Terbaru

LightBlog

Wednesday, October 25, 2017

Makalah Perbandingan Administrasi Negara

1.1 Latar Belakang
Setiap Negara-negara didunia memiliki struktur pemerintahan ataupun sistem pemerintahan dalam penyelenggaraan kebijakan dan mengukur kualitas pelayanan yang diberikan suatu Negara kepada warganya. Setiap sistem maupun detail pemerintahan yang dianut di dalam suatu Negara tidak serta-merta timbul dengan sendirinya, melainkan diadaptasi dari pemikiran-pemikiran para ilmuwan yang kemudian diterapkan di masing-masing Negara sesuai dengan latar belakang suatu bangsa dan kepribadian bangsa di dalam suatu Negara tersebut. Latar belakang masyarakat Indonesia yang majemuk (multikultural) mempengaruhi sistem administrasi maupun pemerintahan di indonesia. Sebelum penulis membahas lebih jauh sistem pemerintahan di Indonesia, penulis akan menjelaskan terlebih dahulu mengenai sistem administrasi itu sendiri.
Jadi, sistem adalah kesatuan yang utuh dari suatu rangkaian, yang kait-mengait satu sama lain. Bagian atau anak cabang dari suatu sistem, menjadi induk dari rangkaian selanjutnya. Begitulah seterusnya sampai pada bagian terkecil. Rusaknya salah satu bagian akan mengganggu kestabilan sistem itu sendiri secara keseluruhan.
Jadi sistem admnistrasi Negara merupakan Keseluruhan penyelenggaraan pemerintahan Negara yang melibatkan segenap aparatur Negara, sumber daya dan sumber dana dalam rangka mencapai tujuan negara dan tujuan pemerintah. Dari definisi ini, maka gejala-gejala administrasi negara dapat kita temui disemua tingkatan dan semua jajaran pemerintahan. Sistem Administrasi Negara pada dasarnya hanya merupakan suatu model. Selanjutnya sistem administrasi negara Indonesia dapat diartikan baik secara luas maupun secara sempit. Kedudukan administrasi publik yang berorientasi pada prinsip-prinsip manajemen tersebut kemudian terus berkembang, terutama ketika beberapa ilmuwan dan cendekiawan menyatakan bahwa administrasi publik pada hakekatnya memiliki fungsi mengurusi organisasi dan manajemen pemerintah dalam melaksanakan kekuasaan politiknya, termasuk dalam proses penentuan kebijaksanaan politik.
Pada hakekatnya dilihat dari segi unsur-unsur yang mempengaruhi, suatu sistem administrasi negara-negara di dunia dapat dikatakan hampir sama satu dengan yang lainnya. Demikian juga sistem administrasi negara Indonesia tidaklah jauh berbeda dengan sistem administrasi negara yang lain, yakni suatu sistem administrasi negara yang memiliki unsur-unsur dan dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Namun demikian karena tidak ada sistem administrasi negara yang persis sama antara negara yang satu dengan negara yang lain, maka sistem administrasi negara Indonesia dalam eksistensinya juga berbeda dengan sistem administrasi negara lainnya.Trend lain dari pertumbuhan administrasi publik adalah terbentuknya berbagai asosiasi administrasi publik baik secara nasional maupun internasional. Akhirnya, bersamaan dengan berkembangnya berbagai masalah sosial dan ekonomi di tengah masyarakat dunia pada tahun 80-an, terlihat gejala-gejala akan munculnya suatu paradigma baru administrasi publik yang berorientasi kepada pemenuhan kebutuhan masyarakat.
Dalam arti luas administrasi negara adalah kegiatan negara dalam melaksanakan kekuasaan politiknya. Pengertian tersebut telah diuraikan pada bagian atas, yaitu menyangkut kegiatan keseluruhan lembaga negara. Sedangkan dalam pengertian sempit, administrasi negara adalah kegiatan pemerintah (eksekutif) dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa dalam arti yang luas administrasi negara menyangkut kegiatan keseluruhan lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif dalam menyelenggarakan kegiatan kenegaraan, sedangkan dalam arti sempit administrasi negara menyangkut kegiatan penyelenggaraan pemerintahan oleh eksekutif (pemerintah), yang tentu saja di dalam proses penyelenggaraan pemerintahan tersebut melibatkan keseluruhan masyarakat dengan memperhitungkan kemampuan pendanaannya. 
1.2 Rumusan Masalah                                    
1.      Bagaimana sejarah perkembangan sistem administrasi Negara di Indonesia?
2.      Bagaimana perkembangan paradigma dalam sistem administrasi Negara?
3.      Bagaimana model sistem administrasi Negara pada era pembangunan?
1.3 Tujuan dan Manfaat
1.3.1. Tujuan
1.      Untuk mengetahui dan memahami perkembangan administrasi Negara di Indonesia sebagai suatu sistem.
2.      Untuk mengetahui dan memahami apa saja paradigma sistem administrasi Negara dan bagaimana perkembangan paradigma sistem administrasi Negara di Indonesia.
3.      Untuk mengetahui dan memahami bagaimana model sistem administrasi Negara yang berkembang pada era pembangunan nasional.
1.3.2 Manfaat
Makalah ini mempunyai manfaat bagi segala kalangan, dalam kalangan akademisi makalah ini dapat digunakan sebagai referensi dalam penulisan maupun literature bahan ajar bagi peserta didik. Bagi kalangan siswa maupun mahasiswa, makalah ini dapat dimanfaatkan sebagai referensi dalam pemenuhan tugas maupun sebagai bahan dalam proses belajar.
Sedangkan bagi masyarakat sipil makalah ini dapat berdaya guna agar daya pikir masyarakat semakin berkembang dan mengatahui bagaimana sistem pemerintahan yang ada di dunia terutama sistem pemerintahan yang digunakan di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian ilmu admistrasi negara
Ilmu Administrasi Negara adalah ilmu pengetahuan (cabang ilmu administrasi) yangs ecara khas melakukan studi (kajian) terhadap fungsi intern dan ekstern daripada stuktur-struktur dan proses-proses yang terdapat di dalam bagian yang sangat penting daripada sistem dan Aparatur Pemerintah, yang secara singkat disebut dengan Administrasi Negara, yang dalam bahasa Inggris Amerika disebut Public Administration, dan dalam bahasa Belanda disebut Openbaar Bestuur.

            Administrasi Negara adalah fungsi bantuan penyelenggaraan daripada pemerintah, artinya (pejabat) pemerintah tidak dapat menunaikan tugas-tugas kewajibannya tanpa Administrasi Negara. Administrasi Negara mengandung 2 (dua) pengertian, yaitu:

1)      Administrasi daripada negara sebagai organisasi, maka Administrasi Negara (sebagai fungsi) dijalankan oleh presiden sebagai pemerintah, merangkap sebagai administrator negara, dengan memimpin dan mengepalai suatu aparatur negara yang besar sekali, yang juga disebut Administrasi Negara. Tata cara aparatur negara tersebuut menjalankan tugas pekerjaannya merupakan suatu proses yang juga disebut Administrasi Negara.

2)      dministrasi yang mengejar tercapainya tujuan-tujuan yang bersifat kenegaraan, maka Administrasi Negara (sebagai fungsi) dijalankan oleh setiap pejabat negara yang diserahi pimpinan dan tanggung jawab atas suatu kesatuan organisasi negara. Misalnya Departemen, Dirjen, Direktorat, Dinas, Kantor, Biro, Bagian, Lembaga, Propinsi, Kabupaten, Kecamatan, Dese, BUMN, Rumah Sakit Negeri, dan lain sebgainya. Bahkan ketua Mahkamah Agung (MA) sebgai pejabat negara harus menjalankan Administrasi Negara, demikian juga ketua DPR, DPD, BPK, MPR, harus menjalankan Administrasi Negara. Jadi setiap pejabat pemerintah secara otomatis berfungsi sekaligus sebagai Administrasi Negara.


2.1.1 Pengertian Administrasi Negara Menurut Para Ahli dan Sarjana :          

a.  Edward H. Lithfiled : Suatu studi mengenai bagaimana bermacam-macam badan pemerintahan di organisir, dilengkapi tenaga-tenaganya, dibiayai, digerakkan dan dipimpin.
b. Dwight Waldo : Administrasi Negara Mengandung 2 (dua) pengertian, yakni : (1) Administrasi Negara adalah organisasi dan manajemen dari manusia dan benda guna mencapai tujuan-tujuan pemerintah. (2) Administrasi Negara adalah suatu seni dan ilmu yang dipergunakan untuk mengatur urusan-urusan negara.
c. Lembaga Administrasi Negara (LAN-RI) : Administrasi Negara adlah keseluruhan penyelenggaraan kekuasan negara dengan memanfaatkan segala kemampuan aparatur negara serta segenap dana dan daya untuk terlaksananya tugas-tugas pemerintah dan tercapainya tujuan negar.
d.  M. E. Dimoc & G. O. Dimoc :  Administrasi Negara merupakan kegiatan pemerintah di dalam melaksanaan kekuasaan politiknya.
e. Leonard D. White : Administrasi Negara adalah keseluruhan operasi (aktivitas-aktivitas kerja) yang bertujuan menyelenggarakan atau menegakkan kebijaksanaan kenegaraan.
f. Prof. Dr. Prajudi Admosudirdjo : Adinistrasi Negara mengandung 3 (tiga arti), yakni: (1) Administrasi Negara sebgai fungsi pemerintah untuk mengurus atau menangani urusan-urusan kenegaraan (publik servicess) secara tertentu. (2) Administrasi Negara sebagai aparatur dan aparat pemerintah sebagai suatu organisasi untuk mengendalikan keadaan pemerintahan negara. (3) Administrasi Negara sebagai proses penyelenggaraan berbagai macam tugas dan urusan pemerintah secara terorganisasi, sistematika, metodis, dan teknis.
g. Arifin Abdulrachman :  Administrasi Negara merupakan ilmu yang mempelajari pelaksanaan dari politik negara.
h. J. Wajong : Tugas utama Administrasi Negara ialah pada dasarnya merencanakan dan merumuskan kebijaksanaan politik, kemudian melaksanakannya dan menyelenggarakannya
i.        F. A. Nigro : Administrasi Negara mempunyai peranan penting dalam merumuskan kebijaksanaan pemerintah dan merupakan bagian dari proses politik.

Kesimpulan dari definis-definisi tersebut adalah bahwa Administrasi Negara merupakan segala kegiatan aparatur negara/pemerintah, untuk mencapai tujuan negara
2.2  Sejarah Perkembangan Sistem Administrasi Negara Di Indonesia
Administrasi Negara sebenarnya sudah ada semenjak dahulu kala, asal mula Administrasi Negara yakni di Eropa dan Amerika Serikat. Administrasi negara akan timbul dalam suatu masyarakat yang terorganisir. Dalam catatan sejarah peradaban manusia di Asia Selatan termasuk di Indonesia, Cina dan Mesir Kuno, dahulu sudah didapatkan suatu sistem penataan pemerintahan. Sistem penataan tersebut pada saat ini dikenal dengan sebutan Administrasi Negara.
Apa yang dicapai dan diberikan oleh administrasi negara sekarang, tidak lepas dari upaya-upaya yang tidak kenal lelah yang telah dilakukan oleh para peletak dasar dan pembentuk administrasi yang dahulu. Administrasi modern penuh dengan usaha untuk lebih menekan jabatan publik agar mempersembahkan segala kegiatannya untuk mewujudkan kemak-muran dan melayani kepentingan umum. Karena itu, administrasi negara tidak dipandang sebagai administrasi “of the public”, tetapi sebaliknya adalah administrasi “for the public”.

Ide ini sebenarnya bukanlah baru. Orientasi semacam ini telah dicanangkan dengan jelas dalam ajaran Confusius dan dalam “Pidato Pemakaman” Pericles, bahkan dalam kehidupan bangsa Mesir kuno. Bukti – bukti sejarah dengan jelas membuktikan upaya-upaya yang sistematis, yang dikobarkan oleh tokoh-tokoh seperti Cicero dan Casiodorus. Selama abad ke-16 – 18 tonggak kemapanan admi-nistrasi negara Jerman dan Austria telah dipancangkan oleh kaum Kameralis yang memandang administrasi sebagai teknologi. Administrasi negara juga memperoleh perhatian penting di Amerika, terutama setelah negara ini merdeka. Apa yang dikemukakan oleh Cicero dalam De Officiis misalnya, dapat ditemukan dalam kode etik publik dari kerajaan-kerajaan lama. Hal yang umum muncul di antara mereka adalah adanya harapan agar administrasi negara melakukan kegiatan demi kepentingan umum dan selalu mengembangkan kemakmuran rakyat. Dengan kata lain, administrasi negara tidak seharusnya mengeruk kantong kantornya (korupsi) demi kepentingan dirinya sendiri.

Administrasi Negara modern yang dikenal saat ini merupakan produk dari suatu masyarakat feodal yang tumbuh subur di negara-negara Eropa. Negara-negara di daratan Eropa yang semuanya dikuasai oleh kaum feodal, bangsawan dan kaum ningrat kerajaan berusaha untuk mengkokohkan pemerintahannya. Dengan semakin tumbuhnya perkembangan masyarakat, sentralisasi kekuasaan dan pertanggungjawaban dalam pemerintahan monarki menimbulkan suatu kebutuhan untuk mendapatkan korps administrator yang cakap, penuh dedikasi, stabil, dan integritas. Korps administrator ini pada gilirannya nanti akan menjadi tenaga spesialis pada masing-masing bidang dan jabatan yang beraneka pada tataran pemerintahan nasional. Kebutuhan akan suatu sistem mulai dirasakan, yakni suatu sistem untuk menata sentralisasi kekuasaan dan pertanggungjawaban pemerintahan.

Salah satu perwujudan kebutuhan suatu sistem penataan pemerintahan yang sistematis tersebut di Prusia dan Austri dikenal dengan sistem kameralisma (cameralism). Sistem ini dapat dikatakan sebagai awal mulanya administrasi negara. Kameralisame ini dirancang untuk mencapai efisiensi manajemen yang tersentralisasi dan paternalistik, yang ditandai oleh corak perekonomian yang merkantilistik. Gejala diperlukannya sistem penataan administrasi pemerintahan seperti di Prusia dan Austria tersebut, kemudian diperkuat di prancis sekitar abad ke-18 dengan usaha-usaha untuk mengembangkan teknologi dan enjinering .

Walaupun unsur-unsur kameralisme dan teknologi Prancis telah memberikan pengaruh yang signifikan terhadap administrasi negara di berbagai negara Eropa pada waktu itu. Akan tetapi, esensi dari unsur-unsur tersebut tampaknya mulaimemudar ketika terjadi Revolusi Prancis dan juga ketika zaman Napoleon. Titik berat perhatian mulai beralih diberikan kepada hak-hak individu dan kewajiban-kewajiban negara untuk melindungi hak-hak tersebut. Sistem perekonomianlaisezz-faire mulai dimanjakan. Kondifikasi hukum dan perkembangan-perkembangan di bidang lain yang memimpin kearah terciptanya suatu kemerdekaan untuk berbeda pendapat dalam negara danadministrasi mulai mewarnai admnistrasi pemerintahan waktu itu. Esensi ini pada kemudian hari menimbulkan suatu rasa kewajiban dan loyalitas kepada negara melalui suatu usaha penafsiran dan aplikasi hukum yang adil (fair-handed), dan kebutuhan untuk menetapkan keabsahan dalam mengungkapkan keinginan-keinginan kepada pemerintah. Suatu ungkapan pendapat yang menyarankan agar pejabat-pejabat tinggi yang permanen (senior permanent officer) seharusnua dididik  terlebih dahuli di bidang hukum, merupakan suatu kenyataan atas esensi tersebut. Timbullah waktu itu suatu ungkapan yang menyatakan sebgaia berikut:
“Negara adalah berkuasa, sentralisasi dan abasi (durable), Adapun birokrasi yang berorientasi legalistik haruslah mengabdikan kepada fungsi yang menjamin adanya stabilitas yang langgeng dan mampu menyatakan untuk melindungi keinginan-keinginannya”
Pandangan yang legalistik dari sistem negara dan birokrasinya ini terdapat pada hampir sebagian besar negara-negara Eropa Barat, dan dalam kadar derajatnya yang lebih kecil terdapat pula pada negara-negara Eropa Timur demikian pula pada negara-negara baru bekas jajahan dari negara-negara Eropa tersebut.
Inggris Raya dan Amerika Serikat pada gilirannya mengembangkan sistem administrasi negaranya yang sangat berbeda satu sama lain dengan sistem di daratan Eropa tersebut. Kedua negara ini tidak maumengadopsi pandangan mistik Eropa mengenai negara dan meninggalkan tradisi kodifikasi tata hukumnya. Inggris telah lama mempercayakan tanggungjawab administrasi pemerintahannya pada cara perwakilan dari para bangsawan dan orang-orang yang berpindidikan tinggi. Sampai dengan akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 sebagian besar kaum bangsawan berasal dari tuan tanah di pedesaan (rural-estate). Baru pada waktu diadakan perombakan pegawai-pegawai pemerintahan di abad ke-19, maka kemudian hampir sebagian besar administrator berasal dari kaum pedagang (mercantile) dan klas-klas usahawan di kota-kota. Selanjutnya pada akhir abad ke-19, mereka telah mulai menerapkan proses seleksi yang berlandaskan pada ujian yang bersifat kompetitif yang keras darilulusan-lulusan universitas, terutama dai Oxford dan Cambridge.

Dalam ujian-ujian ini diajukanbeberapa materi di antaranya hukum administrasi seperti yang terjadi di daratan Eropa, dan spesialisasi-spesialisasi lainnya yang bertalian secara langsung dengan administrasi negara yang masih terpusat pada sifat-sifat klasik dan kemanusiaan. Cara rekruitment untuk memasuki dinas-dinas administrasi pemerintahan di Inggris ini masih berlangsung dengan perubahan disana-sini, sampai akhir tahun 1060-an. Sistem ini dirancang untuk memperoleh administrator-administrator yang generalis, cerdas dan mempunyai prespektif profesional. Mereka mempelajari administrasi dan segala kegiatan untuk mengadministrasikan pekerjaan.

Administrasi telah lebih banyak dipelajari sebagai suatu hal yang bisa meberikan pelayanan terhadap pemberian saran dan kebijaksanaan kepada menteri, dan sedikti dopelajari sebagai proses manajemen ke dalam (internal management) dibandingkan dengan sebagian besar negara-negara lainnya. Pada umumnya administrasi negara di Inggris lebih bersifat sentralisasi dengan sistem pengawasan yang terpusatkan dalam Departemen Keuangan.

Administrasi negara di negara-negara jajahan di Amerika, baik dalam pemerintahan negara bagian, maupun pemerintahan nasional mulai dengan suatu model yang dikembangkan dari negara induknya. Administrasi dilakukan oleh para bangsawan yang berada di Selatan dan dijalankan oleh para bangsawan pedagang dan industriwan di daerah Utara. Administrasi tidak dipahami sebagai suat jenis aktivitas atau jabatan yangberbeda dan dapat dipisahkan, dan istilah ini tidak digunakan atau dicantumkan dalam konstitusi Amerika.

Ada tiga struktur dasar yang membedakan dengan sistem administrasi di Inggris. Pertama, sistem federal dari khususnya sistem kekuasaan yang terbatas pada pemerintahan nasional. Kedua, pemisahan kekuasaan eksekutif dari kekuasaan legislatif di tingkat pemerintahan nasional, negara bagian dan tingkat kota. Ketiga, besarnya rasa takut dan tidak percaya atas memusatnya kekuasaan eksekutif.perasaan ini sebenarnya merupakan salah satu penyebab Revolusi Amerika.

Perkembangan evolusioner administrasi negara diuraikan melalui pendekatan tradisional, pendekatan perilaku, pendekatan pembuatan keputusan (desisional) dan pendekatan ekologis. Secara khusus, pendekatan tradisional mengungkapkan tentang pengaruh ilmu politik, sebagai induk administrasi negara, pendekatan rasional dalam administrasi dan pengaruh Gerakan Manajemen Ilmiah terhadap perkembangan administrasi negara.

Di antara empat pendekatan yang diajukan, tidak ada satu pun pendekatan yang lebih unggul daripada pendekatan-pendekatan yang lain, karena setiap pendekatan berjaya pada sesuatu masa, di samping kesadaran bahwa setiap pendekatan mempunyai kelebihan dan kekurangan. Karena administrasi mengandung berbagai macam disiplin, sehingga cara pendekatan dan metodologi dalam administrasi juga beraneka ragam, maka administrasi negara merupakan bidang kajian yang dinamis. Selanjutnya sukar untuk secara khusus menerapkan satu-satunya pendekatan terbaik terhadap aspek administrasi tertentu. Kiranya lebih bermanfaat untuk mempergunakan keempat cara pendekatan tersebut sesuai dengan aksentuasi dari sesuatu gejala yang diamati.

Pengaruh politik terhadap administrasi negara selalu besar, tidak peduli kapan pun masanya. Hal ini disebabkan oleh adanya gejala di semua negara yang menunjukkan bahwa setiap pemerintah disusun di atas tiga cabang pemerintahan (legislatif, eksekutif, dan yudikatif). Hubungan terus menerus administrasi dengan politik mencerminkan keberlanjutan hubungan antara lembaga eksekutif dengan lembaga legislatif, sebagaimana dicerminkan dalam dua tahap pemerintahan, yakni tahap politik dan tahap administrasi. Jika tahap pertama merupakan tahap perumusan kebijakan, maka tahap kedua merupakan tahap implementasi kebijakan yang telah ditetapkan dalam tahap pertama.

Administrasi Negara modern yang dikenal sekarang ini merupakan produk dari suatu masyarakat feodal yang tumbuh subur di Negara-negara Eropa. Negara-negara di daratan eropa yang semuanya dikuasai oleh kaum feodal, bangsawan dan kaum ningrat kerajaan berusaha untuk mengokohkan sistem pemerintahannya. Dengan semakin tumbuhnya perkembangan masyarakat, sentralisasi kekuasaan dan pertanggungjawaban dalam pemerintahan monarki menimbulkan suatu kebutuhan untuk mendapatkan korps administrator yang cakap, penuh dedikasi, stabil dan integritas.
Sedangkan perkembangan administrasi Negara di Indonesia telah ada sejak awal kemerdekaan, pada tanggal 11 januari 1800. Yang meletakkan dasar-dasar administrasi Negara modern di Indonesia adalah Gubernul Jenderal Daendels. Pola pikir dan pola organisasi kenegaraan Daendels berasal dari prancis di bawah Kaisar Napoleon, yang sesuai dengan jamannya yaitu pemerintahan berorientasi militer. Setelah periode pemerintahan diganti oleh Raffles (1811-1816) jiwa pemerintahan yang semula berjiwa otokratis militer menjadi demokratis sipil. Raffles adalah pembawa dan penyebar ajaran demokrasi modern di Indonesia. Oleh karena itu, Raffles meletakkan titik berat sistem pemerintahannya pada “Village Administration” atau administrasi desa, dan tidak lagi pada bupati karena dianggap sebagai sumber korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang terhadap rakyat kecil. Sehingga lahirlah “Landrent System” atau sistem sewa tanah dan berubah sifat menjadi Sistem Pajak Tanah. Hingga sekarang pajak tanah ini masih diterapkan di Indonsia yang berubah sifat menjadi sistem pajak tanah dan pada era modern ini berkembang menjadi PBB (pajak bumi dan bangunan). Kemudian sistem pemerintahannya yang hanya berorientasi pada administrasi desa telah mengalami perubahan sepanjang masa sejak 1816 hingga kini adalah sistem pemerintahan dan sistem administrasi pemerintahan, sistem administrasi keuangan dan sistem peradilan serta sistem adminitrasi peradilan. Administrasi telah lebih banyak dipelajari sebagai suatu hal yang bisa memberikan pelayanan terhadap pemberian saran kebijaksanaan kepada menteri. Dan sedikit dipelajari sebagai proses manajemen ke dalam (internal management) dalam aplikasinya pada sistem administrasi Negara.
Pola dan sistem pemerintahan administrasi Negara di Indonesia sekarang jauh lebih maju dan praktis daripada pola dan sistem pemerintahan pada masa sebelumnya. Hanya saja yang perlu didayaupayakan sekarang adalah sistem kinerja lembaga serta alat-alat kelengkapan Negara agar sesuai dengan kebutuhan masyarakat serta peningkatan profesionalitas setinggi-tingginya, dalam pengertian profesionalitas termasuk:
1.      Ethos kerja yang tinggi (moral, etika, semangat)
2.      Peningkatan mutu pendidikan, termasuk pendidikan dalam konteks ilmu administrasi negara modern
3.      Pengalaman dan keterampilan yang dikembangkan secara sistematis
4.      Penggunaan peralatan (equipment) yang modern dan efektif.

2.3  Perkembangan Paradigma dalam Administrasi Negara
2.3.1        Konsep Paradigma Administrasi Negara
Nicholas Henry merumuskan lima paradigma berdasarkan pada fokus kepentingannya dan locus dimana secara institusional administrasi dipraktekkan, yaitu :
1.      Paradigma dikotomi antara politik dan administrasi Negara
Fokus paradigma Dikotomi Politik- Administrasi (1900-1926) adalah pemisahan urusan politik dari urusan administrasi dalam fungsi pokok pemerintah, dimana substansi ilmu politik hanya meliputi masalah-masalah politik, pemerintahan, dan kebijaksanaan, dan substansi administrasi pada masalah-masalah organisasi, kepegawaian, dan penyusunan anggaran dalam sistem birokrasi pemerintah. Paradigma Dikotomi Politik-Administrasi juga mengindikasikan pentingnya manajemen untuk menyumbangkan analisis ilmiahnya kepada ilmu administrasi, perlunya administrasi publik menjadi ilmu pengetahuan yang bebas-nilai, dan bahwa misi ilmu administrasi adalah ekonomis dan efisiensi. Locus politik meliputi badan-badan legislatif dan yudikatif dengan tugas pokok membuat kebijaksanaan-kebijaksanaan atau melahirkan keinginan-keinginan negara, sementara locus administrasi pada badan-badan eksekutif dan tugasnya menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan pelaksanaan kebijaksanaankebijaksanaan tersebut (Goodnow, 1900:10-11).

2.      Paradigma prinsip-prinsip administrasi,
Dalam paradigma Prinsip-Prinsip Administrasi (1927-1937) fokus dianggap yang terpenting, sementara locus tidak dipermasalahkan. Administrasi publik dipandang memiliki sifat universal, artinya dapat diimplementasikan pada semua tatanan administrasi tanpa mempedulikan kebudayaan, fungsi, lingkungan, misi, atau kerangka institusi. Prinsip-prinsip dipandang sebagai unsure penting bagi administrasi sebagai suatu ilmu. Para teoritikus lainnya yang dapat dikategorikan dalam paradigma ini adalah Willoughby, Henry Fayol, Mary Parker Follet, James Mooney dan Alan Reiley, Frederick Taylor, serta Luther Gulick dan Lyndall Urwick yang terkenal dengan prinsip POSDCORB.

3.      Paradigma administrasi Negara sebagai ilmu politik.
Fokus utama dari paradigma Administrasi Publik sebagai Ilmu Politik (1950-1970) adalah kembalinya eksistensi administrasi publik sebagai bagian ilmu politik karena administrasi publik pada dasarnya mengabdi kepada kekuasaan dan memiliki kekuasaan penuh untuk melakukan pengabdiannya dalam membantu penguasa dalam memerintah secara lebih efisien. Locus administrasi publik pun sudah jelas, yakni lingkungan birokrasi pemerintahan. Para tokoh yang termasuk paradigma ini, di antaranya Chester Barnard, Herbert Simon, Allen Schick, Frederick Mosher, Robert Dahl dan Dwight Waldo.

4.      Paradigma administrasi Negara sebagai ilmu administrasi.
Pada paradigma Administrasi Publik Sebagai Ilmu Administrasi (1956-1970), yang terpenting adalah fokus sedangkan locus bukan suatu persyaratan. Dengan prinsip ini teknikteknik ilmu manajemen dan teori organisasi mulai dikembangkan sebagai bagian dari ilmu administrasi publik, dan seringkali memerlukan keahlian dan spesialisasi. Tetapi dimana dan pada institusi apa teknik-teknik ini harus diterapkan bukanlah menjadi rumusan perhatian paradigma ini. Tokoh-tokoh administrasi publik yang dicatat termasuk dalam paradigma ini, antara lain Keith Henderson, James March dan Herbert Simon.

5.      Paradigma administrasi Negara sebagai ilmu administrasi Negara.
Paradigma Administrasi Publik Sebagai Ilmu Administrasi Publik (1970-) merupakan pembaharuan dari paradigma sebelumnya. Dalam hubungan ini, locus administrasi bukan hanya terbatas pada bidang administrasi, tetapi mulai merambah kepada teori organisasi. Fokus administrasi pun berkembang kepada teori administrasi yang lebih mempersoalkan bagaimana seharusnya suatu organisasi berjalan, orang-orang berperilaku, dan keputusankeputusan diambil. Pada paradigma ini, administrasi publik kemudian banyak berorientasi kepada teori dan teknikteknik administrasi, manajemen modern, politik-ekonomi, serta proses pembuatan, analisis, dan metode pengukuran hasilhasil kebijaksanaan publik. Tokoh-tokoh administrasi publik yang dapat dikategorikan dalam paradigma ini antara lain Charles Lindbloom, Gerald Caiden, Louis Gawthrop, D.H. Rosenbloom, R.T Golembewski, Frederick Mosher, dan Amitai Etzioni.
Mustopadidjaja Seorang pakar administrasi publik Indonesia, Mustopadidjaja, mencoba merumuskan empat paradigma yang ‘lebih merupakan teori dasar’ atau ‘dasar-dasar bangunan teori mengungkapkan konsep-konsep pokok, khususnya yang terdapat dalam paradigma-paradigma yang dirumuskan Henry dan Frederickson tersebut di atas. Keempat paradigma tersebut adalah:

1.      Struktural-Fungsional Fokus kajian dan permasalahan Paradigma Struktural-Fungsional adalah disain dan fungsi organisasi, yakni melihat birokrasi sebagai suatu organisasi yang disusun secara rasional berdasarkan pembagian kerja dan fungsi-fungsi spesifik menurut hierarki serta kewenangan tertentu, kemudian dijalankan oleh tenaga-tenaga yang sesuai dengan tugas dan fungsinya. Bila dihubungkan dengan universalisme prinsip-prinsip administrasi dan ilmu administrasi yang bebas-nilai, paradigma ini menganggap bahwa melalui model birokrasi tersebut, maka nilai-nilai efisiensi, ekonomi, efektivitas dan produktivitas dari paradigma ini akan dapat dicapai.

2.      Perilaku Paradigma Birokrasi Klasik dari Frederickson dan Paradigma Prinsip- Prinsip Administrasi dari Henry dapat digolongkan dalam kelompok ini karena paradigma-paradigma tersebut lebih melihat organisasi sebagai suatu sistem tertutup, yang secara eksplisit tidak memperhatikan hubungan dengan organisasi lain maupun dengan lingkungan sosial ekonomi yang lebih luas.

3.      Sistemik, dan Dalam paradigma Perilaku pengamatan dan analisis difokuskan pada dimensi kemanusiaan dalam organisasi dan manajemen, sebagai reaksi terhadap pandangan strukturalfungsional yang mengabaikan aspekaspek tersebut, dan memperhitungkan beberapa aspek perilaku manusia dalam konteks kehidupan berorganisasi. Berbagai teori dalam paradigmaparadigma Birokrasi Neo-Klasik, Model kelembagaan dan Hubung an Kemanusiaan dari Frederickson termasuk dalam kelompok ini, dan demikian juga Paradigma Administrasi publik Sebagai Ilmu Administrasi dari Nicholas Henry. Disamping itu, berbagai pendekatan yang berfokus pada proses pembelajaran (learning paradigm) dapat dikelompokkan ke dalam paradigma ini. Sementara itu, Paradigma Sistemik berfokus pada pendekatan menyeluruh dan terpadu dimensi–dimensi administrasi dan menempatkan birokrasi sebagai suatu sistem organisasi dan manajemen yang secara dinamik mengadakan interaksi dengan lingkungan internal (inner system) maupun eksternal (outer system atau contingencial). Pilar bangunan Paradigma Sistemik ini dibangun dari berbagai teori dan pendekatan dalam Paradigma Struktural-Fungsional dan Paradigma Perilaku. Disamping itu, paradigma ini menganut adanya nilai-nilai keserasian, keseimbangan, kontinuitas, dan optimalisasi pencapaian tujuan.

4.      Kebijakan Publik Paradigma Kajian Kebijakan Publik memfokuskan perhatian dan analisisnya pada keseluruhan substansi dari proses kebijakan, mulai dari perumusan kebijakan, pelaksanaan, pengawasan, dan penilaian kinerja yang harus dilakukan sisten administrasi publik, baik dalam konteks substansi permasalahan di dalam sistem itu sendiri (inner system), maupun dalam interaksinya secara dinamis dan contingencial dengan lingkungan eksternalnya. Locus dari paradigma ini adalah sistem administrasi publik dalam berbagai unsur, satuan, posisi, peran dan dinamikanya.

2.3.2        Paradigma Administrasi Negara
George Frederickson merumuskan enam model paradigma administrasi publik yang duraikan dari sudut teori, dalam arti pengetahuan yang positif atau yang punya dasar empiris. Kelima model tersebut adalah:
1.      Paradigma birokrasi klasik
pengamatan model Birokrasi Klasik adalah struktur (disain) organisasi dan fungsi atau prinsip-prinsip manajemen, sedangkan locusnya adalah berbagai bentuk organisasi pemerintah dan bisnis. Nilai pokok yang ingin diwujudkan dalam paradigma ini adalah efisiensi, efektivitas, ekonomi dan rasionalitas. Tokoh administrasi yang dapat dikategorikan dalam paradigma ini antara lain Frederick taylor, Max Weber, Woodrow Wilson, serta L. Gulick dan L. Urwick.

2.      Paradigma birokrasi neo-klasik
Model Birokrasi Neo-Klasik sebenarnya mengandung nilai yang serupa dengan paradigma pertama, tetapi dengan fokus dan locus berbeda. Fokus dari paradigma ini adalah proses pengambilan keputusan yang dimabil birokrasi pemerintahan dengan perhatian khusus kepada penerapan ilmu perilaku, ilmu manajemen, analisa sistem, dana penelitian operasinya, sedangkan locusnya adalah ‘keputusan’ yang dihasilkan. Tokoh-tokoh yang dapat dimasukkan ke dalam paradigma ini antara lain Herbert Simon, William Gore, Richard Cuert dan James March.

3.      Paradigma kelembagaan
Model Kelembagaan berfokus pada pemahaman tentang perilaku birokrasi yang dipandang juga sebagai suatu organisasi yang kompleks. Masalahmasalah efisiensi, efektivitas, dan produktivitas organisasi kurang mendapat perhatian. Salah satu perilaku birokrasi yang diungkapkan dalam paradigma ini adalah proses pengambi lan keputusan yang inkremental dan gradual, yang dipandang sebagai satu-satunya cara untuk memadukan kemampuan dan keahlian birokrasi dengan preferensi kebijaksanaan dan berbagai kemungkinan bias dari pejabat politis. Tokoh-tokoh dalam paradigma ini antara lain Charles Linblom, J. Thomson, Michel Crozier, Anthony Downs, Frederick Mosher, dan Amitai Etzioni.

4.      Paradigma hubungan kemanusiaan
Di pihak lain, model Hubungan Antar Manusia berfokus pada dimensidimensi hubungan antar-manusia dan aspek sosial-psikologi dalam tiap bentuk organisasi dan birokrasi. Sementara nilai-nilai yang mendasari adalah partisipasi dalam pengambilan keputusan, minimasi perbedaan dalam status dan hubungan antarpribadi, keterbukaan, aktualisasi diri, dan optimasi kepuasan. Menurut Mustopadidjaja, akhir-akhir ini berkembang pula paradigma pembelajaran (learning paradigm) yang dapat dimasukkan ke dalam kelompok ini dan berorientasi pada peningkatan kapasitas individu dan institusi. Tokoh-tokoh dalam paradigma ini antara lain Rennis Likert, Daniel Katz dan Robert Kahn, Warren Bennis, dan Eugene McGregor.

5.      Paradigma pilihan masyarakat umum
Selanjutnya dalam Model Pilihan Publik dinyatakan, bahwa administrasi publik tak lepas dari politik, sedangkan locusnya adalah pilihan-pilihan publik dalam pelayanan barang dan jasa yang harus diberikan oleh berbagai bentuk dan jenis organisasi. “Bentuk ekonomi politik modern,” kata Frederickson, “didasarkan pada pilihan pendekatan antara ekonomi pasar bebas dan pilihan publik.” Tokohtokoh dalam paradigma ini adalah Vincent Orstrom, James Buchanan, Michel Olson, dan George Tullock.

6.      Paradigma administrasi Negara baru
Melalui konsep Administrasi Publik Baru, Frederickson berupaya untuk mengorganisasikan, mendisaian, dan membuat organisasi dapat berjalan ke arah perwujudan nilai-nilai kemanusiaan secara maksimal melalui pengembangan sistem desentralisasi dan pembentukan organisasi-organisasi yang responsif dan partisipatif, serta dapat memberikan jasa yang diperlukan. Karakteristik Administrasi Publik Baru, menurut Frederickson, adalah menolak anggapan bahwa teori-teori administrasi dan para praktisi bersifat netral atau bebas-nilai, sementara nilai-nilai yang dianut dalam berbagai paradigma relevan walaupun terkadang saling bertentangan satu sama lain.

2.4  Model Administrasi Publik pada Era Pembangunan
Tiga model analisis yang dikenal dengan paradigma yang telah didiskusikan di atas menawarkan pemikiran-pemikiran yang sangat bermanfaat bagi pemecahan masalah-masalah empirik, baik organisasional maupun lingkungan, yang muncul dalam setiap praktek administrasi publik. Akan tetapi dalam kenyataannya, ketiga paradigma tersebut, dan paradigmaparadigma administrasi publik lainnya, tampaknya belum dapat membantu memecahkan permasalahan-permasalahan sebagai-mana diharapkan terbukti dengan masih banyaknya negara, terutama negara-negara berkembang, yang belum berhasil melaksanakan fungsi umum pemerintahan secara efektif dan efisien.
Berbagai dimensi administrasi dan kompleksitas permasalahan pembangunan yang tumbul dalam rangka penyelenggaraan berbagai tugas pemerintahan di negara-negara berkembang tersebut secara sistemik berhubungan erat satu sama lain, dan dapat disederhanakan dalam komponenkomponen permasalahan administrasi sebagai berikut: kelembagaan, organisasi, sumber daya manusia, manajemen dan sarana dan prasarana administrasi (Mustopadidjaja, ibid). Apabila dihubungkan dengan inti dari ilmu administrasi publik ketika pertama kali dikembangkan oleh Woodrow Wilson bahwa tujuan utama eksistensinya adalah untuk melayani kepentingan masyarakat pada umumnya, maka tampaknya diperlukan paradigma-paradigma baru yang diharapkan dapat mengatasi permasalahan administrasi di negaranegara berkembang dan berorientasi pada ‘administrasi pemerintahan yang dilaksanakan oleh aparatur pemerintah untuk kepentingan masyarakat.’ Paradigma-paradigma baru tersebut muncul sesudah berakhirnya era paradigma Henry pada tahun 1970, dan berbarengan dengan Era Pembangunan yang dicanangkan oleh United Nation Organization (Thoha, ibid. Apabila dilihat dari sudut pandang administrasi publik, maka paradigma-pradigma baru yang muncul dapat disebut paradigmapradigma pembangunan. Paradigma-paradigma tersebut, antara lain, adalah ‘Reinventing Government’, “Banishing Bureaucracy’, dan ‘Good Governance’.
1.       Konsep Reinventing Government
Menurut Osborne dan Gaebler, untuk memperbaiki kinerjanya pemerintah berperan sebagai katalisator, yang tidak melaksanakan sendiri pembangunan, tetapi cukup mengendalikan sumber-sumber yang ada di masyarakat dengan mengoptimalkan pembangunan dana dan daya sesuai kepentingan publik. Di samping itu, pemerintah harus memberdayakan masyarakat agar lebih berperan serta dalam pembangunan melalui organisasiorganisasi kemasyarakatan seperti Koperasi, LSM, dan sebagainya. Dalam bidang pelayanan publik, pemerintah harus menciptakan kompetisi agar sektor usaha swasta dan pemerintah bersaing, dan terpaksa bekerja lebih profesional dan efisien. Pemerintah pun harus melakukan aktivitas yang menekankan kepada pencapaian apa yang merupakan “misinya” daripada menekankan pda peraturan-peraturan.

2.      Konsep Banishing Bureaucracy
baru lainnya menurut David Osborne dan Peter Plastrik di dalam buku “Banishing Bureaucracy” (1996) adalah membahas cara penerapan strategi untuk mentransformasikan sistem dari organisasi birokrasi ke organisasi wirausaha, dengan memberikan know how untuk aplikasinya melalui 5 strategi inovatif. Kelima strategi tersebut adalah (1) Center Strategy, (2) Consequency Strategy, (3) Customer Strategy, (4) Control Strategy, dan (5) Cultural Strategy. Perbedaan antara kedua paradigma tersebut adalah Reinventing Government menawarkan reinvensi dengan karakteristik yang berorientasi wirausaha secara deskriptif, sedangkan Banishing Bureaucracy membahas cara penciptaan strategi untuk mentransformasikan sistem organisasi birokrasi ke organisasi wirausaha secara preskriptif.

3.      Konsep Good Governance
Good Governance merupakan suatu paradigma baru yang berorientasi kepada hubungan yang sinergik dan konstruktif di antara pemerintah, sector swasta dan masyarakat, dalam rangka melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan bertanggungjawab. UNDP merumuskan 9 karakteristik Good Governance. Kesembilan karakteristik tersebut adalah (1) Participation, (2) Rule of Law, (3) Transparency, (4) Responsiveness, (5) Consensus Orientation, (6) Equity, (7) Effectiveness and Efficiency, (8) Accountabilty, dan (9) Strategic Vision.
Menurut konsep ini, untuk mewujudkan suatu Kepemerintahan yang Baik, pemerintah harus member kesempatan kepada setiap warga negara untuk berpartisipasi secara konstruktif dalam pembuatan keputusan. Kerangka hukum negara pun harus adil dan diberlakukan kepada setiap warganegara, terutama yang berkaitan dengan hak asasi manusia.
Pada hakekatnya masalah-masalah tersebut secara sistemik bertalian erat satu sama lain, dan dapat disederhanakan sebagai permasalahan kelembagaan, organisasi, sumber daya manusia,manajemen, serta sarana dan prasarana administrasi. Pembangunan administrasi publik pada hakekatnya terarah pada upaya mengatasi berbagai permasalahan empirik yang dihadapi sistem administrasi publik, baik yang muncul dalam sistem internal maupun dalam kaitannya dengan interaksi sistem dengan lingkungannya. Diharapkan, berbagai paradigma tersebut dapat membantu memecahkan permasalahan-permasalahan empirik tersebut sehingga proses pencapaian tujuan dalam penyelenggaraan fungsi umum pemerintahan yang harus dilakukan dapat berlangsung secara efektif dan efisien.
2.5 Masalah Focus dan Locus dari Administrasi Negara

1.  Menurut pendapat Maurice Spiers pendekatan-pendekatan dalam administrasi negara adalah pendekatan matematik, sumber daya manusia dan sumber daya umum. Sedang menurut Robert Presthus adalah pendekatan institusional, struktural, perilaku, dan pasca perilaku. Bagi Thomas J. Davy pendekatan yang dimaksud terdiri dari manajerial, psikologis, politis, dan sosiologis.
2.    Pendekatan proses administrasi memandang administrasi sebagai satu proses kerja yang dipergunakan untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi. Pendekatan ini juga seringkali disebut dengan pendekatan operasional.
3.   Pendekatan empiris hendak melakukan generalisasi atas kasus-kasus yang telah terjadi secara sukses. Pendekatan ini seringkali disebut juga sebagai pendekatan pengalaman.
4.     Pendekatan perilaku manusia memandang bahwa pencapaian tujuan-tujuan organisasi tergantung pada penerapan prinsip-prinsip psikologis. Pendekatan ini telah menampilkan aspek manusia sebagai elemen utama administrasi.
5.   Pendekatan sistem sosial memandang administrasi sebagai satu sistem sosial. Kesadaran akan berbagai keterbatasan organisasi dapat menumbuhkan semangat kerjasama di antara anggota-anggota organisasi.
6.   Pendekatan matematik memandang model-model matematik dapat diterapkan pada administrasi, dengan tujuan untuk melakukan peramalan.
7.   Pendekatan teori keputusan memandang pembuatan keputusan sebagai fungsi utama administrasi. Semula pendekatan ini hanya membahas dan melakukan evaluasi terhadap alternatif-alternatif dalam memilih tindakan yang akan diambil, tetapi kemudian pendekatan ini juga mengkaji semua aktivitas organisasi.

2.6 Pandangan Neo-Ortodoksi Administrasi Negara

Pandangan modern terhadap administrasi negara atau yang dapat disebut dengan neo-ortodoksi adalah dilandasi oleh kenyataan bahwa berdasarkan pendekatan perilaku, banyak hal yang terjadi dan sulit terkendalikan. Bahwa meskipun pendekatan kemanusiaan ataupun perilaku individu diterapkan dalam birokrasi pemerintahan, banyak hal yang bisa dilakukan melalui struktur hirarki, prosedur kerja maupun nilai-nilai normatif administrasi. Yang diperlukan untuk menghindarkan segala ekses dampak yang terjadi adalah dengan melakukan peninjauan kembali terhadap sistem dan struktur yang selama ini dikembangkan. Dengan perkataan lain diperlukan suatu perubahan yang bersifat restrukturisasi sistem birokrasi.

Tantangan yang dihadapi berdasarkan pemikiran para pakar neo ortodoksi administrasi negara ini (Fredericson, 1984; Nigro dan Nigro, 1980; Shafritz, 1997)  antara lain berkaitan dengan kemampuan birokrasi menghadapi kompleksitas masyarakat. Termasuk dalam hal ini adalah kemampuan birokrasi pusat untuk mengakomodasi tuntutan kompleksitas permasalahan yang dihadapi oleh birokrasi regionel maupun lokal dalam hubungannya dengan klien atau masyarakat yang dilayani.

Dengan demikian, permasalahan yang sebenarnya dihadapi adalah bagaimana melakukan perubahan sistem birokrasi agar memiliki daya tanggap yang lebih baik dan lebih efektif. Lebih daripada itu, dalam rangka tetap mengakomodasikan pendekatan kemanusiaan dalam praktek birokrasi penyelenggaraan pemerintahan, permasalahannya adalah bagaimana merancang suatu sistem birokrasi yang mampu memfasilitasi peran-serta setiap individu birokrat maupun masyarakat untuk tercapainya tujuan bersama secara efektif.

Menurut pandangan noe-otokrasi ini, sistem administrasi negara baik pada tingkat nasional maupun pada tingkat daerah pada periode tahun 1980-an dan 1990-an, dihadapkan pada berbagai krisis baik yang datang dari luar maupun dari dalam lingkungan sistem itu sendiri. Krisis yang datangnya dari luar antara lain berupa krisis ekonomi yang berkepanjangan, bukan saja di negara-negara dunia ketiga tetapi juga dinegara-negara maju.

Efek globalisasi ekonomi yang melanda dunia internasional antara lain berkaitan dengan resesi ekonomi global dan krisis moneter yang dalam banyak hal telah menghambat laju pertumbuhan ekonomi berbagai negara, bahkan menimbulkan efek kontraksi yang sangat tajam sebagaimana terjadi di Indonesia pada tahun 1997/1998. Kondisi yang demikian dalam skala mikro telah berdampak menurunkan kapasitas keuangan pemerintah baik yang diperoleh dari pajak dalam negeri maupun berbagai retribusi dan sumber-sumber penrimaan lainnya; akibat menurunnya kemampuan penerimaan masyarakat sejalan dengan menurunnya laju pertumbuhan ekonomi.

Pemerintah dibanyak negara kemudian terdorong untuk melakukan efisiensi dengan memperketat pengeluaran anggaran di satu sisi, tetapi disisi lain pemerintah dituntut untuk meningkatkan efektivitas penyelenggaraan program-program social safety net untuk mempertahankan tingkat kesejahteraan masyarakat. Kondisi ini kemudian mendorong pemerintah, termasuk pemerintah daerah dimanapun untuk melakukan rasionalisasi dan retrukturisasi kelembagaan agar mampu mengatasi krisis yang dihadapi.

Di lain pihak, permasalahan internal yang dihadapi pemerintah sebagaimana telah diuraikan adalah kenyataan bahwa di berbagai negara dirasakan adanya penurunan kualitas, bahkan kualitas pelayanan kepada masyarakat. Hal ini terjadi dalam banyak hal bukan karena rendahnya tingkat kemampuan aparatur, akan tetapi justru terjadi sebagai akibat telah semakin meningkatnya orde kebutuhan serta tuntutan jati diri masyarakat atas layanan pemerintah.

Sementara kapasitas pelayanan umum oleh pemerintah terlalu lamban untuk mampu beradaptasi dengan berbagai ragam kebutuhan tersebut. Apalagi dalam rejim pemerintahan yang sentralistik, bahkan dalam sistem pemerintahan yang desentralistik, sekalipun ternyata kemampuan pacu peningkatan kualitas pelayanan publik oleh pemerintah dirasakan masih rendah. Akibatnya, di banyak negara mulai muncuk berbagai prakarsa masyarakat untuk keluar dari atau berhenti sebagai pengguna jasa pemerintah dan beralih ke jasa-jasa publik yang ditawarkan oleh swasta maupun lembaga-lembaga masyarakat ataupun komunitas sendiri.

Masyarakat misalnya telah mulai beralih dari orientasi menggantungkan perlindungan keamanan kepada polisi pemerintah dengan membentuk satuan-satuan pengamanan swakarsa 9satpam) atau pengawal-pengawal pribadi. Mereka juga keluar dari lingkungan pemukiman masyarakat di perkampungan kota yang kumuh dengan kualitas infrastruktur sosial yang tidak lagi sesuai dengan selera mereka, kemudian pindah bermukim di kompleks-kompleks perumahan eksklusif dengan infrastruktur lingkungan yang jauh lebih baik, dalam lingkungan tertutup yang dijaga ketat oleh Satpam sendiri.

Mereka memilih untuk menambah pengeluaran ekstra agar mendapatkan layanan publik yang lebih baik daripada yang bisa diberikan oleh pemerintah. Mereka memilih membayar sendiri layanan pengamanan, pengangkutan sampah, pertamanan, fasilitas jalan dan penerangan umum, drainase dan sanitasi lingkungan, dan berbagai jasa lainnya dalam satu paket dengan keberadaan mereka dilingkungan perumahan tersebut. Mereka bahkan memilih untuk menyekolahkan anak-anak mereka tidak kesekolah negeri bahkan kalau perlu keluar negeri, termasuk penggunaan layanan kesehatan yang dikelola oleh swasta.

Fenomena  masyarakat yang disebut oleh Shafritz (1997) sebagai fenomena kemunculan feodalisme modern tersebut pada hakekatnya merupakan kecenderungan perkembangan pilihan-pilihan masyarakat (people’s choices) terhadap berbagai jenis layanan publik yang mampu memenuhi tuntutan aspirasi mereka. Jadi yang terjadi disini sebenarnya bukan merupakan akibat dari ketidakmampuan atau rendahnya kualitas aparatur, yang tidak mampu menciptakan kualitas pelayanan yang diharapkan; melainkan adalah sistem penyelenggaraan administrasi publik itu sendiri yang rancangannya tidak memungkinkan aparatur untuk secara tanggap melakukan adaptasi terhadap perubahan lingkungan strategisnya.

Mengingat hal tersebut para pemikir neo-ortodoksi administrasi negara menilai perlunya penataan ulang sistem-sistem dan struktur kelembagaan yang berlaku dalam pemerintahan. Diperlukan pemikiran kembali mengenai fungsi-fungsi serta peranan pemerintah dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (Rethinking Government), bahkan diperlukan invensi-invensi baru dalam sistem dan praktek penyelenggaraan pelayanan publik oleh pemerintahan (Reinventing Government) (Frederickson, 1984; Gaebler dan Osborne, 1992; Gray, 1994; Shafritz, 1997; World Bank, 1999/2000).

Bahkan sebagian mengarahkan agar pemerintah sama sekali keluar sama sekali dari “bisnis” penyelenggaraan publik tertentu dan menyerahkannya kepada sektor swasta untuk menyelenggarakannya (Savas, 1987). Disisi lain, para pakar juga mempertimbangkan agar dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan publik, terdapat keseimbangan dan kesetaraan peran antara pemerintah, swasta, dan masyarakat (Civil Society) berdasarkan paradigma Governance (bukan government) sehingga terdapat sinergi dan harmonisasi dalam pencapaian tujuan bersama meningkatkan kualitas hidup dan penghidupan masyarakat (UNDP, 1995 dan 1999, Kooiman, 1993).

Dari berbagai rekomendasi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa tesis yang mendasarinya adalah perubahan organisasi melalui perubahan struktur-struktur organisasi termasuk sistem-sistem yang melandasi beroperasinya administrasi negara. Hal ini menurut Frederickson (1984 : 121) didasari oleh anggapan bahwa : “Adalah lebih gampang mengubah kerangka organisasi, dan karenanya juga aturan permainan organisasi, ketimbang mengubah orang-orangnya; dan dengan mengubah kerangkadan aturan-aturannya kita bisa meningkatkan potensi untuk mengubah orang-orang itu”. Anggapan dasar yang sama juga dikemukakan oleh Ted Gaebler dan David Osborne (1992) bahwa salah satu dari lima keyakinan dasar yang melandasi analisis mereka adalah : “keyakinan bahwa para pegawai pemerintah (birokrat) bukanlah sumber permasalahan, tetapi sistem-sistem kerja dimana mereka harus bekerja itulah sumber permasalahan yang sebenarnya”

No comments:

Post a Comment

Adbox