BAB II
DINAMIKA DAN ELASTISITAS HUKUM ISLAM
A. Pengertian dinamika dan Elastisitas
Dinamika
adalah sesuatu yang mengandung arti, selalu bergerak, berkembang dan
dapat menyesuaikan diri secara memadai terhadap keadaan.
sedangkan elastic yaitu
(kiasan) tidak tetap, perubahan, separti sebuah benda yang dapat yang
dikembalikan kebentuk semula disebut elastis. Benda-benda yang mempunyai
elastisitas atau sifat elastic seperti karet gelang, pegas dan
lain-lain disebut elastic.
B. Pengertian Hukum Islam
Hukum
Islam Merupakan rangkaian dari kata “Hukum” dan kata” Islam”. Kedua
kata itu, secara terpisah, merupakan kata yang digunakan dalam bahasa
Arab dan terdapat dalam Al-Qur’an, juga berlaku dalam bahasa Indonesia.
Secara etimologis, kata hukum berakar pada kata atau huruf ح, ك, م , yang berarti menolak. Dari sinilah terben-tuk kata الحكم , yang berarti menolak kelaliman/penganiayaan. Adapun
secara terminologis, ulama ushul mendefenisikan hukum dengan titah
Allah yang berkenaan dengan perbuatan orang-orang mukallaf, baik berupa
tuntutan, pilihan, maupun larangan. Sedangkan ulama fikih mengartikannya
dengan efek yang dikehendaki oleh titah Allah dari perbuatan manusia,
seperti wajib, haram dan mubagh.
Selain defenisi yang dikemukakan diatas, kata hukum mengandung pengertian yang begitu luas. Tetapi
secara sederhana, hukum adalah “seperangkat peraturan tentang tingkah
laku manusia yang ditetapkan dan diakui oleh satu negara atau kelompok
masyarakat, berlaku dan mengikat untuk seluruh anggotanya.”
Bila Kata “Hukum” Menurut defenisi diatas digabungkan kepada” Islam“ atau “Syara’”, maka hokum islam berarti: “ Seperangkat
Peratuaran Berdasarkan wahyu Allah dan sunah Rasul tentang tingkah laku
manusia Mukalaf yang diakui dan diyakini Meninngkat untuk yang semua
yang Bergama Islam”.
Kata”Seperangkat
Peraturan” Menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan hukum Islam itu
adalah Peraturan yang dirumuskan secara terperinci dan mempunyai kekuatan yang Mengikat.
Kata”
yang berdasarkan wahyu Allah dan Sunah Rasul” menjelaskan bahwa
perangkat peraturan itu digali dari dan berdasarkan kepada wahyu Allah
dan sunah Rasul, atau yang populer dengan sebutan” Syriah”.
Kata”Tentang Tingkah laku manusia Mukalaf” Mengandung arti bahwa hokum Islam itu hanya mengatur tidak lahir dari manusia yang dikenai Hukum. Peraturan
tersebut berlaku dan mempunyai kekuatan terhadap orag-orang yang
menyakini kebenaran wahyu dan sunah rasul itu, yang dimaksud dalam hal
ini adalah umat islam.
Pembicaraan
tentang Dinamika dan Elastisitas Hukum Islam, sesungguhnya, adalah
menyangkut sifat dan atau karakteristik Hukum Islam itu sendiri.
Berdasarkan tela’ahan para ulama ushul dan fuqaha bahwa sifat atau
karakteristik Hukum Islam itu dapat dibedakan kepada dua macam, yaitu;
Hukum-hukum yang bersifat tetap (permanent) dan Hukum-hukum yang
bersifat tidak permanent, berubah dan kondisional.
C. HUKUM-HUKUM YANG TETAP (TETAP)
Hukum-hukum
yang permanen ini merupakan ketentuan hukum yang tidak akan mengalami
perubahan, meskipun terjadi perubahan zaman dan begitu pula tidak
dipengaruhi oleh perbedaan tempat. Hukum-hukum dalam kategori ini
bersifat konstan dan universal dan berlaku untuk semua orang dan semua
tempat.
Menurut Abdullah Nashih Ulwan bahwa ketentuan hukum yang bersifat konstan (permanen) itu ialah tidak menerima pembaharuan dan perkembangan atau perubahan. Masalah ketentuan hukum seperti ini sudah dijelaskan dan ditetapkan oleh nash secara qath’iy dan terperinci. Nash-nash dan ketentuan hukum seperti ini bukan lapangan ijtihâd. Ketentuan-ketentuan syari’at seperti ini, misalnya, menyangkut masalah aqidah, rukun iman, hukum-hukum ibadat, masalah hudud, seperti zina, mencuri, minum khamar, qishas, saksi palsu, sumpah, durhaka kepada orang tua, ketentuan hukum tentang pembagian waris, hukum-hukum tentang pernikahan dan perceraian, hadanah, dan tentang wali nikah.
Atas dasar ini, para ulama ushul seperti dijelaskan oleh Abdullah Nashih ‘Ulwan, telah merumuskan satu kaidah yaitu لااجـتـهـاد مـع الـنـص yang
maksudnya “tidak ada ijtihad dalam masalah-masalah yang sudah ada
nashnya secara jelas. Persyari’atan sejumlah ketentuan hukum secara
konstan, permanen dan universal adalah bukan merupakan titik lemah bagi
syari’at Islam, tetapi justeru akan mewujudkan kemaslahatan bagi manusia
di setiap masa.
Hukum-hukum yang bersifat konstan ini tidak boleh berubah karena perubahan keadaan dan tempat. Sesuatu yang secara qaht’iy (pasti
dan tegas) disebut oleh nash ketentuan hukumnya, maka ia bersifat
konstan, permanen dan universal yang berlaku bagi semua orang dan
tempat. Sebagaimana dijelaskan oleh Umar Syihab bahwa persoalan-persoalan yang telah ditegaskan hukumnya oleh nash (nash yang mengaturnya bersifat qath’iy), umumnya ulama tidak membolehkan penafsiran untuk disesuaikan dengan tuntutan dan perubahan kondisi.
Sebagai contoh dalam Al-qur’an secara tegas telah disebutkan keharaman memakan bangkai, darah, daging babi dan sembelihan tanpa menyebut nama Allah.
“حـرمت عـلـيـكـم الـمـيــتــة والدم ولـحـم الـخـنزيـر ومـا أهـل لـغـيـرالله به..."
Artinya : “Diharamkan bagi kamu memakan bangkai, darah, daging babi dan sembelihan tanpa menyebut nama Allah ...”
Ketentuan hukum yang terdapat dalam ayat ini sudah pasti dan tidak akan mengalami perubahan dengan alasan apapun.
Pertanyaan yang muncul kemudian ialah mengapa ketentuan-ketentuan hukum yang bersifat qath’iy ini
tidak boleh berubah atau tidak mengalami perubahan ? sebagaimana
diketahui bahwa berdasarkan penelitian ulama ushul jika
ketentuan-ketentuan hukum-hukum yang qath’iy itu mengalami perubahan maka akan terjadilah kerusakan dalam kehidupan manusia, karena ia menyangkut persoalan daruri (asasi).
Apa
saja yang bersifat permanen dan konstan yang tidak mengalami perubahan
itu. Para ulama telah menetapkan persoalan-persoalan yang tidak
mengalami perubahan itu ialah
1. Hukum-hukum yang berkaitan dengan aqidah dan seluk beluk yang berkenaan dengan keimanan yang sudah pasti adanya.
2. Hukum-hukum yang berkaitan dengan ibadah mahdah (ibadah murni). Ibadah-ibadah seperti shalat, zakat, puasa, haji dan umrah adalah ibadah-ibadah yang pasti.
3. Hukum-hukum yang berkaitan dengan qishas dan masalah hudud.
B. HUKUM-HUKUM YANG TIDAK TETAP
Dalam pandangan ulama ushul seperti Abdullah Nashih ‘Ulwan bahwa
hukum-hukum yang tidak permanen ini dibedakan kepada dua macam, yaitu
hukum-hukum yang dapat mengalami perubahan dan hukum-hukum yang
dihasilkan lewat ijtihad sebagai akibat dari perkembangan zaman.
Menurut Amir Syarifuddin paling tidak ada tiga bentuk pemahaman terhadap hukum yang dilakukan oleh para ulama ushul. Pertama,
Pemahaman hukum dalam bentuk memberikan penjelasan terhadap nash-nash
yang sudah ada, baik nash al-Qur’an maupun nash as-Sunnah. Langkah
seperti ini di kalangan ulama ushul dikenal dengan istilah ijtihâd bayâni. Pemahaman
seperti ini, dilakukan untuk memberikan penjelasan kepada lafal-lafal
nash dengan berbagai bentuk dan karakternya, kemudian setelah itu baru
mengambil kesimpulan hukum.
Pada aspek ini, substansi atau nilai hukum tidak mengalami perubahan tetapi aspek teknis boleh jadi mengalami pembaharuan. Kedua,
pemahaman hukum dalam bentuk usaha untuk menetapkan hukum baru bagi
kasus yang muncul melalui cara mencari perbandingannya (persamaannya)
dengan ketetapan hukum yang telah ada penjelasannya di dalam nash bagi
kasus tersebut. Contohnya, ialah menetapkan jabatan khalifah setelah wafatnya Nabi. Dalam hal ini dengan cara mengqiyaskan jabatan khalifah kepada jabatan imam shalat berjama’ah yang pernah diserahkan Nabi kepada Abu Bakar. Jalan pikiran sahabat waktu menetapkan jabatan khalifah untuk Abu Bakar ini adalah dengan menggunakan qiyas.
Kemudian ketiga,
ialah pemahaman dalam hal menghadapi masalah baru yang tidak ada
nashnya dan juga tidak dapat mencari perbandingannya dengan apa yang
telah ditetapkan dalam nash. Dengan
kata lain, persoalan-persoalan yang sama sekali tidak ada nashnya.
Terhadap persoalan dalam kategori ketiga ini digunakan pendekatan dengan
menempuh ijtihad dengan ra’yu (الا جــتـهـاد برأي).
Itjihad dengan ra’yu ini ialah menggunakan pendekatan jiwa syari’at sebagai acuan dalam istinbât. Prinsip dasarnya ialah mengedepankan kepentingan umum atau maslahat selalu dijadikan pertimbangan dalam menggunakan ra’yu. Umpamanya,
dalam menetapkan untuk mengumpulkan dan membukukan Al-Qur’an (pada masa
Abu Bakar); menetapkan dewan-dewan, membentuk pasukan tentara tetap,
dan mencetak mata uang pada masa khalifah Umar bin Al-Khatab, menyatukan
bentuk bacaan Al-Qur’an pada masa pemerintahan Usman bin Affan dan
membakar yang lainnya.
Dari
ketiga bentuk pola pemahaman hukum yang telah digambarkan di atas, dua
yang disebutkan terakhir termasuk dalam kategori hukum-hukum yang tidak
permanen atau hukum-hukum yang bersifat ijtihad. Syekh Yusuf Qardawi seorang pakar hukum Islam komtemporer menyebut hukum-hukum yang tidak permanen ini dengan istilah al-Ahkâm al-Mutagayyirah.
Adapun yang dimaksud oleh Yusuf Qardawi dengan
istilah ini ialah hukum-hukum yang menglami perubahan. Perubahan disini
maksudnya ialah hukum-hukum yang mengalami perubahan dengan
perubahannya zaman, keadaan dan tempat. Terjadinya perubahan hukum
karena perubahan dalam masyarakat. Dalam satu kaedah disebutkan sebagai
berikut.
تـغــيـرالـفـتـوى بــتــغــرالأ زمـنــة والأمــكــنــة والأحـوال والأعــراف.
Artinya : Fatwa (hukum) dapat berubah karena perubahan zaman, tempat, keadaan dan adat (‘urf).
Oleh
karena itu, hukum Islam itu bersifat dinamis, berkembang sesuai dengan
perkembangan zaman dan dinamika yang terjadi dalam masyarakat. Dinamika
perubahan dan perkembangan yang terjadi pada hukum Islam itu lebih
disebabkan oleh dua faktor pokok. Kedua faktor pokok itu adalah sebagai
berikut.
1. Perubahan pemahaman atas ‘illat hukum.
Sebagaimana dirumuskan oleh ulama ushul misalnya, Al-Gazali menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan ‘illat itu ialah merupakan pautan hukum atau tambatan hukum dimana syari’ menggantungkan hukum padanya. Atau seperti yang dikemukakan oleh Abdul Gani Al-Bajiqani bahwa yang dimaksud dengan ‘illat itu ialah pautan hukum dimana syari’ menghubungkan ketetapan hukum dengannya. Dengan demikian dapat dipahami bahwa sesungguhnya ‘illat itu
ialah sesautu yang melatarbelakangi atau menjadi sebab adanya suatu
ketetapan hukum. Oleh karena itu, dari sini dirumuskan suatu kaidah yang
berbunyi sebagai berikut :
الـحـكـم يـد ورمـع الــعــلـة وجـوداوعـد مــا
Artinya : Hukum itu akan selalu terkait dengan ada atau tidak adanya ‘illat.
Untuk maksud ini, Abdul Karim Zaidan juga menyebutkan bahwa
Sesungguhnya hukum itu ada karena adanya ‘illat dan ia menjadi tidak ada karena ketiadaan ‘illat
Dalam konteks ini, termasuk juga perubahan pemahaman tentang ‘illat itu sendiri. Artinya berubah ‘illat maka berubah pula hukum. Tidak dapat diingkari bahwa -- dalam kenyataannya
-- hukum Islam itu bersifat dinamis dan berkembangan sesuai dengan
tuntutan perkembangan keadaan, zaman dan tempat. Dengan kata lain,
perkembangan hukum Islam, di samping merupakan tuntutan masyaakat juga tidak lepas dari peran ‘illat sebagai dasar yang melatarbelakanginya.
Banyak ketentuan fiqih mengalami perubahan karena perubahan pemahaman tentang ‘illat. Menurut Alyasa Abubakar perubahan pemahaman tentang ‘illat ini
karena terjadinya perkembangan dan munculnya hal-hal baru dalam
kehidupan umat Islam. Sebagai contoh untuk ini, misalnya zakat hasil
pertanian yang biasa dipahami sebagai ‘illatnya adalah “makanan pokok yang disebut dengan al-Qūt, dapat disimpan lama, dapat ditakar atau ditimbang”. Akan tetapi, sekarang dipopulerkan pendapat baru bahwa ‘illat tersebut ialah apa yang disebut dengan al-namā produktif. Berdasarkan pemahaman ‘illat yang baru ini maka semua tanaman yang produktif wajib dikenakan zakatnya.
2. Perubahan pemahaman atas hukum. Maksudnya ialah ‘illat tetap seperti semula, tetapi maksud tersebut akan tercapai lebih baik sekiranya pemehaman hukum yang didasarkan pada ‘illat itu yang diubah. Alyasa Abubakar menyebutkan
contoh untuk kasus ini ialah pembagian tanah rampasan perang al-Fay di
Irak pada masa pemerintahan Umar Ibn al-Khatab. Adapun ‘illat
pembagiannya, sebagaimana disebutkan oleh ayat itu sendiri, yaitu “agar
harta itu tidak hanya beredar atau dikuasai oleh orang-orang kaya saja”.
Pada
masa Rasulullah kebun-kebun orang-orang Yahudi yang kalah perang
dibagi-bagikan kepada kaum muslim. Akan tetapi, Umar tidak mau membagi
lahan atau tanah pertanian yang ditaklukan setelah selesai perang.
Menurut Umar
pembagian itu akan melahirkan orang-orang kaya baru yang justru
dihindari oleh Al-Qur’an. Tanah tersebut harus menjadi milik negara dan
disewakan kepada penduduk. Hasil sewaan inilah yang dibagi-bagikan
kepada orang-orang yang tidak mampu dan pihak-pihak yang memerlukan
bantuan keuangan dari negara.
Contoh lain, misalnya Umar Ibn al-Khatab tidak memberikan hak Muallaf sebagai
salah satu mustahiq zakat, sebagai disebutkan dalam surat al-Taubah
ayat 60. Umar Ibn al-Khatab beranggapan bahwa sifat Muallaf tidak
berlaku sepanjang hidup, seperti halnya kemiskinan, pemberian zakat
kepada Muallaf pada awal Islam adalah karena Islam masih lemah.
Disamping itu golongan muallaf ini imannya masih lemah dan mereka perlu
dibujuk hatinay agar tetap bertahan dengan keislamannya, atau agar
mereka menahan diri dari melakukan, tindakan kejahatan terhadap
orang-orang Islam. Dengan kata lain, ‘illat pemberian zakat pada
muallaf adalah untuk memperkuat Islam. Ketika keadaan telah berubah maka
memberikan bagian itu tidak valid lagi.
Dengan kata lain, ketika Islam telah kuat maka pemberian zakat kepada muallaf itu tidak perlu lagi. Kebijakan
Umar menghentikan pemberian zakat kepada muallaf itu sesungguhnya
berkaitan dengan perubahan pemahaman Umar tentang muallaf itu sendiri.
Menurut Umar, bahwa pemberian zakat kepada muallaf itu pada mulanya iman
mereka masih lemah, tetapi sekarang karena kondisi Islam telah kuat,
maka pemberian zakat kepada muallaf tidak dilaksanakan lagi. Dua contoh
kasus ijtihâd Umar yang telah dikemukakan di atas, diakui memang
menimbulkan perdebatan dikalangan ulama dan pakar hukum Islam.
Sebagaimana dikemukakan oleh Jalaluddin Rahmat bahwa paling tidak ada 5
(lima) pandangan tentang ijtihad Umar, yaitu ;
1. Ijtihâd Umar memang meninggalkan zahir nash, tetapi berpegang kepada ruhnya atau maqâshid al-ahkâm al-Syarî’ah.
2. Ijtihâd Umar tidak meninggalkan nash, apalagi mengganti atau menghapus ketentuan hukumnya.
3. Ijtihâd Umar berkenaan dengan masalah qath’iyah yang bukan bidang ijtihâd tetapi diperbolehkan khusus untuk Umar.
4. Ijtihâd Umar
telah meninggalkan nash yang sarih, tetapi sebagaimana berlaku bagi
setiap mujtahid, ijtihadnya tetap mendapat satu ganjaran.
5. Ijtihâd Umar memang banyak melanggar nash yang qath’iyah tetapi hal ini terjadi karena kekurangan informasi yang diterimanya untuk persoalan yang bersangkutan.
Bila dihubungkan kelima pandangan ini dengan dua kasus ijtihâd Umar yang telah disebutkan di atas, maka rasanya tidak mungkin Umar mengambil kebijakan atau melakukan ijtihâd dengan meninggalkan nash. Umar Ibn Khatab adalah seorang sahabat terkemuka mustahil akan melanggar atau menentang nash. Dua contoh kasus ijtihâd Umar
yang kontroversial di atas -- tentang perubahan pembagian harta
rampasan perang dan penghentian pemberian zakat untuk muallaf --
sesungguhnya tidak meninggalkan nash tetapi dilatarbelakangi oleh
perubahan pemahaman tentang ‘illat yang menjadi dasar penetapannya, sebab jika tidak demikian apa yang menjadi tujuan pensyari’atan hukum tidak dapat diwujudkan.
Ketika suatu ketentuan hukum tidak dapat dilaksanakan atau direalisasikan dalam kehidupan, maka kita harus melihat kembali ‘illat yang mendasari penetapannya. Artinya, kita harus mengubah dan merumuskan kembali pemahaman ‘illat yang
mendasari penetapan hukum tersebut, dengan melihat konteks perubahan
zaman, keadaan, tempat dan tujuan pensyari’atan hukum itu sendiri.
Sebagaimana halnya terjadi pada ijtihâd Umar yang telah disebutkan di atas.
Inilah yang disebut oleh Mustafa Syalabi dengan istilah berikut ini ;
تــغـيــرالأ حـكام متــبــعـا لــتــغــيـرالمـصالح.
Artinya : Bahwa hukum itu berubah karena mengikuti kepentingan masyarakat.
Pandangan Mustafa Syalabi ini menunjukkan bahwa ‘illat menempati
posisi yang amat penting dalam pembinaan hukum syara’ yang di dalamnya
tercakup apa yang menjadi tujuan hukum tersebut, yaitu untuk merealisir
kemaslahatan manusia. Seperti disebutkan dalam kaidah bahwa, “hukum
bergantung dengan ada dan tidak adanya ‘illat.
Terjadinya perubahan hukum sesungguhnya karena adanya perubahan pemahaman terhadap ‘illat dan perubahan pemahaman ‘illat terkait
dengan perubahan kepentingan yang muncul dalam kehidupan yang dinamis.
Perubahan kepentingan dalam konteks ini adalah menyangkut “kemaslahatan”
yang dihajatkan oleh manusia. Dalam kenyataannya apa yang menjadi
kepentingan manusia tersebut akan selalu mengalami perubahan dan
perkembangan. Dalam hubungan ini Mustafa Syalabi mengatakan sebagai berikut ;
ان
الــتـشـريـع يــســيـر مـع الــمـصـا لح ولـيـس كل مـا فـيـه لازمـا لا
يــتــغـيـروالا لـجـاء مـرة واحـدة احـكلـمـه مـدونـة مـخــتـو مـة
يـخـتـم الـدوام وعـدم الـتـغـيــيـروهـذا ارشــاد مـن الـشـارع الـحـكـيـم
لـولاة الآمـورإلى ان يـلاحـظـوا الاحـوال والـظـروف احـكامـهـم
واقـضـيـتـهــم.
Artinya : Sesungguhnya
tasyri’ itu akan berjalan seiring dengan kepentingan atau kemaslahatan
manusia, dan tidaklah segala sesuatu itu merupakan hal yang permanen,
yang tidak akan mengalami perubahan. Hal ini merupakan petunjuk dari Allah
Yang Maha bijaksana bagi para pemegang urusan (umat), agar mereka
memperhatikan keadaan dan kondisi yang berkaitan dengan hukum-hukum
mereka.
Tentu
saja pandangan Mustafa Syalabi ini tidak berlaku untuk semua ketentuan
hukum. Sebab, sebagaimana dijelaskan oleh Yusuf Qardhawi bahwa ketetapan-ketetapan hukum itu ada dua macam; pertama ketetapan-ketetapan
hukum dalam nash yang sifatnya tidak berubah keadaannya dari semula,
meskipun terjadai perubahan zaman, tempat ataupun ijtihad para pakar
hukum; seperti pengharaman segala yang diharamkan dan sesuatu yang telah
diwajibkan berlakunya hukum hadd bagi pelaku kejahatan ketetapan. Kedua, ketetapan-ketetapan hukum mengalami perubahan sesuai dengan kepentingan dan perubahan masyarakat.
Perubahan hukum dalam kategori ini adalah berkenaan dengan hukum-hukum yang bersifat ijtihâdi dan hukum-hukum yang bersifat ijtihadi ini adalah produk, atau hasil ijtihâd para mujtahid yang terjadi pada setiap kurun waktu dan tempat yang kedudukannya tidak permanen. Produk atau hasil ijtihâd tersebut boleh jadi berupa fatwa-fatwa dari seorang mujtahid (ijtihâd fardi)
atau produk-produk hukum yang dikeluarkan oleh sekelompok ulama dan
atau institusi (lembaga/organisasi) yang dikenal dengan istilah ijtihâd jama’i atau kolektif.
Terhadap produk-produk hukum yang tidak permanent seperti disebutkan di atas, Fathurrahman Djamil menyebutnya sebagai sesuatu yang relatif, tidak mutlaq benar atau dalam ushul fiqh disebut dengan zhanniy. Dan istilah ini di kalangan ulama ushul fiqh merupakan sesuatu yang mendekati kebenaran -- menurut pandangan mujtahid.
Oleh karena itu dari apa yang telah dikemukakan dan dikaitkan dengan penggunaan ‘illat,
maka ternyata bidang ini merupakan bidang garapan yang sangat subur
untuk pengembangan hukum Islam. Pengembangan dan perubahan hukum itu
akan terus terjadi seiring dengan perkembangan masyarakat. Disinilah
letaknya bahwa hukum Islam itu bersifat dinamis, yang setiap sa’at dan
waktu serta tempat akan mengalami penyesuaian-penyesuaian dengan
perkembangan yang dihadapinya.
No comments:
Post a Comment