliau tidak menjangkakan Masafah Safar dalam membolehkan berbuka itu. Segala yang tersebut dalam kitab-kitab Fiqh tentang batas Safar yang membolehkan berbuka dan Qashar sembahyang, adalah dari Ijtihad para Fuqaha. Penduduk Mekkah bersembahyang safar, yakni qashar dan jama’ di Arafah beserta Nabi, pada hal jaraknya Arafah dari Makkah, tidak sejarak jangka batas yang diberikan oleh mereka. Para sahabat membuka puasanya dengan memulai Safar, tidak menunggu lewat perkampungan . mereka mengkhabarkan bahwa demikian sunnah Nabi.
Pernah Nabi memasuki waktu shubuh dalam keadaan berjunub. Maka beliaupun mandi dan berpuasa, sebagaimana pernah beliau mencium isterinya dalam keadaan berpuasa.

Puasa Wajib

1. Puasa di bulan Ramadhan merupakan salah satu daripada Rukun Islam. Syariat puasa Ramadhan difardhukan kepada umat Muhammad s.a.w. pada tahun ke-2 Hijrah. Makanya, wajiblah ia dilakukan oleh semua orang Islam.
2. Puasa Kifarah.
3. Puasa qadha
4. Puasa Nazar.

2. Syarat wajib dan sah puasa
1. Syarat wajib puasa

a. Islam

    Orang kafir tidak berkewajiban berpuasa, karena puasa adalah suatu ibadah sedangkan orang kafir bukanlah ahli ibadah, karenanya tidak berkewajiban berpuasa. Kalau orang kafir berpuasa maka puasanya tidak sah.

b. Berakal

    Orang gila tidak wajib berpuasa

c. Baligh

    Orang yang sudah berusia 15 tahun (qamariah) atau telah ada tanda-tanda baligh yang lain, seperti keluar mani bagi laki-laki, atau keluar darah haid bagi perempuan yang berumur sekurang-kurangnya sembilan tahun (qamariah). Maka anak-anak tidak wajib berpuasa.

d. Mampu berpuasa

    Orang yang lemah karena terlalu tua atau sakit yang dapat membawa madarat pada dirinya dengan sebab berpuasa, maka tidak diwajibkan berpuasa baginya.
3. Fardhu dan rukun puasa
Fardhu dan rukun puasa ada dua yaitu :
1.  Menahan segala yang membatalkan puasa mulai dari terbit fajar sampai terbenam matahari. Firman Allah dalam Surat Al-Baqarah ayat 187 (QS. 2 : 187).
Dalam puasa hal-hal yang harus ditahan atau dicegah tidak semata-mata makan, minum dan hubungan seksual, tetapi juga perkataan kotor dan perbuatan tidak pantas.
2  Niat
Niat adalah tekad kuat (`azam) untuk melakukan sesuatu pekerjaan.
Niat puasa cukup didalam hati tidak perlu diucapkan dengan lisan (Sayid Sabiq, 1992).


4. Syarat sah puasa



a. Islam

b. Mumayyiz
    Mumayyiz adalah orang yang sudah tahu membedakan antara suci dan kotornya sesuatu; mengetahui cara,syarat dan sahnya suatu ibadah. Termasuk juga dalam hal ini tahu menilai sesuatu itu bernilai atau tidak.
c. Suci dari haid dan nifas
   Perempuan yang sedang haid ataun nifas tidak sah berpuasa. Akan tetapi, dia diperintahkan untuk mengganti jumlah puasa yang ditinggalkannya pada bulan yang lain.
d. Dalam waktu yang dibolehkan berpuasa.
5. Hal-hal yang membatalkan puasa dan batasannya.

1. Muntah dengan sengaja

    Muntah dengan sengaja itu dapat membatalkan puasa, walaupun tidak ada yang kembali kedalam perut. Nabi Muhammad saw bersabda: “barang siapa yang tidak sengaja muntah maka tidak diwajibkan mengqadha puasanya, dan barang siapa muntah dengan sengaja maka harus mengqadha puasanya”.
2. Mengeluarkan sperma bukan melalui persetubuhan
    Mengeluarkan sperma bukan melalui persetbuhan dalam keadaan terjaga karena onani, bersentuhan, ciuman atau sebab lainnya dengan sengaja. Adapun keluar sperma karena mimpi tidak membatalkan puasa karena keluarnya tanpa disengaja.
Menurut ulama fiqih, kecuali ulama mazhab maliki, orang seperti itu tidak batal puasanya, sekalipun keluar sperma. Begitu juga halnya dengan keadaan seseorang yang pikirannya senantiasa terarah kepada perempuan. Tetapi kalau dia meneruskan hayalannya terhadap perempuan sehingga keluar sperma, maka batal puasanya.
3. Ragu
    Seseorang yang melakukan sesuatu yang membatalkan puasa karena mengira diperbolehkan, maka batal puasanya, menurut pendapat imam yang empat dan sebagian ulama fiqih,orang itu wajib mengqodha puasanya keadaan itu terjadi karena hal-hal berikut:
a. batal puasa orang yang sahur karena ia mengira hari masih malam,padahal fajar sudah terbit.
b. batal puasa orang yang berbuka karena ia mengira hari matahari sudah terbenam,padahal belum.
    Bagi orang yang ragu apakah matahari sudah terbit atau belumia boleh sahur sehingga yakin bahwa matahari sudah terbit.dan orang yang ragu apakah matahari sudah terbenam apa belum,tidak boleh berbuka sampai ia yakin bahwa matahari sudah terbenam.
4. Meneruskan makan,setelah makan karena lupa
    Batal puasa orang yang makan atau minum dalam keadaan terlupa,karena mengira perbuatan itu membatalkan puasa,lantas dia meneruskan makan dan minum dengan sengaja.ulama mazhab hanafi,syafi’I dan ahmad menganggap orang tersebut wajib mengqodha puasanya.
5. Haid dan nifas
    Batal puasa perempuan yang sedang haid atau nifas dan ia di wajibkan mengqodha puasa.
6. Murtad
    Menurut ijma ulama,batal puasa siapa saja yang murtad atau keluar agama islam dia wajib mengqadha puasanya apabila kembali masuk islam.
7. Berubah niat
    Niat puasa hendaklah dilakukan secara konsisten,sejak terbit fajar hingga terbenamnya matahari seandainya seseorang itu berniat membatalkan puasanya,kemudian memantapkan niatnya itu,maka batal puasanya dan wajib qadha,
6. Uzur yang memperbolehkan tidak puasa
Pertama, perjalanan.

Dalilnya adalah firman Allah swt:
 “….dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya bershiyam), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur. (QS. Al-baqarah:185)
Dalam bahasa arab, safar (perjalanan) artinya kepergian yang memerlukan biaya serta menempuh jarak tertentu. Tidak ada nash syar’I menganai hal ini, hanya saja ada isyarat tentangnya, yaitu sabda nabi saw dalam haidt shahih,
 “ wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir tidak boleh melakukan perjalanan sejauh jarak sehari semalam kecuali bersama mahramnya.” (HR. Ibnu Huzaimah)
 “Tidak (boleh) wanita bepergian di atas 3 (hari) kecuali bersama mahramnya.” (HR Muslim)
 “Tidak boleh wanita bepergian 3 hari lebih kecuali bersama ayahnya, anaknya, saudara laki-lakinya, suaminya atau mahramnya.” (HR Al-Baihaqi)
Orang yang sedang safar dan menempuh jarak yang memperbolehkannya shalat qashar, maka diperbolehkan untuk berbuka pada bulan Ramadhan, sesuai kesepakatan para ‘ulama, baik dia mampu untuk melakukan shaum ataupun tidak, dan baik shaumnya itu memberatkan dirinya maupun tidak.
Adapun jarak yang memperbolehkan seseorang untuk mengqashar shalatnya dan berbuka, menurut madzhab Maliki, Syafi’i dan Ahmad adalah perjalanan yang ditempuh dengan unta atau berjalan kaki selama dua hari, misalnya perjalanan antara Makkah dan Jeddah, atau perjalanan yang berjarak 16 farsakh, yaitu sekitar 48 mil ( 88,7 Km).  Dan menurut Imam Abu Hanifah adalah perjalanan yang ditempuh selama tiga hari.
Syaratnya menurut jumhur adalah perjalanan dimulai sebelum  terbit fajar dan tiba di tempat yang menjadi titik awal bolehnya qashar dalam keadaan telah meninggalkan rumahnya. Adapun madzhab hanbali membolehkan musafir untuk tidak berpuasa meskipun dia berangkat dari negrinya pada siang hari, walaupun kebarangkatannya itu sesudah waktu dzuhur.
Ada dua syarat lain menurut jumhur ulama, yaitu : perjalanan itu mubah, dan tidak diniati untuk bermukim selama empat hari. Madzhab maliki membolehkan tidak berpuasa karena perjalanan dengan empat syarat; perjalanan itu jaraknya sejauh perjalanan yang membolehkan shalat qashar, perjalanan itu harus mubah, berangkat sebelum terbit fajar apabila itu adalah hari petama, dan meniatkan untuk tidak berpuasa pada malam hari.
Jika seorang musafir berpuasa, maka sah puasanya dan gugur kewajibannya. Ulama empat madzhab bersepakat akan hal tersebut. pendapat mereka berlandaskan pada hadist anas, beliau berkata,
” dulu kami sering melakukan perjalanan bersama Rasulullah saw, tapi tidak pernah orang yang berpuasa mencela orang yang tidak berpuasa, juga tidak pernah terjadi sebaliknya.”
Kedua, sakit.
Yaitu kondisi yang mengakibatkan berubahnya tabiat menjadi rusak. Kondisi seperti ini dibolehkan tidak berpuasa, sama seperti perjalanan, dengan dalil firman Allah swt,“….dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya bershiyam), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur. (QS. Al-baqarah:185)
Ukuran sakit yang membolehkan tidak berpuasa adalah sakit yang mendatangkan kesukaran berat bagi penderitanya, atau dikhawatirkan akan mati jika berpuasa, atau dikhawatirkan  penyakitnya tambah berat atau lambat sembuhnya disebabkan berpuasa.  Jika  si sakit tidak terancam bahaya apapun jika berpuasa (seperti penderita kudis, sakit gigi, linu di jari jemari, bisul dan sejenisnya) dia tidak boleh meninggalkan puasa.
Jika ada dugaan kuat akan terjadi kebinasaan lantaran berpuasa, atau terjadi mudarat yang berat (misalnya disfungsi salah satu indra), maka wajib meninggalkan puasa.
Menurut maadzhab maliki orang sakit memiliki empat keadaan, yaitu sebagai berikut: pertama, sama sekali tidak mampu berpuasa atau khawatir menyebabkan kematian atau khawatir lemah tubuhnya. Dalam kedaan ini boleh meninggalkan puasa. Kedua, mampu berpuasa namun dengan kondisi berat. dalam kedaan ini diperbolehkan meninggalkan puasa. Ketiga,  mampu berpuasa namun dengan sukar serta khawatir sakitnya bertambah parah. Dalam keadaan ini wajib tidak berpuasa.  Keempat, puasa tidak berat dan dengannya tidak khawatir bertambah parah sakitnya. Dalam kedaan ini tidak boleh meninggalkan puasa.
Para ulama bersepakat bahwa orang sakit maupun musafir tidak sah berpuasa sunnah pada bulan ramadhan. Begitu juga menegrjakan puasa wajib lainnya di bulan ramadhan.
Orang sakit dan musafir menurut madzhab syafi’I harus membayar kafarah disamping mengqadha puasa apabila telah datang bulan ramadhan berikutnya, sementara belum mengqadhanya. Kafaratnya adalah memberi makan sebanyak satu mud untuk setiap harinya dari jenis makanan pokok yang berlaku secara umum di negrinya.
Ketiga, hamil dan menyusui.
Wanita hamil dan menyusui boleh meninggalkan puasa jika khawatir atas dirinya atau anaknya mendapat mudarat, dan kekhawatiran tersebut berupa lemahnya kecerdasan, mati atau sakit. Kekhwatiran tersebut ditentukan dengan praduga kuat dengan berlandasakan pada pengalaman sebelumnya atau dengan landasan informasi seorang dokter muslim yang kredibel dan terpercaya.
Dalil bolehnya tidak berpuasa bagi dua wanita tersebut adalah qiyas kepada orang sakit dan musafir, juga berdasakan sabda nabi saw,
 “ sesungguhnya Allah azza wa jalla telah menggugurkan kewajiban puasa dan separuh shalat dari pundak musafir, dan menggugurkan puasa dari pundak wanita yang hamil dan wanita yang menyusui.” (H.R.Ahmad)
Apabila wanita hamil dan menyusui khawatir akan keselamatan jiwa mereka, atau beserta anak-anak mereka sendiri, maka diperbolehkan bagi mereka untuk berbuka. Namun wajib untuk mengqadha’ shaum yang ditinggalkannya dan tidak diwajibkan membayar fidyah, seperti halnya orang sakit yang diperbolehkan berbuka. (Al-Mughni, 3/139, Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah lil Buhuts Al-‘Ilmiyyah wa Al-Ifta’,10/220,161)
Dan jika mereka hanya mengkhawatirkan keselamatan anak-anaknya saja, bukan keselamatan jiwa mereka sendiri, maka diperbolehkan berbuka, dan diwajibkan untuk mengqadha’ shaum yang ditinggalkannya, ditambah dengan membayar fidyah shaum yang ditinggalkannya, karena sebenarnya mereka mampu untuk melaksanakan shaum. (Al-Mughni, 3/139, Majmu’ Fatawa,25/218)
Namun Ibnu Abbas RA dan Ibnu Umar RA berpendapat bahwa wanita hamil dan menyusui jika meninggalkan shaum cukup baginya untuk membayar fidyah, tidak perlu untuk mengqadha shaum yang ditinggalkannya.
Dari Imam Malik, dari Nafi’, bahwa Ibnu ‘Umar RA ditanya tentang wanita hamil bila khawatir terhadap (kesehatan) anaknya. Dia menjawab, “Dia berbuka dan memberi makan kepada satu orang miskin setiap hari sebanyak satu mud gandum.” Dan Ad-Daroquthni meriwayatkan (1/207) dari Ibnu Umar RA dan dia menshahihkannya, ia berkata, “Wanita hamil dan menyusui boleh berbuka dan tidak wajib mengqhada.’ Dan dia meriwayatkan dari jalur yang lain, “Bahwasanya istrinya bertanya kepadanya disaat dia sedang hamil, ia berkata, “Berbukalah dan berilah makan kepada seorang miskin setiap hari dan dia tidak wajib mengqhada.” Dan isnadnya jayyid (baik). Dan dari jalur ketiga, darinya, “Sesungguhnya anak perempuannya dinikahi oleh seseorang dari kaum Quraisy, dan dia sedang mengandung. Lalu dia merasa kehausan di bulan Ramadhan. Maka dia  menyuruhnya berbuka, dan memberi makan satu orang miskin setiap hari.”
Sedangkan ukuran fidyah adalah satu mud gandum, yang sepadan dengan ¼ sha’ atau 675 gram bahan makanan lain.
Kelima, usia lanjut.
Allah SWT berfirman:
“…dan wajib bagi orang yang berat menjalankannya (tidak shaum) untuk membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin…” ( QS. Al Baqarah: 184 )
Ibnu ‘Abbas RA  berkata, “Ayat ini merupakan rukhshah (keringanan) bagi laki-laki atau wanita tua renta yang apabila tidak sanggup menjalankan shaum, diperbolehkan bagi mereka untuk berbuka dan setiap harinya memberi makan seorang miskin sebagai ganti satu hari shaumnya.” (Lihat shahih Bukhari, no. 4505, Tafsir Ath-Thabari, 2/79)
Para ulama ber’ijma bahwa orang tua renta, yang tidak mampu berpuasa sepanjang tahun, boleh tidak berpuasa. Dan tidak wajib mengqadha karena tidak memiliki kemampuan. Diwajibkan atasnya hanya membayar fidyah berupa memberi makan orang miskin setiap hari.
Keenam, rasa lapar dan haus yang luar biasa.
Boleh tidak berpuasa (tapi wajib mengqadha) bagi orang yang mengalami rasa lapar atau haus yang amat sangat, dengannya dikhwatirkan menyebabkan kematian, menurun kecerdasannya, atau salah satu indranya tidak berfungsi dengan baik, sehingga dengan kondisi tersebut tidak mampu berpuasa. Jika dikhawtirkan menyebabkan kematian lantaran berpuasa, maka haram mengerjakan puasa. Berdasakan firman Allah,
 “ … dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-baqarah:195)
Ketujuh, pemaksaan.
Boleh tidak berpuasa bagi orang yang dipaksa orang lain, namun harus mengqadha puasanya menurut jumhur ulama. Sedangkan menurut madzhab syafi’I puasa orang yang dipaksa tidak batal. Dan Apabila seorang wanita disetubuhi secara paksa atau dalam kedaan tertidur, maka dia harus mengqadha puasanya.
Inilah penjelasan udzur syar’I yang membolehkan bagi orang yang mengalaminya untuk tidak berpuasa. adapun haidh, nifas dan gila yang menimpa kepada orang yang sedang bepuasa membolehkan untuk menghentikan puasanya; kondisi tersebut justru membuat puasanya tidak wajib, dan bahkan tidak sah. Wallahu a’lam.
7. Sunnah-Sunnah Puasa

Orang-orang yang berpuasa dusunnahkan antara lain :

1. Menyegarkan berbuka.
2. Berbuka dengan kurma atau minum air.
3. Berdoa seusai berbuka.
4. Makan sahur.
5. Mengakhirkan makan sahur.
8. Hal-Hal yang Dimakruhkan

1. Mencicipi makanan yang tidak diperlukan.

2. Berlebihan didalam berkumur.
3. Mencium dan bersentuhan dengan lawan jenis yang menimbulkan nafsu birahi.
9. Fidyah puasa wajib

Mereka yang wajib membayar fidyah kerana meninggalkan puasa ialah:


1. Orang yang meninggalkan puasa ramadan dengan sebab uzur dan dia ada masa mengqada’nya dan dia tidak mengqada’nya sehinga dia mati maka wajib walinya mengeluarkan tiap-tiap satu hari satu cupak makanan yang diambil dari harta peningalannya. Ahli keluarga (wali) boleh mengqada’kan puasanya sekiranya mereka mau dan tak perlu mengeluarkan fidyah.
Sekiranya orang yang mati tidak mengqada’ puasanya dan telah masuk ramadan yang lain maka wajib dua fidyah, satu fidyah puasa yang tak dapat diqada’nya kerana dia sudah mati, dan satu fidyah melangkau qada’nya pada ramadan yang lain, begitulah seterusnya jika puasa yang tidak diqada’ melangkau dua tahun, tiga tahun, hukum ini berbeda dengan orang yang hidup. Ahli keluarga orang yang mati boleh mengqada’kan puasa orang yang mati sekiranya mereka mau dan hanya perlu mengeluarkan satu fidyah sekiranya puasa yang tidak diqada’ telah diselang oleh satu ramadan.
2. Orang yang meninggalkan puasa ramadan dengan tiada uzur dan tidak ada masa mengqada’kannya sebelum dia mati, maka wajib atas walinya membayar fidyah makanan untuk tiap-tiap hari yang ditingalkannya. Ahli keluarga orang yang mati boleh mengqada’kan puasa orang yang mati sekiranya mereka mau dan tak perlu mengeluarkan fidyah.
3. Orang yang ada puasa nazar dan dia ada masa memperbuatnya tetapi dia tidak puasa sehinga dia mati, maka wajib mengeluarkan makanan bagi tiap-tiap satu hari puasa yang dinazarnya. Fidyah itu hendaklah diambil dari harta peningalannya. Ahli keluarga orang yang mati boleh berpuasa bagi pihak orang yang mati sekiranya mereka mau dan tak perlu mengeluarkan fidyah.
4. Orang yang ada puasa kafarah sama ada kafarah jimak dalam bulan ramadan, kafarah zihar, kafarah sumpah, atau kafarah bunuh, sedangkan dia ada waktu mengerjakan puasa itu tetapi dia tidak berpuasa sehinga dia mati, maka wajib dikeluarkan setiap puasanya itu satu makanan yang diambil dari harta peningalannya. Ahli keluarga orang yang mati boleh berpuasa bagi pihak si mati sekiranya mereka mau dan tak perlu mengeluarkan fidyah.
5. Orang yang melewatkan qada’ puasanya sehinga masuk ramadan yang lain, wajib keatasnya mengqada’ puasanya dan mengeluarkan fidyah iaitu secupak makanan bagi tiap-tiap hari yang dilewatkan itu, sekiranya yang dilewatkan itu dua tahun, maka dua cupak, jika yang dilewatkan itu tiga tahun maka tiga cupak begitulah seterusnya.
Orang yang melewatkan qada’ puasanya sehingga masuk ramadhan yang lain hanya wajib mengqada’kan puasanya sehari juga bagi tiap hari yang ditingalkan, dan tidak perlu dia menggandakan qada’nya hanya yang diganda bilangan cupak yakni bilangan fidyah.
6. Perempuan yang hamil yang meninggalkan puasa ramadan sebab takut mudarat anak dalam perut sedang tadak takut mudarat dirinya. Dia wajib mengeluarkan fidyah dan wajib qada’.
7. Perempuan meninggalkan puasa ramadan sebab takut mudarat anak dengan sebab kurang susu tetapi tidak takut mudarat dirinya. Dia wajib mengeluarkan fidyah dan wajib qada’
8. Orang yang terlalu tua, wajib membayar fidyah sahaja dan tidak wajib mengqada’ puasanya, sekalipun kemudian dari itu dia boleh berpuasa.
9. Orang sakit yang tidak ada harapan sembuh wajib membayar fidyah saja dan tidak wajib mengqada’ puasanya, sekalipun kemudian dari itu dia boleh berpuasa.
10. Orang yang berbuka puasa ramadan kerana menolong orang yang dalam bahaya seperti hampir tenggelam di air atau lainnya maka dia wajib qada’ serta fidyah.
10. Yang mewajibkan kafarat puasa
Bersetubuh dengan sengaja

Barang siapa yang melakukan persetubuhan pada siang hari pada bulan Ramadhan sedangkan dia berpuasa dilakukan baik dari depan atau belakang.apakah keluar sperma atau tidak,maka wajib atasnya qadha dan membayar kafarat.

Menurut pendapat imam syafi’i,kafarat dikenakan atas orang yang menyetubuhi saja,sedangkan orang yang di setubuhi tidak di kenakan kafarat.
Ulama mazhab hanafi berpendapat kafarat juga diwajibkan kepada si istri seandainya persetubuhan itu dilakukan atas ke inginannya.seandainya ia di paksa,dia tidak diwajibkan kafarat.pendapat ini sama dengan pendapat  pengikut mazhab maliki.
Ulama mazhab hambali berpendapat wajib atas si istri membayar kafarat seandainya persetubuhan tersebut dilakukan dengan keinginannya.seandainya si istri di paksa melakukan persetubuhan,sebagian ulama mewajibkannya membayar kafarat.sedangkan sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa si istri tidak wajib kafarat. Ia hanya wajib qadha ini merupakan kata sepakat sebagian besar ulama.demikian juga halnya jika si istri sedang nyenyak tidur lalu di setubuhi oleh suaminya,maka wajib si istri mengqadha puasanya dan tidak wajib kafarat.
11. Jenis kafarat
a.kafarat sumpah
1. Kafarat atau Tebusan Atas Sumpah
Oleh: Imam Ahmad ibn Hanbal Al-Syaibaniy

Kafarat atas sumpah adalah memberi makan sepuluh orang miskin dengan makanan yang bisa kita makan atau memberi pakaian/sandang, atau membebaskan seorang budak, atau berpuasa 3 hari.

Keempat jenis kafarat atas sumpah tersebut merupakan alternatif, setiap pelanggar sumpah boleh memilih salah satu dari empat jenis kafarat tersebut. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW: “Siapa yang bersumpah untuk melakukan sesuatu, kemudian ia melihat ada hal lain yang lebih baik daripadanya, maka tebuslah sumpah itu dengan sesuatu lalu kerjakanlah hal yang ia pandang lebih baik tadi.”
Ungkapan “dan tebuslah lalu kerjakanlah hal yang lebih baik tadi”, sah atau cukup bila menebus sumpahnya dengan pakaian yang bisa digunakan untuk shalat –untuk laki-laki dengan gamis, untuk perempuan jubah panjang (Indonesia: daster panjang) dan kerudung lebar. Tebusannya juga sah dengan memberi makan 5 orang miskin ditambah pakaian untuk 5 orang. Namun, jika sumpah ditebus dengan membebaskan budak ½ harga dan ditambah makanan atau pakaian untuk 5 orang, maka tidak cukup/sah. Dan bagi budak, tidak ada tebusan sumpah kecuali dengan puasa 3 hari.
Tebusan dengan Puasa 

Tebusan dengan puasa adalah untuk orang yang tidak memiliki kelebihan harta apapun atas pembiayaan kebutuhan hidup diri, keluarga, dan hutang-hutangnya. Orang yang demikian, tidak dituntut untuk menjual barang-barangnya, seperti rumah, pembantu, perabot rumah, kitab-kitab, perkakas rumahnya, dan lain-lain. Dan siapa yang dimudahkan untuk menebus sumpahnya dengan berpuasa, maka tidak perlu ia berpindah ke alternatif tebusan/kafarat yang lainnya.

Jika sesorang ketika akan menebus/membayar kafarat atas sumpahnya dengan makanan atau pakaian, akan tetapi tidak mendapati orang miskin kecuali satu orang saja, maka berikan kepadanya secara berulang selama 10 hari 
2. Kafarat nazar
Untuk kafarat nadzar sama seperti kafarat sumpah
3. Kafarat pembunuhan
Fukaha sepakat bahwa kafarat membunuh sesama muslim dengan tidak sengaja ialah memerdekakan budak muslim, pelaku pembunuhan wajib puasa dua bulan berturut-turut, sesuai dengan firman Allah Swt: “…dan barang siapa membunuh muslim karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang yang diseragkan kepada keluarganya(si terbunuh) …barang siapa yang tidak memperolehnya, maka hendak ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut…” (QS.4:92).
Jumhur ulama yang terdiri dari ulama Mazhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali memandang bahwa kafarat itu hanya berlaku kepada orang yang melakukan pembunuhan dengan tidak sengaja, sesuai dengan kandungan ayat diatas. Akan tetapi, ulama Mazhab Syafi’i mewajibkan juga atas orang yang melakukan pembunuhan dengan sengaja. Alasan mereka ialah bahwa tujuan disyariatkan kafarat ialah untuk menghapus dosa; dosa membunuh dengan sengaja lebih besar dari pada dosa membunuh dengan tidak sengaja. Oleh sebab itu, pembunuhan dengan sengaja lebih pantas untuk dikenai kafarat daripada yang melakukannya dengan tidak sengaja, demi menghapuskan dosa yang lebih besar dan berat itu. Alasan lain yang mereka kemukakan ialah Sabda Nabi Saw yang diriwayatkan dari Wasilah al-Asqa yang artinya: “Nabi Saw telah mendatangi kami sehubungan dengan sahabat kami yang mesti masuk neraka karena membunuh. Nabi Saww bersabda: ‘merdekakanlah budak untuknya, niscaya Allah membebaskan segenap anggota tubuhnya dari api neraka.” (HR. Abu Dawud, Ahmad bin Hanbal, an-Nasa’I, Ibnu Hibban, dan al-Hakim).
4. Zihar. (Seorang suami yang menyerupakan istrinya dengan ibunya)

Haram bercampur dengan istrinya tersebut sampai ia mebayar kafarat atas ucapannya itu. Bentuk kewajiban kafarat zihar adalah wajib murattab menurut tertib berikut: (1) memerdekakan budak; (2) kalu tidak diperoleh budak, puasa dua bulan berturut-turut; (3) kalau tidak sanggup berpuasa, wajib baginya memberi makan enam puluh orang miskin.

Kafarat tersebut dijelaskan dalan Al-Quran yang artinya: “Orang-orang yang men-zihar istri mereka, kemudian hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur …barang siapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) memberimakan enam puluh orang miskin …”(QS.58:3-4).
5.Kafarat berjima’ di bulan ramadhan

Dalil oleh Bukhori dan Muslim dari hadits Abu Hurairoh ra. berkata, ”Disaat kami duduk-duduk bersama Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam Datang seoang laki-laki kepada Nabi saw dan berkata, ‘Aku telah binasa wahai Rasulullah!’ Nabi menjawab, ’Apa yang mencelakakanmu?’ Orang itu berkata, ’Aku menyetubuhi isteriku di bulan Ramadhan.’ Nabi bertanya, ’Adakah kamu memiliki sesuatu untuk memerdekakan budak?’ Orang itu menjawab, ’Tidak.’ Nabi bertanya lagi, ’Sanggupkah kamu berpuasa dua bulan terus-menerus?’ Orang itu menjawab, ’Tidak,’ Nabi bertanya, ’Apakah kamu memiliki sesuatu untuk memberikan makan enam puluh orang miskin?’ Orang itu menjawab, ’Tidak.’ Kemudian Nabi terdiam beberapa saat hingga didatangkan kepada Nabi sekeranjang berisi kurma dan berkata, ‘Nah sedekahkanlah ini.’ Orang itu berkata, ‘Adakah orang yang lebih miskin daripada kami? Maka tidak ada tempat di antara dua batu hitam penghuni rumah yang lebih miskin dari kami.” Dan Nabi pun tertawa hingga terlihat gigi gerahamnya kemudian berkata, ’Pergilah dan berikanlah kepada keluargamu.’”

Dalil didalam hadits ini adalah bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkannya agar menyuruh istrinya untuk membayarkan kafarat juga. Sebagaimana diketahui bahwa mengakhirkan penjelasan diluar waktu yang dibutuhkan tidaklah dibolehkan maka hadits itu menunjukkan tidak ada kafarat terhadap istri.
Yang paling tepat pengetahuan tentang ini ada pada Allah swt bahwa tidak wajib kafarat atasnya (istri) akan tetapi diwajibkan atasnya qadha saja karena puasanya telah batal dengan berjima.
6.Kafarat meng ila’ istri
Sama dengan kafarat sumpah,karena ila’ itu adalah bersumpah untuk tidak menggauli istri
7.Denda dalam haji
Denda atau tebusan bagi mereka yang menunaikan haji atau umrah tetapi melakukan pelanggaran ketentuan atau peraturan yang telah ditetapkan. Pelanggaran itu misalnya melakukan larangan – larangan Ihram atau tidak dapat menyempurnakan wajib haji seperti mabit di Mina atau Muzdalifah. Para Ulama tela sepakat bahwa seseorang yang menunaikan ibadah haji akan dikenakan Dam apabila melakukan antara lain pelanggaran – pelanggaran sebagai berikut :
  • Melakukan Haji Qiran atau Tamattu.
  • Tidak Ihram dari Miqat
  • Tidak Mabit I di Muzdalifah
  • Tidak Mabit II di Mina
  • Tidak melontar Jumrah
  • Tidak melakukan Tawaf Wada

12. Gugurnya kafarat

      Barangsiapa yang telah wajib membayar kafarat, namun tidak mampu membebaskan seorang budak atau pun berpuasa (dua bulan berturut-turut) dan juga tidak mampu memberi makan (enam puluh orang miskin), maka gugurlah kewajibannya membayar kafarat tersebut, kerana tidak ada beban syari'at kecuali jika ada kemampuan. Allah berfirman:

“Allah tidak membebani jiwa kecuali mengikut kemampuannya.” (al-Baqarah, 2: 286)

Dan dengan dalil Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam menggugurkan kafarat dari orang tersebut, ketika mengkhabarkan kesulitannya dan memberinya satu wadah kurma untuk diberikan kepada keluarganya.

No comments:

Post a Comment

Adbox