BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Sumber Hukum
Menurut R. Suroso dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum sumber hukum adalah segala sesuatu yang menimbulkan aturan-aturan yang mengikat dan memaksa, sehingga apabila aturan-aturan itu dilanggar akan menimbulkan sanksi yang tegas dan nyata bagi pelanggarnya.
Yang dimaksud dengan segala sesuatu adalah faktor-faktor yang berpengaruh terhadap timbulnya hukum, faktor-faktor yang merupakan sumber kekuatan berlakunya hukum secara formal artinya dari mana hukum itu dapat ditemukan, dari mana asal mulanya hukum di mana hukum dapat dicari atau hakim menemukan hukum, sehingga dasar putusannya dapat diketahui bahwa suatu peraturan tertentu mempunyai kekuatan mengikat atau berlaku dan lain sebagainya.
Menurut Ilhami Bisri dalam bukuya Sistem Hukum Indonesia sumber hukum adalah segala sesuatu yang memiliki sifat normatif yang dapat dijadikan tempat berpijak bagi atau tempat memperoleh informasi tentang system hukum yang berlaku di Indonesia.
Sumber hukum adalah segala apa saja yang menimbulkan aturan-aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat memaksa, yakni aturan-aturan yang kalau dilanggar mengakibatkan sanksi yang tegas dan nyata.[1]
Dalam ilmu pengetahuan hukum, pengertian sumber hukum digunakan dalam beberapa pengertian oleh beberapa ahli dan penulis. Pertama, sumber hukum dalam pengertian sebagai “asalnya hukum” ialah berupa keputusan penguasa yang berwenang untuk memberikan keputusan tersebut. Artinya keputusan itu haruslah berasal dari penguasa yang berwenang untuk itu.[2] Kedua, sumber hukum dalam pengertian sebagai “tempat” ditemukannya peraturan-peraturan hukum yang berlaku. Bentuknya berupa undang-undang, kebiasaan, traktat, yurisprudensi atau doktrin dan terdapatnya ada dalam UUD 1945, ketetapan MPR, UU, Perpu, PP, Kepres dan lainnya.[3] Ketiga, sumber hukum dalam pengertian sebagai “hal-hal yang dapat atau seyogiannya memengaruhi kepada penguasa didalam menentukan menentukan hukumnya”. Misalnya keyakinan akan hukumnya, rasa keadilan, ataupun perasaan akan hukum.[4]
Dalam ilmu hukum sendiri sumber hukum dibedakan menjadi dua pengertian: Pertama, Sumber Pengenalan Hukum (kenbron van hetecht). Dalam hal ini, mengandung pengertiam sumber hukum yang mengharuskan untuk menyelidiki asal dan tempat ditemukannya hukum. Kedua, sumber asal nilai-nilai yang menyebabkan timbulnya atau lahirnya aturan hukum (welbron van het recht), yaitu sumber hukum yang mengharuskan untuk membahas asal sumber nilai yang menyebabkan atau menjadi dasar aturan hukum.[5]
Pasal 1 Tap MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan menentukan, bahwa:
1. Sumber Hukum adalah sumber yang dijadikan bahan untuk menyusun peraturan perundang-undangan.
2. Sumber Hukum terdiri atas sumber hukum tertulis dan sumber hukum tidak tertulis.
3. Sumber Hukum dasar nasional adalah:
a. Pancasila sebagaimana tertulis dalam Pembukaan UUD 1945
b. Batang Tubuh UUD 1945 (Pasal-Pasal dalam UUD 1945)
Secara umum Sumber-sumber Sistem Hukum Indonesia dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu: Sumber Materil Hukum Indonesia dan Sumber Formil Hukum Indonesia.
2.2. Sumber Materil Hukum Indonesia
Sumber hukum materil adalah faktor yang membantu pembentukan hukum atau juga bisa disebut sumber hukum yang menentukan isi kaidah hukum. Contoh hubungan sosial, hubungan politik, letak greogafis, hasil penelitian ilmiah dan lain sebagainya. Sumber ini diperlukan juga ketika akan menyelidiki asal usul hukum dan menentukan isi hukum. Misalnya, Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia yang kemudian menjadi falsafah negara merupakan sumber hukum dalam arti materil yang tidak saja menjiwai bahkan dilaksanakan oleh setiap peraturan hukum. Karena pancasila merupakan alat penguji untuk setiap peraturan hukum yang berlaku, apakah ia bertentangan atau tidak degan pancasila, sehingga peraturan hukum yang bertentangan dengan pancasila tidak boleh berlaku.
Dalam buku Pengantar Ilmu Hukum yang ditulis oleh Sutanto, dkk, dijelaskan Sumber hukum materil adalah sumber diperolehnya bahan atau materi hukum, dan bukan berkaitan dengan kekuatan berlakunya. Sebagai contoh adalah adat kebiasaan, ketentuan yang oleh hakim dijadikan hukum dan berasal dari kehidupan masyarakat. Dalam hal ini keputusan hakim itulah yang memberikan kekuatan hukum. Sumber hukum materil juga merupakan faktor yang membantu pembentukan hukum, misalnya : hubungan sosial, hubungan kekuatan politik, situasi sosial ekonomi dan lainnya.[6]
Di samping itu dalam buku Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia yang ditulis oleh Drs.C.S.T.Kansit, S.H. Menjelaskan bahwa sumber hukum materil dapat ditinjau dari berbagai sudut, misalnya dari sudut ekonomi, sejarah, sosiologi, filsafat dan sebagainya. Contoh: seorang ahli ekonomi akan mengatakan, bahwa kebutuhan-kebutuhan ekonomi dalam masyarakat itulah yang menyebabkan timbulnya hukum.[7]
Menurut Tap. MPRS No. XX/MPRS/1996 tentang Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia, yang menjadi yang menjadi sumber hukum materil Indonesia adalah Pancasila. Artinya, bahwa “Pancasila” merupakan sumber tertib hukum dalam arti sumber dari segala sumber hukum, hal ini mengandung pengertian bahwa Pancasila merupakan pandangan hidup, kesadaran dan cita-cita hukum serta cita-cita mengenai kemerdekaan individu, kemerdekaan bangsa, perikemanusiaan, keadilan sosial, perdamaian nasional dan modial, cita-cita mengenai sifat, bentuk dan tujuan negara, cita-cita moral yang meliputi suasana kejiwaan serta watak dari rakyat negara Indonesia.
Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum juga mengandung pengertian, bahwa semua sumber hukum yang berlaku di Indonesia (baik formal maupun materil) seluruhnya bersumber pada Pancasila.Menurut Tap. MPRS No. XX/MPRS/1996, pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum mewujudkan dirinya dalam: Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Dekrit Presiden 5 Juli 1959, UUD Proklamasi dan Supersemar 11 Maret 1966.
Di dalam sistem norma hukum negara Indonesia Pancasila merupakan norma fundamental hukum yang merupakan norma hukum yang tinggi, yang kemudian berturut-turut diikuti oleh norma hukum dibawahnya.[8]
Ada beberapa alasan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum dalam arti materil:
1. Pancasila merupakan isi dari sumber hukum.
2. Pancasila merupakan pandangan hidup dan falsafah negara.
3. Pancasila merupakan jiwa dari setiap peraturan yang dibuat, diberlakukan, segala sesuatu peraturan perundang-undngan atau hukum apapun yang bertentangan dengan jiwa “pancasila” harus dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
2.3. Sumber Formil Hukum Indonesia
Sumber hukum formil adalah sumber hukum secara langsung dapat dibentuk yang akan mengikat masyarakatnya. Atau darimana suatu peraturan memperoleh kekuatan hukum dengan bentuk dan cara yang menyebabkan hukum itu berlaku. Sumber hukum ini juga adalah sumber hukum yang dikenal dalam bentuknya. Karna bentuknya itulah sumber hukum formil diketahui dan ditaati sehingga hukum berlaku umum. Selama belum mempunyai bentuk, suatu hukum baru merupakan cita-cita hukum, oleh karenanya belum mempunyai kekuatan mengikat.[9]
Jadi sumber hukum Formil merupakan ketentuan-ketentuan hukum yang telah mempunyai bentuk formalitas, dengan kata lain sumber hukum yang penting bagi para ahli hukum adalah sumber hukum formil, baru jika memerlukan penentuan asal usul hukum itu, memerhatikan sumber hukum materil.[10]
Dalam buku yang berjudul Pengntar Ilmu Hukum yang ditulis oleh R. Soeroso, S.H. menjelaskan bahwa sumber hukum formil adalah sumber yang dilihat dari cara terjadinya hukum positif merupakan fakta yang menimbulkan hukum yang berlaku yang mengikat hakim dan penduduk. Isinya timbul dari kesadaran rakyat. Agar dapat berupa peraturan tentang tingkah laku harus dituangkan dalam bentuk undang-undang, kebiasaan dan teraktat atau perjanjian antar negara.[11]
Dalam buku Pengantar Ilmu Hukum yang ditulis oleh Sutanto, dkk. Menjelaskan bahwa sumber hukum formil adalah sebagai sumber dari sumber mana suatu perturan hukum memperoleh kekuatan dan sah berlakunya. Sumber hukum formil ini juga merupakan kehendak negara yang bentukkan kedalam undang-undang atau putusan-putusan hakim, sumber hukum formil berkaitan dengan bentuk dan cara yang menyebabkan peraturan hukum secara formil berlaku.[12]
Menurut Philipus M. Hadjon, dalam sumber-sumber hukum dalam arti formil diperhitungkan terutama bentuk tempat hukum itu dibuat menjadi positif oleh instansi pemerintah yang berwenang. Dengan kata lain bentuk wadah suatu badan pemerintah tertentu dapat menciptakan hukum.[13]
Menurut Achmad Sanusi, sumber hukum dalam arti formil adalah sumber-sumber hukum yang telah dirumuskan perturannya dalam suatu bentuk, bedasarkan apa ia berlaku, ia ditaati orang dan mengikat hakim, serata para pejabat hukum.[14]
Sumber hukum formil meliputi: Peraturan Perundang-undangan (aturan hukum), Kebiasaan (costum) dan Adat, Perjanjian antar negara (teraktat/treaty), Keputusan-keputusan hakim (yurisprudensi), dan Pendapat atau pandangan ahli hukum (doktrin).
1. Undang-undag (Statue)
Undang-undang adalah keputusan penguasa yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, diadakan, dan dipelihara oleh pemerintah. Istilah undang-undang disini berbeda dengan istilah undang-undang dalam undang-undang yang disebutkan dalam hukum tata negara Indonesia. Karena undang-undang dalam hukum tata negara Indonesia adalah produk legislatif presiden (pemerintah) bersama-sama Dewan Perwakilan Rakyat. Seperti yang ditetapkan pasal 5 Ayat 1 dan pasal 20 UUD 1945 yang mengikat diadakan dan dipelihara oleh penguasa negara.[15]
Undang-undang disini dalam arti luas atau dalam istilah Belanda disebut wet. Wet dalam hukum tata negara Belanda, di bedakan dalam dua pengertian, yaitu: wet in formelle zin dan wet in materiele zin.[16] Hal yang sama dikemukakan T. J. Buys, bahwa undang-undang mempunyai dua arti antara lain.[17]
Pertama, Undang-undang dalam arti formil adalah setiap keputusan pemerintah yang merupakan undang-undang karena cara pembuatannya (terjadinya). Misalnya, pengertian undang-undang menurut ketentuan UUD 1945 hasil amandemen adalah bentuk peraturan yang dibuat oleh pemerintah bersama-sama DPR.
Kedua, Undang-undang dalam arti materil adalah setiap keputusan pemerintah yang menurut isinya mengikat langsung terhadap masyarakat atau penduduk.
Sumber-sumber hukum formil tersebut adalah UUD 1945, dengan tata urutan peraturan perundang-undangan republik Indonesia meliputi: Undang-undang Dasar (UUD), Ketetapan MPR, Undang-undang (UU) atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu), Peraturan Pemerintah (PP), Penetapan Presiden, Peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya dan Peraturan Daerah (Perda).
a. Undang-Undang Dasar (UUD)
Istilah Undang-Undang Dasar (UUD) merupakan terjemahan istilah Belanda grondwet. Wet mengandung arti undang-undang, sedangkan grond mengandung arti dasar. Dalam kepustakaan Belanda, istilah grondwet disamakan dengan istilah constitutie. Kalo dalam grondwet terdapat geschreven grondwet (UUD tertulis) dan ongeschreven grondwet (UUD tak tertulis), hal ini juga berlaku dalam constitutie. Dengan demikian dalam keputusan Belanda grondwet dan constitutie mempunyai makna sama.
Secara umum istilah UUD diartikan sebagai hukum dasar tertulis, karna disamping UUD ini berlaku juga hukum dasar yang tidak tertulis, yang merupakan sumber hukum, misalnya kebiasaan-keniasaan (konvensi), teraktat dan sebagainya.
Sebagai sumber hukum formal, UUD 1945 memiliki arti: Pertama, merupakan hukum dasar tertulis yang mengatur masalah kenegaraan. Kedua, merupakan hukum dasar bagi pengembangan peraturan, undang-undang atau penetapan-penetapan lainnya mengenai sesuatu khusus yang berkaitan dengan kepentingan negara dan masyarakat harus berintikan pada UUD 1945 atau pasal-pasalnya. Oleh karena itu, jelaslah bahwa UUD 1945 menjadi inti, sumber hukum-hukum lainnya. Dengan kata lain UUD 1945 merupakan bentuk peraturan perundang-undangan yang tertinggi yang memuat ketentuan-ketentuan pokok dan menjadi dasar serta sumber bagi semua peraturan perundang-undangan bawahan dalam negara.
b. Ketetapan MPRS/MPR
Secara umum, ketetapan MPR diartikan sebagai bentuk produk legislatif yang merupakan keputusan musyawarah MPR, yang ditujukan keluar (dari Majelis), yaitu mengatur tentang garis-garis besar dalam bidang legislatif dan eksekutif.
Berdasarkan hal tersebut, maka sebagai sumber hukum, ketetapan MPR berisi antara lain: Peratama, ketatapan MPR yang memuat garis-garis besar dalam bidang legislatif dilaksanakan dengan undang-undang, Kedua, ketetapan MPR yang memuat GBHN dalam bidang eksekutif dilaksanakan dengan keputusan presiden.
Ini berarti, bahwa ketetatapan MPR di satu pihak dapat dilaksanakan dengan keputusan presiden. Apabila kita mempelajarisemua ketetapan MPRS, ternyata ada ketetapan MPR yang isinya mengatur dan ada yang isinya merupakan keputusan.
c. Undang-undang (UU) atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu)
Undang-Undang (UU)
Undang-undang adalah salah satu bentuk perundang-undangan yang diadakan untuk melaksanakan UUD dan ketetapan MPR. Selain itu, juga mengatur hal-hal yang tidak diatur dalam UUD 1945 maupun ketetapan MPR.
Undang-undang merupakan salah satu bentuk produk legislasi. Hal ii dijelaskan dalam UUD 1945 Pasal 20 ayat 1, “DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang”.[18] Selain DPR, Presiden juga punya hak untuk mengajukan RUU kepada DPR.[19] Setiap RUU dibahas oleh DPR dan presiden untuk mendapat persetujuan bersama. Jika suatu RUU tidak mendapat persetujuan bersama, maka RUU tadi tidak boleh dimajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu.[20]
Suatu undang-undang mulai sah berlaku apabila telah diundang-undangkan dalam lembaran negara oleh sekretaris negara, dan tanggal berlakunya undang-undang menurut tanggal ditentukan dalam undang-undag itu.
Sehubungan dengan berlakunya suatu undang-undang, terdapat beberapa asas perundang-undangan:
1) Undang-undang tidak berlaku surut.
2) Undang-undang yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula.
3) Undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan undang-undang yang bersifat umum.
4) Undang-undang yang berlaku kemudian membatalkan undang-undang yang terdahulu yang mengatur hal tertentu yang sama.
5) Undang-undang tak dapat diganggu guagat.[21]
Suatu undang-undang tidak berlaku lagi apabila: Pertama, jangka waktu belakunya yang telah ditentukan oleh UU yang bersangkutan sudah habis, Kedua, keadaan atau hal untuk mana UU itu dibuat sudah tidak ada lagi, Ketiga, UU itu dicabut oleh instansi yang membuat atau instansi yang lebih tinggi, Keempat, telah ada UU yang baru yang isinya bertentangan atau berlainan dengan UU yang dahulu berlaku.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu)
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang dbentuk dalam hal kepentingan memaksa atau karena keadaan yang mendesak. Istilah Perpu dalam Konstitusi RIS dan UUDS 1950 disamakan dengan UU Darurat baik dalam pembentukan maupun dalam kekuatannya. Adapun perbedaannya adalah UU Darurat akan tidak berlaku lagi karena hukum apabila ditolak, sedangkan perpu tidak dengan sendirinya berlaku melinkan dicabut lebih dahulu. Artinya bahwa Perpu masih dapat berlaku terus walupun tidak mendapat persetujuan dari DPRD kalau belum dicabut secara resmi oleh presiden.
Secara substansi keberadaan perpu sederajat dengan UU, oleh karena itu,akibat hukum yang diciptakan juga sama. Meski demikian terdapat perbedaan keduanya dalam beberapa hal yaitu: perpu hanya dibuat oleh presiden saja DPR tidak dilibatkan dalam pembuatan peraturan tersebut dan perpu itu dibuat hanya dalam keadaan genting (negara dalam keadaan darurat). [22]
d. Peraturan Pemerintah (PP)
Pemerintah menetapkan Peraturan pemerintah (PP) untuk menjalankan undang undang sebagaimana mestinya (Pasal 5 Ayat 2 UUD1945). PP ini memuat aturan-aturan yang bersifat umum. Karena peraturan pemerintah diadakan untuk melaksanakan undang-undang, maka tidak mungkin bagi presiden menetapkan peraturan pemerintah sebelum ada undang-undang. Peraturan pemerintah memuat atura-aturan umum untuk mealaksanakan undang-undang.
e. Penetapan Presiden (Penpres), Peraturan Presiden (Perpres) Keputusan Presiden (Kepres), dan Instruksi Presiden (Inpres)
Undang-undang, Perpu, dan PP adalah bentuk peraturan yang disebut dalam UUD 1945. Tetapi Penetapan Presiden (Penpres),Peraturan Presiden (perpres), dan Keputusan Presiden (Kepres) sebagai bentuk peraturan yang baru tidak disebutkan dalm UUD 1945. Dengan kata lain, peraturan perundang-undangan ini tidak mempunyai dasar hukumsecara konstitutional.[23]
f. Peraturan-Peraturan Pelaksanaan Lainnya
Peraturan pelaksanaan lainnya dapat berbentuk peraturan menetri, instruksi menteri, keputusan panglima TNI, dan lain-lainnya yang harus tegas bersumber dan berdasarkan peraturan perundangan yang lebih tinggi.
Peraturan menteri (Permen) adalah suatu peraturan yang dikeluarkan oleh seorng menteri yang berisi ketentuan-ketentuan tentang bidang tugasnya, misalnya peraturan menteri dalam negeri Nomor 10 tahun 1974 tentang tata cara pencalonan, pemilihan, dan pengangkatan kepala daerah.
Selain Permen, dikenal juga Surat Keputusan Menteri (Kepmen), Kepmen adalah keputusan Menteri yang bersifat khusus mengenai masalah tertentu sesuai dengan bidang tugasnya,[24] misalnya Surat Keputusan Menteri Pertahanan Keamanan No. Skep/168/III/2004 tentang pedoman pelaksanaan pelayanan hukum dilingkungan dapertemen keamanan.
g. Peraturan Daerah
Peraturan daerah dibuat oleh DPRD bersama-sama pemerintah daerah (Pemprov, Pemkot/Pemkab). Peraturan daerah adalah peraturan lain yang dibuat oleh pemerintah daerah, baik pemerintah provinsi ataupun pemerintah kabupaten dan kota, dalam rangka mengatur rumah tangganya sendiri, pemda dapat menetapkan perda.
Peraturan daerah isinya tidak boleh bertentangan dengan peraturan pusat, dan apabila bertentangan, maka perda yang bersangkutan dengan sendirinya batal (tidak berlaku).
2. Kebiasaan (Costum)
Kebiasaan adalah perbuatan manusia yang tetap dilakukan berulang-ulang dalam hal yang sama.[25] Apabila kebiasaan tertentu diterima masyarakat dan kebiasaan itu selalu berulang-ulang dilakukan sedemikian rupa, sehingga tindakan yang berlawanan dengannya dianggap sebagai pelanggaran perasaan hukum, dengan begitu timbullah suatu kebiasaan hukum, yang selanjutnya dianggap sebagai hukum.
Dalam buku Pengantar Ilmu Hukum yang ditulis oleh Mudakir Iskandar Syah,SH.MH dijelaskan kebiasaan adalah perbuatan manusia yang dilakukan secara sadar dan berulang-ulang dan dianggap sebagai norma yang ditaati bersama.[26]
Apabila seseorang bertingkah laku tidak menurut norma kebisaan maka dianggap bertentangan dengan hukum dan sebaliknya apabila perbuatan itu sesuai dengan kebiasaan berarti sesuai dengan hukum. Kesadaran masyarakat dalam menggunakan dan mentaati norma yang lahir dari lingkungan masyarakat itu sendiri, merupakan kesadaran yang tanpa harus dilakukan pemaksaan.
Untuk timbulnya hukum kebiasaan diperlukan syarat-syarat tertentu, yaitu:
1) Adanya perbuatan tertentu yang dilakukan berulang-ulang (tetap) dalam lingkungan masyarakat tertentu (bersifat materil).
2) Adanya keyakinan hukum dari masyrakat (opinio juris seu necessitates) ynag bersangkutan bahwa perbuatan itu merupakan sesuatu yang seharusnya dilakukan (bersifat psikologis).[27]
3) Adanya akibat hukum apabila kebiasaan itu dilanggar.[28]
Terjadinya hukum adnya norma yang diakui dari masyarakat, secara konstan. Adat merupakan hukum yang tumbuh, berkembang dan hidup dalam kehidupan masyarakat dan memenuhi kebutuhan masyarakat. Menurut Utrecht,[29] tidak ada melihat perbedaan struktural antara kebiasaan dan adat. Perbedaannya hanya terletak pada asalnya. Adat adalah sebagian kaidah-kaidah yang ada didalam suatu masyarakat tertentu yang berasal dari sesuatu yang agak sakral, yang berhubungan dengan tradisi masyarakat indonesia yang telah turun-temurun. Sedangkan kebiasaan tidak merupakan tradisi, belum menjadi kebudayaan asli. Kebiasaan adalah hasil akulturasi Timur dengan Barat yang belum diresepsi sebagai tradisi.
Pada dasarnya masyarakat adat biasanya lebih mentaati hukum yang tidak tertulis (kebiasaan) atau hukum adat dari pada hukum tertulis dalam arti Undang-Undang, hal ini disebabkan hukum kebiasaan itu timbulnya dari mereka sendiri. Hukum adat ini tanpa harus adanya penegak hukum sebagaimana hukum tertulis, tetapi eksistensinya tidak kalah dengan hukum yang tertulis, bahkan masyarakat adat pada umumnya lebih mentaati hukum adat dari pada hukum tertulis yang dihasilkan oleh lembaga legislatif, karena pelaku pelanggaran terhadap hukum adat akan mendapatkan sanksi moral yng sepanjang masa, sedangkan sanksi dari hukum tertulis mempunyai kurun waktu atau hanya sesaat saja. Sedangkan pada kebiasaan ketatanegaraan di Indonesia misalnya, setiap tanggal 16 Agustus Presiden harus mengucapkan pidato kenegaraan didalam sidang DPR.
3. Perjanjian Antar negara (Teraktat/treaty)
Teraktat adalah perjanjian antara dua negara atau lebih tentang sesuatu yang telah disepakati untuk dijalankan oleh negara yang membuat perjanjian tersebut. Berdasarkan negara yang melakukan perjanjian teraktat terdiri dari: Peratama, teraktat bilateral, yaitu apabila teraktat diadakan antar dua negara. Misalnya, perjanjian internasional yang dilakukan antar pemerintah RI dengan pemerintah RRC tentang “Dwi kewarganegaraan”. Kedua, teraktat multilateral, yaitu perjanjian yang diadakan oleh lebih dari dua negara. Misalnya perjanjian internasional tentang pertahanan bersama negara-negara Eropa (NATO) yang diakui oleh beberapa negara Eropa. Ketiga, teraktat kolektif atau teraktat terbuka, yaitu teraktat multilateral yang memberikan kesempatan kepada negara-negara yang pada permulaan tidak turut mengadakan perjanjian, tetapi kemudian juga menjadi pihaknya. Dalam teraktat ini yang wajib mentaati bukan hanya pihak pembuat perjanjian saja, tetapi ada pihak lain juga yng juga mempunyai kewajiban untuk mentaatinya. Miasalnya Piagam PBB. [30]
Dalam buku Pengantar Ilmu Hukum yang ditulis oleh Mudakir Iskandar Syah,SH.MH menjelaskan bahwa teraktat adalah perjanjian yang dilaksanakan oleh para pihak. Dalam perjanjian mengandung asas Pacta Sunt Servanda artinya perjanjian mengikat para pihak yang mengadakan perjanjian dan wajib untuk mentaati.[31]
Teraktat sebagai bentuk perjanjian antar negara merupakan sumber hukum formil hukum tata negara walaupun ia termasuk dalam hukum internasional, mempunyai kekuatan mengikat bagi negara-negara yang mengadakan perjanjian itu. Isi perjanjian mengikat pihak-pihak yang mengadakan perjanjian atau terkait perjanjian. Perjanjian antarnegara juga dapat merupakan bagian dari hukum tata negara, apabila menyangkut ketatanegaraan dan telah mempunyai kekuatan mengikat. Teraktat yang telah mempunyai kekuatan mengiikat adalah teraktat yang telah diratifikasi oleh pemerintah dari negara yang mengadakan perjanjian.
Menurut E. Utrecht,[32] pembuatan suatu teraktat melauli 4 fase yang berurutan, yaitu:
1) Penetapan (sluiting), yaitu penetapan isi perjanjian oleh utusan (delegasi) pihak-pihak yang bersangkutan dalam konferensi. Hasil penetapan diberi nama konsep teraktat.
2) Persetujuan masing-masing parlemen (DPR) dan pihak yang bersangkutan.hal ini apabila dinegara yang bersangkutan persetujuan parlemen diperlukan supaya kepala negara dapat meratifikasi konsep teraktat.
3) Ratifikasi atau pengasahan oleh masing-masing kepala negara.
4) Pelantkan atau pengumuman.
Mengenai kekuatan hukum teraktat dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) Teraktat sebagai salah satu bentuk perjanjian atau persetujuan mempunyai kekuatan seperti undang-undang, sehingga harus ditaati.
2) Sebagai UU bagi yang membuatnya sehingga dikihat dari kekuatan hukumnya, perjanjian dalam pengertian umum dapat berderajat dengan hukum.
3) Teraktat merupakan sumber hukum formil.
4) Dalam menentukan peraturan dan pergaulan internasional disamping harus mengindahkan ketentuan internasional, suatu negara dalam membuat teraktat harus memerhatikan kepentingan bangsa dan rakyatnya sehingga pembuatannya memerlukan persetujuan wakil rakyat.
Contoh teraktat yang pernah dilakukan bangsa Indonesia adalah tentang status kewarganegaraan keturunan Tiongkok yang dilakukan oleh Menteri Luar Negri Indonesia dan Menteri Luar Negeri Indonesia dan Menteri Luar Negeri RRC.
4. Keputusan Hakim (Yurisprudensi)
Purnadi Purbacaraka, SH dalam bukunya “Perundang-undangan dan Yurisprudensi” menyatakan, istilah yurisprudennsi berasal dari kata yurisprudentia (bahasa latin) yang berarti pengetahuan hukum (rechtsgeleerdheid), kata yurisprudensi sebagai istilah teknisi Indonesia sama artinya dengan kata yurisprudentie dalam bahasa Perancis, yaitu perdilan tetap, kata yurisprudensi dalam bahasa Inggris berarti teori ilmu hukum, sedangkan kata yurisprudensi dalam bahasa jerman berarti ilmu hukum dalam arti sempit (aliran Interenssen, jurisprudenz dan lain-lain.[33]
Jadi yurisprudensi adalah keputusan hakim yang selalu dijadikan pedoman hakim hakim lain dalam memutuskan kasus-kasus yang sama. Seorang hakim dapat memutuskan kasus yang sama dengan kasus yang telah ada sebelumnya dengan melihat keputusan hakim terdahulu. Keputusan hakim yang bisa menjadi sumber hukum adalah keputusan yang memenuhi syarat sebagai yurisprudensi. Menurut doktrin semua keputusan hakim bisa menjadi sumber hukum, namun keputusan hakim yang berdasarkan hukum adat tidak bisa dijadikan sumber hukum.
Hakim mempunyai kekuasaan yang mutlak dalam mengadili dan memeriksa terdakwa, oleh karena itu, hakim wajib memutuskan semua perkara walaupun belum ada hukum yang mengturnya. Sebagaimana dikatakan dalam Undang-undang No. 14 Tahun 1970 tentang pokok-pokok kekuasaa n kehakiman yang diterangkan dalam pasal 14 ayat 1 : “Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih tidak ada hukum atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadili”.[34]
Dilihat dari ketentuan diatas seorang hakim mempunyai beban yang sangat berat yaitu walaupun tidak ada hukum yang mengaturnya tetapi harus bisa memutuskan perkara, oleh karena itukeputusan hakim merupakan sumber hukum. Yurisprudensi bisa dikatakan senbagai sumber hukum harus memenuhi syarat sebagai berikut:
1) Keputusan hakim bersifat umum.
2) Keputusan itu harus berulang-ulang dan dijadikan pedoman hakim yang lain.
3) Keputusan itu mempunyai sifat universal.
5. Pendapat Ahli Hukum (Doktrin)
Doktrin adalah pernyataan atau pendapat para ahli hukum dalam bidang masing-masing. Dalam kenyataannya pendapat para ahli banyak diikuti orang, dan menjadi dasar atau bahkan pertimbangan dalam penetapan hukum, baik oleh para hakim ketika akan memutuskan suatu perkara maupun oleh pembentuk undang-undang. Misalnya dengan mengutip pendapatnya, sehingga putusan pengadilan terasa menjadi lebih berwibawa. Jadi berarti semua pendapat ahli hukum bisa dijadikan sumner hukum, dan tidak jarang para penegak hukum menggunakan pendapat ahli hukum dalam mengartikan berbagai permasalahan hukum. Pendapat ahli hukum yang bisa dijadikan sumber hukum harus memenuhi kriteria sebagai berikut :
1) Didasari dengan ilmu hukum.
2) Bersifat universal.
3) Berdiri diatas keadilan dan kebenaran.
Mahkamah Internasional dalam Piagam Mahkamah Internasional Pasal 38 ayat 1 mengakui, bahwa dalam menimbang dan memutus suatu perselisihan dapat menggunakan beberapa pedoman antara lain: perjanjian-perjanjian internasinoal (International Conventions), kebiasaan-kebiasaan internasional (Internatinal customs), asas-asas hukum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab (The General Principle of Law Recognized by Civilised Nations), keputusan hakim (Judical decisions), dan pendapat-pendapat serjana hukum. [35]
BAB III
PENUTUP
3.1. KESIMPULAN
Sumber Hukum adalah segala sesuatu yang menimbulkan aturan-aturan yang mengikat dan memaksa, sehingga apabila aturan-aturan itu dilanggar akan menimbulkan sanksi yang tegas dan nyata bagi pelanggarnya. sumber hukum dibagi menjadi dua yaitu sumber hukum formil dan sumber hukum materil.
1. Sumber hukum formil merupakan tempat atau sumber dari mana suatu peraturan memperoleh kekuatan hukum. Ini berkaitan dengan bentuk atau cara yang menyebabkan peraturan hukum itu berlaku secara formal. Sumber hukum formil yang langsung diakui Undang-undang yaitu: Undang-undang, kebiasaan dan perjanjian antar negara. Sedangkan Sumber hukum formil yang tidak langsung atas pengakuan Undang-undang yaitu: Yurisprudensi dan Doktrin.
2. Sumber hukum materil merupakan faktor yang membantu pembentukan hukum misalnya hubungan sosial, hubungan kekuatan politik,situasi sosial ekonomi, tradisi (kriminologi, lalu-lintas), perkembangan internasional, keadaan geografis.
3.2. SARAN
Dengan adanya penyusunan Makalah Sumber-Sumber Sistem Hukum Indonesia ini dapat dimanfaatkan oleh teman-teman angota kelompok tiga (III) maupun teman-teman dari kelompok yang lain yang memerlukan, terutama digunakan untuk menunjang pembelajaran Sistem Hukum Indonesia. Dalam arti luas sehingga kita semua bisa mendapatkan hasil yang baik nantinya sesuai dengan yang kita inginkan.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada segenap pihak yang telah membantu dalam penyusunan Makalah Sumber-Sumber Sistem Hukum Indonesia, bidang studi Sistem Hukum Indonesia. Bapak Basir.SHI.MH selaku dosen pembimbing, semua anggota kelompok tiga (III) yang ikut serta dalam penyusunan Makalah Sumber-Sumber Sistem Hukum Indonesia ini, dan teman-teman anggota kelompok yang lain.
Dalam penyusunan Makalah ini penulis menyadari masih banyak kekurangan, baik penyajian materi, kalimat, maka kritik dan saran yang membangun dari semua pihak sangat penulis harapkan guna penyempurnaan penyusunan Makalah dimasa yang akan datang.
Demikianlah dalam penyusunan Makalah Sumber-Sumber Sistem Hukum Indonesia bidang studi Sistem Hukum Indonesia ini yang sangat sederhana dan disusun sehingga bermanfaat bagi kita semua. Amin..
DAFTAR PUSTAKA
Syah, Mudakir Iskandar, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: CV. Sagung Seto, 2008
Tutik, Titik Triwulan, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amendemen UUD 1945, Jakarta: Kencana, 2010
T. Kansit, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1989
Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2011
Sutanto, Pengantar Ilmu Hukum/PTHI, Jakarta: Universitas Terbuka, 2009
[1] C. S. T. Kansit, Pengntar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, hlm. 46
[2] Joenarto, Selayang Pandang tentang Sumber-sumber Hukum Tata Negara Indonesia, hlm. 3
[3] Ibid, hlm. 98
[4] Ibid.
[5] Usep Ranawidjaya dalam Sumbodo Tikok, Hukum Tata Negara, Bandung: Eresca, hlm. 51
[6] Sutanto, 2009, Pengntar Ilmu Hukum/ PTHI, Jakarta: Universitas Terbuka, hlm. 3.4
[7] C. S. T. Kansit, Loc. cit
[8] Maria Farida Indrati S., 1998, Ilmu Perundang-Undangan, Dasar-dasar dan Pembentukannya, Yokyakarta: Kanisius, hlm. 39
[9] E. Utrecht dalam Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengntar Hukum Tata Negara, hlm. 45
[10] Titi Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amendemen UUD 1945, hlm. 41
[11] R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, hlm.119
[12] Susanto, Loc. cit
[13] Philipus M. Hadjon, 1993, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Yokyakarta: Gajah Mada University Press, hlm. 54
[14] Susanto, Ibid, hal. 3.7
[15] Philipus M. Hadjon, Pengantar...Op. cit., hal. 56
[16] Philipus M. Hadjon, “Analisis Terhadap Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,” Makalah, disampaikan hlm. 2
[17] Hartono Hadisapoetra, Pengntar Tata Hukum Indonesia, hlm. 9
[18] Ketentuan ini merupakan hasil amandemen UUD 1945 yang sebelumnya berbunyi, “Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan DPR”.
[19] Pasal 5 Ayat (1) dan Pasal 21 UUD 1945
[20] Pasal 20 Ayat (2) dan (3) UUD 1945
[21] Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekamto, 1979, Perundang-undangan dan Yurisprudensi, Bandung: Alumni, hlm. 15-19
[22] Philipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Aaministrasi..., Op. cit. Hlm 57
[23] K. Wantjik Saleh, Perkembangan Perundang-Undangan di Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, hlm. 16
[24] Philipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi..., Op. cit., hlm. 59
[25] LJ van Apeldorn, Inleiding tot the Studie van het nederlands Recht, terjemahan Oetarid Sadino, Pengantar Ilmu Hukum, hlm. 70
[26] Mudakir Iskandar Syah, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, hlm. 8
[27] LJ van Apeldorn, Inleiding..., Op. cit., hlm. 124-125
[28] Sudikno Mertokusumo dalam Riduan Syahrini, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, hlm. 114
[29] Utrecht dalam ibid., hlm.117
[30] C. S. T. Kansil, Op. cit., hlm. 50-51
[31] Mudakir Iskandar Syah, Pengantar..., Op. cit,. Hlm. 10
[32] Utrecht dalam Hartono Hadisapoetra, Op. cit., hlm. 121
[33] Purnadi Purbacaraka, Perundang-undangan..., Op. cit., hlm 55
[34] Republik Indonesia, Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman, UU Nomor 14 Tahun 1970
No comments:
Post a Comment