MAKALAH FIQIH (QIYAS)
A. Latar Belakang
Sebagai
umat islam, dalam kehidupan sehari-hari ada aturan yang mengatur segala
aktivitas kita. Semua ada batasan-batasan tertentu dan aturan-aturan
menjalankannya. Dan semua aturan dan batasan hukum yang mengatur umat
islam didasarkan pada al Qur’an dan al Hadits.
Tetapi
permasalahannya terletak pada permasalahan manusia yang sangat komplek
dan banyak peristiwa yang terjadi dalam kehidupan tapi tidak ada nashnya
dalam al Qur’an maupun al Hadits.
Dulu
ketika pada masa rosululloh semua permasalahan yang timbul mudah
diatasi dan tidak ada perbedaan pendapat, karena ditanyakan langsung
kepada rosululloh. Tetapi dimasa sekarang, jikalau ada permasalahan yang
timbul bahkan banyak sekali permasalahan yang timbul dan tidak kita
temukan nash hukumnya dalam al Qur’an maupun al Hadits, disini para
ulama’ mencari pendekatan yang sah, yaitu dengan ijtihad. Dan salah satu
ijtihad itu dengan qiyas.
Berangkat
dari sini penulis mengambil tema Qiyas dalam makalah ini, karena
penulis menimbang banyaknya permasalahan yang muncul di masyarakat yang
nashnya tidak ditemukan dalam Qur’an dan Hadits. Dan penulis menganggap
banyak permasalahan yang dapat ditemukan jawabannya dengan cara qiyas.
Disini penulis membahas tentang hal-hal yang berkaitan dengan qiyas.
B. Definisi Qiyas
Qiyas secara bahasa : Pengukuran ( التقدير ) dan Penyamaan (المساواة). Sedangkan menurut istilah adalah
تسوية فرع بأصل في حكم لعلَّة جامعة بينهما
"Menyamakan cabang dengan yang pokok (ashl) di dalam suatu hukum dikarenakan berkumpulnya sebab yang sama antara keduanya."
Qiyas
menurut ulama ushul adalah menerangkan sesuatu yang tidak ada nashnya
dalam Al Qur’an dan hadits dengan cara membandingkan dengan sesuatu yang
ditetapkan hukumnya berdasarkan nash. Mereka juga membuat definisi
lain, Qiyas adalah menyamakan sesuatu yang tidak ada nash hukumnya
dengan sesuatu yang ada nash hukumnya karena adanya persamaan illat
hukum.
Dengan
demikian qiyas itu penerapan hukum analogi terhadap hukum sesuatu yang
serupa karena prinsip persamaan illat akan melahirkan hukum yang sama
pula. Umpamanya hukum meminum khamar, nash hukumnya telah dijelaskan
dalam Al Qur’an yaitu hukumnya haram. Sebagaimana firman Allah Swt:
Hai
orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi,
(berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah Termasuk
perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu
mendapat keberuntungan. (Qs.5:90)
Haramnya
meminum khamr berdasar illat hukumnya adalah memabukan. Maka setiap
minuman yang terdapat di dalamnya illat sama dengan khamar dalam
hukumnya maka minuman tersebut adalah haram.
1. Kelompok
jumhur, mereka menggunakan qiyas sebagai dasar hukum pada hal-hal yang
tidak jelas nashnya baik dalam Al Qur’an, hadits, pendapat shahabt
maupun ijma ulama.
2. Mazhab
Zhahiriyah dan Syiah Imamiyah, mereka sama sekali tidak menggunakan
qiyas. Mazhab Zhahiri tidak mengakui adalanya illat nash dan tidak
berusaha mengetahui sasaran dan tujuan nash termasuk menyingkap
alasan-alasannya guna menetapkan suatu kepastian hukum yang sesuai
dengan illat. Sebaliknya, mereka menetapkan hukum hanya dari teks nash
semata.
3. Kelompok
yang lebih memperluas pemakaian qiyas, yang berusaha berbagai hal
karena persamaan illat. Bahkan dalam kondisi dan masalah tertentu,
kelompok ini menerapkan qiyas sebagai pentakhsih dari keumuman dalil Al
Qur’an dan hadits.
C. Rukun dan Syarat Qiyas
1. Rukun Qiyas
Adapun rukun qiyas atau sesuatu yang harus ada dalam qiyas yaitu :
1) Cabang (الفرع) : yang diqiyaskan (المقيس).
2) Pokok/ashl (الأصل) : yang diqiyaskan kepadanya (المقيس عليه)
3) Hukum (الحكم) :
ماإقتضاه الدليل الشرعي من وجوب،أوتحريم،أوصحة،أوفساد،أوغيرها
"Apa yang menjadi konsekuensi dalil syar'i dari yang wajib atau harom, sah atau rusak, atau yang selainnya."
4) Sebab/'illah (العلة)
المعنى الذي ثثبت بسببه حكم الآصل
"Sebuah makna dimana hukum ashl ditetapkan dengan sebab tersebut."
Ini merupakan empat rukun qiyas, dan qiyas merupakan salah satu dalil yang hukum-hukum syar'i ditetapkan dengannya. Dan sungguh al-Kitab, as-Sunnah dan perkataan sahabat telah menunjukkan dianggapnya qiyas sebagai dalil syar'i. Adapun dalil-dalil dari al-Kitab :
1) Firman Alloh ta'ala :
Allah-lah yang menurunkan kitab dengan (membawa) kebenaran dan (menurunkan) neraca (keadilan). [QS. Asy-Syuuro : 17]
Mizan/timbangan ( الْمِيزان )َ adalah sesuatu yang perkara-perkara ditimbang dengannya dan diqiyaskan dengannya.
2) Firman Alloh ta'ala :
t $yJx. !$tRù&y‰t tA¨rr& 9,ù=yz çn߉‹ÏèœR
"Sebagaimana Kami telah memulai panciptaan pertama begitulah Kami akan mengulanginya" [QS. Al-Anbiya : 104].
Alloh ta'ala menyerupakan
pengulangan penciptaan dengan permulaannya, dan menyerupakan
menghidupkan yang mati dengan menghidupkan bumi, ini adalah qiyas.
Di antara dalil-dalil sunnah :
1) Sabda Nabi shollallohu alaihi wa sallam kepada seorang wanita yang bertanya kepadanya tentang berpuasa untuk ibunya setelah meninggal :
أرأيت لو كان على أمك دين فقضيته أكان يؤدي ذلك عنها؟ قالت نعم قال فصومي عن أمك
"Bagaimana pendapatmu jika ibumu memiliki hutang lalu kamu membayar-nya? Apakah hutang tersebut tertunaikan untuknya?" Dia menjawab : "Ya". Beliau bersabda: "Maka berpuasalah untuk ibumu."
2) Bahwa seorang laki-laki datang kepada Nabi shollallohu alaihi wa sallam lalu ia berkata:
يارسولالله
ولدلي غلام أسودفقال هل لك من إبل؟قال نعم قال ما لونها ؟قال حمر قال هل
فيها من أورق قال نعم فأ ن ذلك ؟قال لعله نزعه عرق ققال فلعل إبنك هذا نزعه
"Wahai
Rosullulloh! Telah dilahirkan untukku seorang anak laki-laki yang
berkulit hitam." Maka Nabi shollallohu alaihi wa sallam berkata: "Apakah
kamu memiliki unta? Ia menjawab: "Ya", Nabi berkata: "Apa saja
warnanya?" Ia menjawab: "Merah", Nabi berkata: "Apakah ada yang berwarna
keabu- abuan?" Ia menjawab: "Ya", Nabi berkata: "Mengapa demikian?" Ia
menjawab: "Mungkin uratnya ada yang salah" Nabi berkata: "Mungkin juga
anakmu ini terjadi kesalahan urat".
Demikian
ini seluruh contoh yang ada dalam kitab dan sunnah sebagai dalil atas
kebenaran qiyas karena di dalamnya ada penganggapan sesuatu sama dengan
yang semisalnya.
2. Syarat-syarat Qiyas :
1) Tidak
bertentangan dengan dalil yang lebih kuat darinya, maka tidak dianggap
qiyas yang bertentangan dengan nash atau ijma' atau perkataan shohabat
jika kita mengatakan bahwa perkataan shohabat adalah hujjah. Dan qiyas
yang bertentangan dengan apa yang telah disebutkan dinamakan sebagai
anggapan yang rusak (فاسد الاعتبار). Contohnya
: dikatakan : bahwa wanita rosyidah (baligh, berakal, dan bisa mengurus
diri sendiri) sah untuk menikahkan dirinya sendiri tanpa wali,
diqiyaskan kepada sahnya ia berjual-beli tanpa wali. Ini adalah qiyas
yang rusak karena menyelisihi nash, yaitu sabda Nabi shollallohu alaihi wa sallam:
لاَ نِكَاح إِلاَّ بِولِي
"Tidak ada nikah kecuali dengan wali."
2) Hukum ashl-nya tsabit (tetap) dengan nash atau ijma'. Jika hukum ashl-nya itu tetap dengan qiyas maka tidak sah mengqiyaskan dengannya, akan tetapi diqiyaskan dengan ashl yang pertama, karena kembali kepada ashl tersebut adalah lebih utama dan juga karena mengqiyaskan cabang kepada cabang lainnya yang dijadikan ashl kadang-kadang tidak shohih. Dan karena mengqiyaskan kepada cabang, kemudian mengqiyaskan cabang kepada ashl; menjadi panjang tanpa ada faidah.
Contohnya
: dikatakan riba berlaku pada jagung diqiyaskan dengan beras, dan
berlaku pada beras diqiyaskan dengan gandum, qiyas yang seperti ini
tidak benar, akan tetapi dikatakan berlaku riba pada jagung diqiyaskan
dengan gandum, agar diqiyaskan kepada ashl yang tetap dengan nash.
3) Pada hukum ashl terdapat 'illah (sebab) yang diketahui, agar memungkinkan untuk dijama' antara ashl dan cabang padanya. Jika hukum ashl-nya adalah perkara yang murni ta'abbudi (peribadatan yang tidak diketahui 'illah-nya), maka tidak sah mengqiyaskan kepadanya.
Contohnya
: dikatakan daging burung unta dapat membatalkan wudhu diqiyaskan
dengan daging unta karena kesamaan burung unta dengan unta, maka
dikatakan qiyas seperti ini adalah tidak benar karena hukum ashl-nya tidak memiliki 'illah yang diketahui, akan tetapi perkara ini adalah murni ta'abbudi berdasarkan pendapat yang masyhur (yakni dalam madzhab al-Imam Ahmad rohimahulloh).
4) 'Illah-nya mencakup makna yang sesuai dengan hukumnya, yang penetapan 'illah tersebut diketahui dengan kaidah-kaidah syar'i, seperti 'illah memabukkan pada khomer.
Jika maknanya merupakan sifat yang paten (tetap) yang tidak ada kesesuaian/hubungan dengan hukumnya, maka tidak sah menentukan 'illah dengannya, seperti hitam dan putih.
Contohnya : Hadits Ibnu Abbas rodhiyallohu anhuma :
bahwa Bariroh diberi pilihan tentang suaminya ketika ia dimerdekakan,
Ibnu Abbas berkata : "suaminya ketika itu adalah seorang budak berkulit
hitam".
Perkataan
beliau "hitam" merupakan sifat yang tetap yang tidak ada hubungannya
dengan hukum, oleh karena itu berlaku hukum memilih bagi seorang budak
wanita jika ia dimerdekakan dalam keadaan memiliki suami seorang budak
walaupun suaminya itu berkulit putih, dan hukum tersebut tidak berlaku
jika ia dimerdekakan dalam keadaan memiliki suami seorang yang merdeka
walaupun suaminya itu berkulit hitam.
5) 'Illah tersebut ada pada cabang sebagaimana 'illah tersebut juga ada dalam ashl, seperti menyakiti orang tua dengan memukul diqiyaskan dengan mengatakan "uf"/"ah". Jika 'illah (pada ashl, pent) tidak terdapat pada cabangnya maka qiyas tersebut tidak sah.
Contohnya : dikatakan 'illah dalam
pengharoman riba pada gandum adalah karena ia ditakar, kemudian
dikatakan berlaku riba pada apel dengan diqiyaskan pada gandum, maka
qiyas seperti ini tidak benar, karena 'illah (pada ashl-nya) tidak terdapat pada cabangnya, yakni apel tidak ditakar.
D. JENIS-JENIS QIYAS
Qiyas terbagi menjadi Qiyas Jali ( جلي ) dan Qiyas Khofi (خفي)
1. Qiyas jali (jelas) adalah : yang tetap 'illahnya dengan nash atau ijma' atau dipastikan dengan menafikan perbedaan antara ashl dan cabangnya. Contoh yang 'illah-nya tetap dengan nash : Mengqiyaskan larangan istijmar (bersuci dengan batu atau yang semisalnya, pent) dengan darah najis yang beku dengan larangan istijmar dengan kotoran hewan, maka 'illah dari hukum ashl-nya tetap dengan nash ketika Ibnu Mas'ud rodhiyallohu anhu datang kepada Nabi shollallohu alaihi wa sallam dengan dua batu dan sebuah kotoran hewan agar beliau beristinja' dengannya, kemudian beliau mengambil dua batu tersebut dan melempar kotoran hewan tersebut dan mengatakan : "Ini kotor ( هذا ركس )", dan ( الركس ) adalah najis (النجس) Contoh yang 'illah-nya tetap dengan ijma' : Nabi shollallohu alaihi wa sallam melarang
seorang qodhi (hakim) memutuskan perkara dalam keadaan marah. Maka
qiyas dilarangnya qodhi yang menahan kencing dari memutuskan perkara,
terhadap larangan qodhi yang sedang marah dari memutuskan perkara
merupakan qiyas jali karena 'illah ashl-nya tetap dengan ijma' yaitu adanya gangguan pikiran dan sibuknya hati. Contoh yang dipastikan 'illah-nya dengan menafikan perbedaan antara ashl dan
cabangnya : Qiyas diharamkannya menghabiskan harta anak yatim dengan
membeli pakaian, terhadap pengharoman menghabiskannya dengan membeli
makanan karena kepastian tidak adanya perbedaan antara keduanya.
2. Qiyas khofi (samar) adalah : yang 'illah-nya tetap dengan istimbath (penggalian hukum) dan tidak dipastikan dengan menafikan perbedaan antara ashl dengan cabang. Contohnya : mengqiyaskan tumbuh-tumbuhan dengan gandum dalam pengharaman riba dengan 'illah sama-sama ditakar, maka penetapan 'illah dengan takaran tidak tetap dengan nash, tidak pula dengan ijma' dan tidak dipastikan dengan menafikan perbedaan antara ashl dan cabangnya. Bahkan memungkinkan untuk dibedakan antara keduanya, yaitu bahwa gandum dimakan berbeda dengan tumbuh-tumbuhan.
QIYAS ASY-SYABH / KEMIRIPAN ( ( قياس الشبه
Di antara Qiyas ada yang dinamakan dengan "Qiyas asy-Syabh" yaitu suatu cabang diragukan antara dua ashl yang berbeda hukumnya, dan pada cabang tersebut terdapat kemiripan dengan masing-masing dari kedua ashl tersebut, maka cabang tersebut digabungkan dengan salah satu dari kedua ashl tersebut yang lebih banyak kemiripannya.
Contohnya : apakah seorang budak bisa memiliki dalam keadaan ia dimiliki dengan diqiyaskan kepada orang merdeka? atau dia tidak bisa memiliki dengan diqiyaskan kepada binatang ternak?
Jika kita memperhatikan dua ashl ini, orang yang merdeka dan binatang ternak, kita dapati bahwa budak diragukan antara keduanya. Dari sisi bahwa ia
adalah seorang manusia yang berakal, ia diberi ganjaran, diberi
siksaan, menikah dan menceraikan, yang ini mirip dengan orang merdeka.
Dari sisi bahwa ia diperjual belikan, digadaikan, diwaqafkan,
dihadiahkan, dijadikan sebagai warisan, tidak ditinggalkan begitu saja,
dijaminkan dengan harga dan bisa digunakan, yang hal ini mirip dengan
binatang ternak. Dan kami telah
mendapatkan bahwa budak dari sisi penggunaan harta lebih mirip dengan binatang ternak maka hukumnya digabungkan dengannya.
Jenis qiyas ini adalah lemah jika tidak ada antara cabang dan ashl-nya 'illah yang sesuai, hanya saja ia memiliki kemiripan dengan ashl-nya dalam kebanyakan hukumnya dengan keadaan diselisihi oleh ashl yang lain.
QIYAS AL-'AKS/ KEBALIKAN (قياس العكس)
Di antara qiyas ada yang dinamakan dengan "Qiyas al-'Aks", yaitu : penetapan lawan hukum ashl untuk cabangnya, karena adanya lawan dari 'illah hukum ashl pada cabang tersebut. Dan mereka (para ulama ahli ushul, pent) memberi contoh dengan sabda Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam :
وفي
بعض احدكم صدقة قالوا يا رسولالله أيأتي احدنا شهوتهويكون له فيهاأجر؟ قال
رأيتم لووضعهافي حرام اكان عليه وزر ؟فذلك إذا وضعها في الحلا لكان له اجر
"Dan pada persetubuhan salah seorang di antara kalian bernilai shodaqoh." Para sahabat berkata : "Wahai Rosululloh, apakah salah seorang dari kami menyalurkan syahwatnya lalu ia mendapat pahala karenanya?" Rosululloh berkata : "Bagaimana menurut kalian jika ia menyalurkannya kepada yang harom, bukankah ia akan mendapat dosa? Demikian pula jika ia menyalurkannya kepada yang halal, maka ia akan mendapat pahala."
Nabi shollallohu alaihi wa sallam menetapkan untuk cabang yaitu persetubuhan yang halal sebagai pembatal hukum ashl yaitu persetubuhan yang haram, karena adanya pembatal 'illah hukum ashl pada cabang tersebut, ditetapkan pahala untuk cabangnya karena ia adalah persetubuhan yang halal, sebagaimana pada ashl-nya ditetapkan dosa karena ia adalah persetubuhan yang haram.
E. Kehujjahan Qiyas
Jumhur
ulama kaum muslimin sepakat bahwa qiyas merupakan hujjah syar’i dan
termasuk sumber hukum yang keempat dari sumber hukum yang lain. Apabila
tidak terdapat hukum dalam suatu masalah baik dengan nash ataupun ijma’
dan yang kemudian ditetapkan hukumnya dengan cara analogi dengan
persamaan illat maka berlakulah hukum qiyas dan selanjutnya menjadi
hukum syar’i.
Diantara ayat Al Qur’an yang dijadikan dalil dasar hukum qiyas adalah firman Allah:
Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan
ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang
sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya. (Qs.4:59)
Ayat
di atas menjadi dasar hukum qiyas, sebab maksud dari ungkapan ‘kembali
kepada Allah dan Rasul’ (dalam masalah khilafiyah), tiada lain adalah
perintah supaya menyelidiki tanda-tanda kecenderungan, apa yang
sesungguhnya yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya. Hal ini dapat
diperoleh dengan mencari illat hukum, yang dinamakan qiyas.
Sementara
diantara dalil sunnah mengenai qiyas ini berdasar pada hadits Muadz ibn
Jabal, yakni ketetapan hukum yang dilakukan oleh Muadz ketika ditanya
oleh Rasulullah Saw, diantaranya ijtihad yang mencakup di dalamnya
qiyas, karena qiyas merupakan salah satu macam ijtihad.
Sedangkan
dalil yang ketiga mengenai qiyas adalah ijma’. Bahwasanya para shahabat
Nabi Saw sering kali mengungkapkan kata ‘qiyas’. Qiyas ini diamalkan
tanpa seorang shahabat pun yang mengingkarinya. Di samping itu,
perbuatan mereka secara ijma’ menunjukkan bahwa qiyas merupakan hujjah
dan waji b diamalkan. Umpamanya, bahwa Abu Bakar ra suatu kali ditanya
tentang ‘kalâlah’ kemudian ia berkata: “Saya katakan (pengertian)
‘kalâlah’ dengan pendapat saya, jika (pendapat saya) benar maka dari
Allah, jika salah maka dari syetan. Yang dimaksud dengan ‘kalâlah’
adalah tidak memiliki seorang bapak maupun anak”. Pendapat ini disebut
dengan qiyas. Karena arti kalâlah sebenarnya pinggiran di jalan,
kemudian (dianalogikan) tidak memiliki bapak dan anak.
Dalil
yang keempat adalah dalil rasional. Pertama, bahwasanya Allah Swt
mensyariatkan hukum tak lain adalah untuk kemaslahatan. Kemaslahatan
manusia merupakan tujuan yang dimaksud dalam menciptakan hukum. Kedua,
bahwa nash baik Al Qur’an maupun hadits jumlahnya terbatas dan final.
Tetapi, permasalahan manusia lainnya tidak terbatas dan tidak pernah
selesai. Mustahil jika nash-nash tadi saja yang menjadi sumber hukum
syara’. Karenanya qiyas merupakan sumber hukum syara’ yang tetap
berjalan dengan munculnya permasalahan-permasalahan yang baru. Yang
kemudian qiyas menyingkap hukum syara’ dengan apa yang terjadi yang
tentunya sesuai dengan syariat dan maslahah.
Daftar Pustaka
1. Abdul Wahhab al-Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh
2. Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh
3. Asy-Syaikh al-'Allamah Muhammad bin Sholeh al-'Utsaimin, Al-Ushul min 'Ilmil Ushul
No comments:
Post a Comment