1. Definisi puasa, pensyariatan dan waktu wajib puasa
Pensyariatan Puasa dalam Islam
Puasa
itu di Fardlukan pada tahun kedua hari Hijrah. Rasulullah wafat sesudah
berpuasa Sembilan hari Ramadhan. Beliau membolehkan bagi orang sakit
dan bagi orang yang dalam perjalanan tidak berpuasa dengan wajib
mengqadlainya di waktu yang lain dan beliau membolehkan wanita yang
sedang mengandung dan yang sedang menyusui anak tidak berpuasa, dengan
memberi fidyah.
Di
antara petunjuk Rasulullah ialah tidak memasuki puasa Ramadhan
melainkan dengan nyata-nyata telah melihat bulan, atau dengan pensaksian
seseorang yang adil, apabila tidak terlihat bulan dan tidak ada
pensaksian tentang telah ada bulan, beliau menyempurnakan bulan Sya’ban
30 hari. Apabila dua saksi mengakui melihat bulan sesudah keluar waktu
hari raya, beliaupun berhari raya dan mengerjakan sembayang hari raya
esok harinya. Beliau menyegerakan berbuka dan beliau berbuka itu sebelum
bersembayang maghrib dengan beberapa biji kurma basah, kalau tidak ada
dengan beberapa biji kurma kering kalau tidak ada dengan beberapa teguk
air.
Beliau
kadang-kadang berpuasa di dalam safarnya dan terkadang-kadang berbuka.
Dan beliau menyuruh para sahabat berbuka apabila mereka telah dekat
kepada musuh. Dan beliau tidak menjangkakan Masafah Safar dalam
membolehkan berbuka itu. Segala yang tersebut dalam kitab-kitab Fiqh
tentang batas Safar yang membolehkan berbuka dan Qashar sembahyang,
adalah dari Ijtihad para Fuqaha. Penduduk Mekkah bersembahyang safar,
yakni qashar dan jama’ di Arafah beserta Nabi, pada hal jaraknya Arafah
dari Makkah, tidak sejarak jangka batas yang diberikan oleh mereka. Para
sahabat membuka puasanya dengan memulai Safar, tidak menunggu lewat
perkampungan . mereka mengkhabarkan bahwa demikian sunnah Nabi.
Pernah
Nabi memasuki waktu shubuh dalam keadaan berjunub. Maka beliaupun mandi
dan berpuasa, sebagaimana pernah beliau mencium isterinya dalam keadaan
berpuasa.
Puasa Wajib
1. Puasa di bulan Ramadhan merupakan salah satu daripada Rukun Islam. Syariat puasa Ramadhan difardhukan kepada umat Muhammad s.a.w. pada tahun ke-2 Hijrah. Makanya, wajiblah ia dilakukan oleh semua orang Islam.
2. Puasa Kifarah.
3. Puasa qadha
4. Puasa Nazar.
2. Syarat wajib dan sah puasa
1. Syarat wajib puasa
a. Islam
Orang kafir tidak berkewajiban berpuasa, karena puasa adalah suatu
ibadah sedangkan orang kafir bukanlah ahli ibadah, karenanya tidak
berkewajiban berpuasa. Kalau orang kafir berpuasa maka puasanya tidak
sah.
b. Berakal
Orang gila tidak wajib berpuasa
c. Baligh
Orang yang sudah berusia 15 tahun (qamariah) atau telah ada
tanda-tanda baligh yang lain, seperti keluar mani bagi laki-laki, atau
keluar darah haid bagi perempuan yang berumur sekurang-kurangnya
sembilan tahun (qamariah). Maka anak-anak tidak wajib berpuasa.
d. Mampu berpuasa
Orang yang lemah karena terlalu tua atau sakit yang dapat membawa
madarat pada dirinya dengan sebab berpuasa, maka tidak diwajibkan
berpuasa baginya.
3. Fardhu dan rukun puasa
Fardhu dan rukun puasa ada dua yaitu :
1. Menahan
segala yang membatalkan puasa mulai dari terbit fajar sampai terbenam
matahari. Firman Allah dalam Surat Al-Baqarah ayat 187 (QS. 2 : 187).
Dalam
puasa hal-hal yang harus ditahan atau dicegah tidak semata-mata makan,
minum dan hubungan seksual, tetapi juga perkataan kotor dan perbuatan
tidak pantas.
2. Niat
Niat adalah tekad kuat (`azam) untuk melakukan sesuatu pekerjaan.
Niat puasa cukup didalam hati tidak perlu diucapkan dengan lisan (Sayid Sabiq, 1992).
4. Syarat sah puasa
a. Islam
b. Mumayyiz
Mumayyiz adalah orang yang sudah tahu membedakan antara suci dan
kotornya sesuatu; mengetahui cara,syarat dan sahnya suatu ibadah.
Termasuk juga dalam hal ini tahu menilai sesuatu itu bernilai atau
tidak.
c. Suci dari haid dan nifas
Perempuan yang sedang haid ataun nifas tidak sah berpuasa. Akan
tetapi, dia diperintahkan untuk mengganti jumlah puasa yang
ditinggalkannya pada bulan yang lain.
d. Dalam waktu yang dibolehkan berpuasa.
5. Hal-hal yang membatalkan puasa dan batasannya.
1. Muntah dengan sengaja
Muntah dengan sengaja itu dapat membatalkan puasa, walaupun tidak ada
yang kembali kedalam perut. Nabi Muhammad saw bersabda: “barang siapa
yang tidak sengaja muntah maka tidak diwajibkan mengqadha puasanya, dan
barang siapa muntah dengan sengaja maka harus mengqadha puasanya”.
2. Mengeluarkan sperma bukan melalui persetubuhan
Mengeluarkan sperma bukan melalui persetbuhan dalam keadaan terjaga
karena onani, bersentuhan, ciuman atau sebab lainnya dengan sengaja.
Adapun keluar sperma karena mimpi tidak membatalkan puasa karena
keluarnya tanpa disengaja.
Menurut
ulama fiqih, kecuali ulama mazhab maliki, orang seperti itu tidak batal
puasanya, sekalipun keluar sperma. Begitu juga halnya dengan keadaan
seseorang yang pikirannya senantiasa terarah kepada perempuan. Tetapi
kalau dia meneruskan hayalannya terhadap perempuan sehingga keluar
sperma, maka batal puasanya.
3. Ragu
Seseorang yang melakukan sesuatu yang membatalkan puasa karena
mengira diperbolehkan, maka batal puasanya, menurut pendapat imam yang
empat dan sebagian ulama fiqih,orang itu wajib mengqodha puasanya
keadaan itu terjadi karena hal-hal berikut:
a. batal puasa orang yang sahur karena ia mengira hari masih malam,padahal fajar sudah terbit.
b. batal puasa orang yang berbuka karena ia mengira hari matahari sudah terbenam,padahal belum.
Bagi orang yang ragu apakah matahari sudah terbit atau belumia boleh
sahur sehingga yakin bahwa matahari sudah terbit.dan orang yang ragu
apakah matahari sudah terbenam apa belum,tidak boleh berbuka sampai ia
yakin bahwa matahari sudah terbenam.
4. Meneruskan makan,setelah makan karena lupa
Batal puasa orang yang makan atau minum dalam keadaan terlupa,karena
mengira perbuatan itu membatalkan puasa,lantas dia meneruskan makan dan
minum dengan sengaja.ulama mazhab hanafi,syafi’I dan ahmad menganggap
orang tersebut wajib mengqodha puasanya.
5. Haid dan nifas
Batal puasa perempuan yang sedang haid atau nifas dan ia di wajibkan mengqodha puasa.
6. Murtad
Menurut ijma ulama,batal puasa siapa saja yang murtad atau keluar
agama islam dia wajib mengqadha puasanya apabila kembali masuk islam.
7. Berubah niat
Niat puasa hendaklah dilakukan secara konsisten,sejak terbit fajar
hingga terbenamnya matahari seandainya seseorang itu berniat membatalkan
puasanya,kemudian memantapkan niatnya itu,maka batal puasanya dan wajib
qadha,
6. Uzur yang memperbolehkan tidak puasa
Pertama, perjalanan.
Dalilnya adalah firman Allah swt:
“….dan
barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka
(wajiblah baginya bershiyam), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu,
pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas
petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur. (QS.
Al-baqarah:185)
Dalam
bahasa arab, safar (perjalanan) artinya kepergian yang memerlukan biaya
serta menempuh jarak tertentu. Tidak ada nash syar’I menganai hal ini,
hanya saja ada isyarat tentangnya, yaitu sabda nabi saw dalam haidt
shahih,
“
wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir tidak boleh melakukan
perjalanan sejauh jarak sehari semalam kecuali bersama mahramnya.” (HR.
Ibnu Huzaimah)
“Tidak (boleh) wanita bepergian di atas 3 (hari) kecuali bersama mahramnya.” (HR Muslim)
“Tidak
boleh wanita bepergian 3 hari lebih kecuali bersama ayahnya, anaknya,
saudara laki-lakinya, suaminya atau mahramnya.” (HR Al-Baihaqi)
Orang
yang sedang safar dan menempuh jarak yang memperbolehkannya shalat
qashar, maka diperbolehkan untuk berbuka pada bulan Ramadhan, sesuai
kesepakatan para ‘ulama, baik dia mampu untuk melakukan shaum ataupun
tidak, dan baik shaumnya itu memberatkan dirinya maupun tidak.
Adapun
jarak yang memperbolehkan seseorang untuk mengqashar shalatnya dan
berbuka, menurut madzhab Maliki, Syafi’i dan Ahmad adalah perjalanan
yang ditempuh dengan unta atau berjalan kaki selama dua hari, misalnya
perjalanan antara Makkah dan Jeddah, atau perjalanan yang berjarak 16 farsakh, yaitu sekitar 48 mil ( 88,7 Km). Dan menurut Imam Abu Hanifah adalah perjalanan yang ditempuh selama tiga hari.
Syaratnya
menurut jumhur adalah perjalanan dimulai sebelum terbit fajar dan tiba
di tempat yang menjadi titik awal bolehnya qashar dalam keadaan telah
meninggalkan rumahnya. Adapun madzhab hanbali membolehkan musafir untuk
tidak berpuasa meskipun dia berangkat dari negrinya pada siang hari,
walaupun kebarangkatannya itu sesudah waktu dzuhur.
Ada
dua syarat lain menurut jumhur ulama, yaitu : perjalanan itu mubah, dan
tidak diniati untuk bermukim selama empat hari. Madzhab maliki
membolehkan tidak berpuasa karena perjalanan dengan empat syarat;
perjalanan itu jaraknya sejauh perjalanan yang membolehkan shalat
qashar, perjalanan itu harus mubah, berangkat sebelum terbit fajar
apabila itu adalah hari petama, dan meniatkan untuk tidak berpuasa pada
malam hari.
Jika
seorang musafir berpuasa, maka sah puasanya dan gugur kewajibannya.
Ulama empat madzhab bersepakat akan hal tersebut. pendapat mereka
berlandaskan pada hadist anas, beliau berkata,
”
dulu kami sering melakukan perjalanan bersama Rasulullah saw, tapi
tidak pernah orang yang berpuasa mencela orang yang tidak berpuasa, juga
tidak pernah terjadi sebaliknya.”
Kedua, sakit.
Yaitu
kondisi yang mengakibatkan berubahnya tabiat menjadi rusak. Kondisi
seperti ini dibolehkan tidak berpuasa, sama seperti perjalanan, dengan
dalil firman Allah swt,“….dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan
(lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya bershiyam), sebanyak hari
yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki
kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah
kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu,
supaya kamu bersyukur. (QS. Al-baqarah:185)
Ukuran
sakit yang membolehkan tidak berpuasa adalah sakit yang mendatangkan
kesukaran berat bagi penderitanya, atau dikhawatirkan akan mati jika
berpuasa, atau dikhawatirkan penyakitnya tambah berat atau lambat
sembuhnya disebabkan berpuasa. Jika si sakit tidak terancam bahaya
apapun jika berpuasa (seperti penderita kudis, sakit gigi, linu di jari
jemari, bisul dan sejenisnya) dia tidak boleh meninggalkan puasa.
Jika
ada dugaan kuat akan terjadi kebinasaan lantaran berpuasa, atau terjadi
mudarat yang berat (misalnya disfungsi salah satu indra), maka wajib
meninggalkan puasa.
Menurut
maadzhab maliki orang sakit memiliki empat keadaan, yaitu sebagai
berikut: pertama, sama sekali tidak mampu berpuasa atau khawatir
menyebabkan kematian atau khawatir lemah tubuhnya. Dalam kedaan ini
boleh meninggalkan puasa. Kedua, mampu berpuasa namun dengan kondisi
berat. dalam kedaan ini diperbolehkan meninggalkan puasa. Ketiga, mampu
berpuasa namun dengan sukar serta khawatir sakitnya bertambah parah.
Dalam keadaan ini wajib tidak berpuasa. Keempat, puasa tidak berat dan
dengannya tidak khawatir bertambah parah sakitnya. Dalam kedaan ini
tidak boleh meninggalkan puasa.
Para
ulama bersepakat bahwa orang sakit maupun musafir tidak sah berpuasa
sunnah pada bulan ramadhan. Begitu juga menegrjakan puasa wajib lainnya
di bulan ramadhan.
Orang
sakit dan musafir menurut madzhab syafi’I harus membayar kafarah
disamping mengqadha puasa apabila telah datang bulan ramadhan
berikutnya, sementara belum mengqadhanya. Kafaratnya adalah memberi
makan sebanyak satu mud untuk setiap harinya dari jenis makanan pokok
yang berlaku secara umum di negrinya.
Ketiga, hamil dan menyusui.
Wanita
hamil dan menyusui boleh meninggalkan puasa jika khawatir atas dirinya
atau anaknya mendapat mudarat, dan kekhawatiran tersebut berupa lemahnya
kecerdasan, mati atau sakit. Kekhwatiran tersebut ditentukan dengan
praduga kuat dengan berlandasakan pada pengalaman sebelumnya atau dengan
landasan informasi seorang dokter muslim yang kredibel dan terpercaya.
Dalil
bolehnya tidak berpuasa bagi dua wanita tersebut adalah qiyas kepada
orang sakit dan musafir, juga berdasakan sabda nabi saw,
“
sesungguhnya Allah azza wa jalla telah menggugurkan kewajiban puasa dan
separuh shalat dari pundak musafir, dan menggugurkan puasa dari pundak
wanita yang hamil dan wanita yang menyusui.” (H.R.Ahmad)
Apabila
wanita hamil dan menyusui khawatir akan keselamatan jiwa mereka, atau
beserta anak-anak mereka sendiri, maka diperbolehkan bagi mereka untuk
berbuka. Namun wajib untuk mengqadha’ shaum yang ditinggalkannya dan
tidak diwajibkan membayar fidyah, seperti halnya orang sakit yang
diperbolehkan berbuka. (Al-Mughni, 3/139, Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah
lil Buhuts Al-‘Ilmiyyah wa Al-Ifta’,10/220,161)
Dan
jika mereka hanya mengkhawatirkan keselamatan anak-anaknya saja, bukan
keselamatan jiwa mereka sendiri, maka diperbolehkan berbuka, dan
diwajibkan untuk mengqadha’ shaum yang ditinggalkannya, ditambah dengan
membayar fidyah shaum yang ditinggalkannya, karena sebenarnya mereka mampu untuk melaksanakan shaum. (Al-Mughni, 3/139, Majmu’ Fatawa,25/218)
Namun
Ibnu Abbas RA dan Ibnu Umar RA berpendapat bahwa wanita hamil dan
menyusui jika meninggalkan shaum cukup baginya untuk membayar fidyah,
tidak perlu untuk mengqadha shaum yang ditinggalkannya.
Dari
Imam Malik, dari Nafi’, bahwa Ibnu ‘Umar RA ditanya tentang wanita
hamil bila khawatir terhadap (kesehatan) anaknya. Dia menjawab, “Dia
berbuka dan memberi makan kepada satu orang miskin setiap hari sebanyak
satu mud gandum.” Dan Ad-Daroquthni meriwayatkan (1/207) dari Ibnu Umar
RA dan dia menshahihkannya, ia berkata, “Wanita hamil dan menyusui boleh
berbuka dan tidak wajib mengqhada.’ Dan dia meriwayatkan dari jalur
yang lain, “Bahwasanya istrinya bertanya kepadanya disaat dia sedang
hamil, ia berkata, “Berbukalah dan berilah makan kepada seorang miskin
setiap hari dan dia tidak wajib mengqhada.” Dan isnadnya jayyid (baik).
Dan dari jalur ketiga, darinya, “Sesungguhnya anak perempuannya dinikahi
oleh seseorang dari kaum Quraisy, dan dia sedang mengandung. Lalu dia
merasa kehausan di bulan Ramadhan. Maka dia menyuruhnya berbuka, dan
memberi makan satu orang miskin setiap hari.”
Sedangkan ukuran fidyah adalah satu mud gandum, yang sepadan dengan ¼ sha’ atau 675 gram bahan makanan lain.
Kelima, usia lanjut.
Allah SWT berfirman:
“…dan wajib bagi orang yang berat menjalankannya (tidak shaum) untuk membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin…” ( QS. Al Baqarah: 184 )
Ibnu ‘Abbas RA berkata, “Ayat ini merupakan rukhshah (keringanan)
bagi laki-laki atau wanita tua renta yang apabila tidak sanggup
menjalankan shaum, diperbolehkan bagi mereka untuk berbuka dan setiap
harinya memberi makan seorang miskin sebagai ganti satu hari shaumnya.”
(Lihat shahih Bukhari, no. 4505, Tafsir Ath-Thabari, 2/79)
Para
ulama ber’ijma bahwa orang tua renta, yang tidak mampu berpuasa
sepanjang tahun, boleh tidak berpuasa. Dan tidak wajib mengqadha karena
tidak memiliki kemampuan. Diwajibkan atasnya hanya membayar fidyah
berupa memberi makan orang miskin setiap hari.
Keenam, rasa lapar dan haus yang luar biasa.
Boleh
tidak berpuasa (tapi wajib mengqadha) bagi orang yang mengalami rasa
lapar atau haus yang amat sangat, dengannya dikhwatirkan menyebabkan
kematian, menurun kecerdasannya, atau salah satu indranya tidak
berfungsi dengan baik, sehingga dengan kondisi tersebut tidak mampu
berpuasa. Jika dikhawtirkan menyebabkan kematian lantaran berpuasa, maka
haram mengerjakan puasa. Berdasakan firman Allah,
“ … dan
janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan dan
berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
berbuat baik.” (QS. Al-baqarah:195)
Ketujuh, pemaksaan.
Boleh
tidak berpuasa bagi orang yang dipaksa orang lain, namun harus
mengqadha puasanya menurut jumhur ulama. Sedangkan menurut madzhab
syafi’I puasa orang yang dipaksa tidak batal. Dan Apabila seorang wanita
disetubuhi secara paksa atau dalam kedaan tertidur, maka dia harus
mengqadha puasanya.
Inilah
penjelasan udzur syar’I yang membolehkan bagi orang yang mengalaminya
untuk tidak berpuasa. adapun haidh, nifas dan gila yang menimpa kepada
orang yang sedang bepuasa membolehkan untuk menghentikan puasanya;
kondisi tersebut justru membuat puasanya tidak wajib, dan bahkan tidak
sah. Wallahu a’lam.
7. Sunnah-Sunnah Puasa
Orang-orang yang berpuasa dusunnahkan antara lain :
1. Menyegarkan berbuka.
2. Berbuka dengan kurma atau minum air.
3. Berdoa seusai berbuka.
4. Makan sahur.
5. Mengakhirkan makan sahur.
8. Hal-Hal yang Dimakruhkan
1. Mencicipi makanan yang tidak diperlukan.
2. Berlebihan didalam berkumur.
3. Mencium dan bersentuhan dengan lawan jenis yang menimbulkan nafsu birahi.
9. Fidyah puasa wajib
Mereka yang wajib membayar fidyah kerana meninggalkan puasa ialah:
1.
Orang yang meninggalkan puasa ramadan dengan sebab uzur dan dia ada
masa mengqada’nya dan dia tidak mengqada’nya sehinga dia mati maka wajib
walinya mengeluarkan tiap-tiap satu hari satu cupak makanan yang
diambil dari harta peningalannya. Ahli keluarga (wali) boleh
mengqada’kan puasanya sekiranya mereka mau dan tak perlu mengeluarkan
fidyah.
Sekiranya
orang yang mati tidak mengqada’ puasanya dan telah masuk ramadan yang
lain maka wajib dua fidyah, satu fidyah puasa yang tak dapat diqada’nya
kerana dia sudah mati, dan satu fidyah melangkau qada’nya pada ramadan
yang lain, begitulah seterusnya jika puasa yang tidak diqada’ melangkau
dua tahun, tiga tahun, hukum ini berbeda dengan orang yang hidup. Ahli
keluarga orang yang mati boleh mengqada’kan puasa orang yang mati
sekiranya mereka mau dan hanya perlu mengeluarkan satu fidyah sekiranya
puasa yang tidak diqada’ telah diselang oleh satu ramadan.
2.
Orang yang meninggalkan puasa ramadan dengan tiada uzur dan tidak ada
masa mengqada’kannya sebelum dia mati, maka wajib atas walinya membayar
fidyah makanan untuk tiap-tiap hari yang ditingalkannya. Ahli keluarga
orang yang mati boleh mengqada’kan puasa orang yang mati sekiranya
mereka mau dan tak perlu mengeluarkan fidyah.
3.
Orang yang ada puasa nazar dan dia ada masa memperbuatnya tetapi dia
tidak puasa sehinga dia mati, maka wajib mengeluarkan makanan bagi
tiap-tiap satu hari puasa yang dinazarnya. Fidyah itu hendaklah diambil
dari harta peningalannya. Ahli keluarga orang yang mati boleh berpuasa
bagi pihak orang yang mati sekiranya mereka mau dan tak perlu
mengeluarkan fidyah.
4.
Orang yang ada puasa kafarah sama ada kafarah jimak dalam bulan
ramadan, kafarah zihar, kafarah sumpah, atau kafarah bunuh, sedangkan
dia ada waktu mengerjakan puasa itu tetapi dia tidak berpuasa sehinga
dia mati, maka wajib dikeluarkan setiap puasanya itu satu makanan yang
diambil dari harta peningalannya. Ahli keluarga orang yang mati boleh
berpuasa bagi pihak si mati sekiranya mereka mau dan tak perlu
mengeluarkan fidyah.
5.
Orang yang melewatkan qada’ puasanya sehinga masuk ramadan yang lain,
wajib keatasnya mengqada’ puasanya dan mengeluarkan fidyah iaitu secupak
makanan bagi tiap-tiap hari yang dilewatkan itu, sekiranya yang
dilewatkan itu dua tahun, maka dua cupak, jika yang dilewatkan itu tiga
tahun maka tiga cupak begitulah seterusnya.
Orang
yang melewatkan qada’ puasanya sehingga masuk ramadhan yang lain hanya
wajib mengqada’kan puasanya sehari juga bagi tiap hari yang ditingalkan,
dan tidak perlu dia menggandakan qada’nya hanya yang diganda bilangan
cupak yakni bilangan fidyah.
6.
Perempuan yang hamil yang meninggalkan puasa ramadan sebab takut
mudarat anak dalam perut sedang tadak takut mudarat dirinya. Dia wajib
mengeluarkan fidyah dan wajib qada’.
7.
Perempuan meninggalkan puasa ramadan sebab takut mudarat anak dengan
sebab kurang susu tetapi tidak takut mudarat dirinya. Dia wajib
mengeluarkan fidyah dan wajib qada’
8.
Orang yang terlalu tua, wajib membayar fidyah sahaja dan tidak wajib
mengqada’ puasanya, sekalipun kemudian dari itu dia boleh berpuasa.
9.
Orang sakit yang tidak ada harapan sembuh wajib membayar fidyah saja
dan tidak wajib mengqada’ puasanya, sekalipun kemudian dari itu dia
boleh berpuasa.
10.
Orang yang berbuka puasa ramadan kerana menolong orang yang dalam
bahaya seperti hampir tenggelam di air atau lainnya maka dia wajib qada’
serta fidyah.
10. Yang mewajibkan kafarat puasa
Bersetubuh dengan sengaja
Barang
siapa yang melakukan persetubuhan pada siang hari pada bulan Ramadhan
sedangkan dia berpuasa dilakukan baik dari depan atau belakang.apakah
keluar sperma atau tidak,maka wajib atasnya qadha dan membayar kafarat.
Menurut
pendapat imam syafi’i,kafarat dikenakan atas orang yang menyetubuhi
saja,sedangkan orang yang di setubuhi tidak di kenakan kafarat.
Ulama
mazhab hanafi berpendapat kafarat juga diwajibkan kepada si istri
seandainya persetubuhan itu dilakukan atas ke inginannya.seandainya ia
di paksa,dia tidak diwajibkan kafarat.pendapat ini sama dengan
pendapat pengikut mazhab maliki.
Ulama
mazhab hambali berpendapat wajib atas si istri membayar kafarat
seandainya persetubuhan tersebut dilakukan dengan
keinginannya.seandainya si istri di paksa melakukan
persetubuhan,sebagian ulama mewajibkannya membayar kafarat.sedangkan
sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa si istri tidak wajib kafarat.
Ia hanya wajib qadha ini merupakan kata sepakat sebagian besar
ulama.demikian juga halnya jika si istri sedang nyenyak tidur lalu di
setubuhi oleh suaminya,maka wajib si istri mengqadha puasanya dan tidak
wajib kafarat.
11. Jenis kafarat
a.kafarat sumpah
1. Kafarat atau Tebusan Atas Sumpah
Oleh: Imam Ahmad ibn Hanbal Al-Syaibaniy
Kafarat
atas sumpah adalah memberi makan sepuluh orang miskin dengan makanan
yang bisa kita makan atau memberi pakaian/sandang, atau membebaskan
seorang budak, atau berpuasa 3 hari.
Keempat
jenis kafarat atas sumpah tersebut merupakan alternatif, setiap
pelanggar sumpah boleh memilih salah satu dari empat jenis kafarat
tersebut. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW: “Siapa yang
bersumpah untuk melakukan sesuatu, kemudian ia melihat ada hal lain yang
lebih baik daripadanya, maka tebuslah sumpah itu dengan sesuatu lalu
kerjakanlah hal yang ia pandang lebih baik tadi.”
Ungkapan
“dan tebuslah lalu kerjakanlah hal yang lebih baik tadi”, sah atau
cukup bila menebus sumpahnya dengan pakaian yang bisa digunakan untuk
shalat –untuk laki-laki dengan gamis, untuk perempuan jubah panjang
(Indonesia: daster panjang) dan kerudung lebar. Tebusannya juga sah
dengan memberi makan 5 orang miskin ditambah pakaian untuk 5 orang.
Namun, jika sumpah ditebus dengan membebaskan budak ½ harga dan ditambah
makanan atau pakaian untuk 5 orang, maka tidak cukup/sah. Dan bagi
budak, tidak ada tebusan sumpah kecuali dengan puasa 3 hari.
Tebusan dengan Puasa
Tebusan
dengan puasa adalah untuk orang yang tidak memiliki kelebihan harta
apapun atas pembiayaan kebutuhan hidup diri, keluarga, dan
hutang-hutangnya. Orang yang demikian, tidak dituntut untuk menjual
barang-barangnya, seperti rumah, pembantu, perabot rumah, kitab-kitab,
perkakas rumahnya, dan lain-lain. Dan siapa yang dimudahkan untuk
menebus sumpahnya dengan berpuasa, maka tidak perlu ia berpindah ke
alternatif tebusan/kafarat yang lainnya.
Jika
sesorang ketika akan menebus/membayar kafarat atas sumpahnya dengan
makanan atau pakaian, akan tetapi tidak mendapati orang miskin kecuali
satu orang saja, maka berikan kepadanya secara berulang selama 10 hari
2. Kafarat nazar
Untuk kafarat nadzar sama seperti kafarat sumpah
3. Kafarat pembunuhan
Fukaha
sepakat bahwa kafarat membunuh sesama muslim dengan tidak sengaja ialah
memerdekakan budak muslim, pelaku pembunuhan wajib puasa dua bulan
berturut-turut, sesuai dengan firman Allah Swt: “…dan barang siapa
membunuh muslim karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang
hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang yang diseragkan
kepada keluarganya(si terbunuh) …barang siapa yang tidak memperolehnya,
maka hendak ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut…”
(QS.4:92).
Jumhur
ulama yang terdiri dari ulama Mazhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali
memandang bahwa kafarat itu hanya berlaku kepada orang yang melakukan
pembunuhan dengan tidak sengaja, sesuai dengan kandungan ayat diatas.
Akan tetapi, ulama Mazhab Syafi’i mewajibkan juga atas orang yang
melakukan pembunuhan dengan sengaja. Alasan mereka ialah bahwa tujuan
disyariatkan kafarat ialah untuk menghapus dosa; dosa membunuh dengan
sengaja lebih besar dari pada dosa membunuh dengan tidak sengaja. Oleh
sebab itu, pembunuhan dengan sengaja lebih pantas untuk dikenai kafarat
daripada yang melakukannya dengan tidak sengaja, demi menghapuskan dosa
yang lebih besar dan berat itu. Alasan lain yang mereka kemukakan ialah
Sabda Nabi Saw yang diriwayatkan dari Wasilah al-Asqa yang artinya:
“Nabi Saw telah mendatangi kami sehubungan dengan sahabat kami yang
mesti masuk neraka karena membunuh. Nabi Saww bersabda: ‘merdekakanlah
budak untuknya, niscaya Allah membebaskan segenap anggota tubuhnya dari
api neraka.” (HR. Abu Dawud, Ahmad bin Hanbal, an-Nasa’I, Ibnu Hibban,
dan al-Hakim).
4. Zihar. (Seorang suami yang menyerupakan istrinya dengan ibunya)
Haram
bercampur dengan istrinya tersebut sampai ia mebayar kafarat atas
ucapannya itu. Bentuk kewajiban kafarat zihar adalah wajib murattab
menurut tertib berikut: (1) memerdekakan budak; (2) kalu tidak diperoleh
budak, puasa dua bulan berturut-turut; (3) kalau tidak sanggup
berpuasa, wajib baginya memberi makan enam puluh orang miskin.
Kafarat
tersebut dijelaskan dalan Al-Quran yang artinya: “Orang-orang yang
men-zihar istri mereka, kemudian hendak menarik kembali apa yang mereka
ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua
suami istri itu bercampur …barang siapa yang tidak mendapatkan (budak),
maka (wajib atasnya) memberimakan enam puluh orang miskin …”(QS.58:3-4).
5.Kafarat berjima’ di bulan ramadhan
Dalil
oleh Bukhori dan Muslim dari hadits Abu Hurairoh ra. berkata, ”Disaat
kami duduk-duduk bersama Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam Datang
seoang laki-laki kepada Nabi saw dan berkata, ‘Aku telah binasa wahai
Rasulullah!’ Nabi menjawab, ’Apa yang mencelakakanmu?’ Orang itu
berkata, ’Aku menyetubuhi isteriku di bulan Ramadhan.’ Nabi bertanya,
’Adakah kamu memiliki sesuatu untuk memerdekakan budak?’ Orang itu
menjawab, ’Tidak.’ Nabi bertanya lagi, ’Sanggupkah kamu berpuasa dua
bulan terus-menerus?’ Orang itu menjawab, ’Tidak,’ Nabi bertanya,
’Apakah kamu memiliki sesuatu untuk memberikan makan enam puluh orang
miskin?’ Orang itu menjawab, ’Tidak.’ Kemudian Nabi terdiam beberapa
saat hingga didatangkan kepada Nabi sekeranjang berisi kurma dan
berkata, ‘Nah sedekahkanlah ini.’ Orang itu berkata, ‘Adakah orang yang
lebih miskin daripada kami? Maka tidak ada tempat di antara dua batu
hitam penghuni rumah yang lebih miskin dari kami.” Dan Nabi pun tertawa
hingga terlihat gigi gerahamnya kemudian berkata, ’Pergilah dan
berikanlah kepada keluargamu.’”
Dalil
didalam hadits ini adalah bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak
memerintahkannya agar menyuruh istrinya untuk membayarkan kafarat juga.
Sebagaimana diketahui bahwa mengakhirkan penjelasan diluar waktu yang
dibutuhkan tidaklah dibolehkan maka hadits itu menunjukkan tidak ada
kafarat terhadap istri.
Yang
paling tepat pengetahuan tentang ini ada pada Allah swt bahwa tidak
wajib kafarat atasnya (istri) akan tetapi diwajibkan atasnya qadha saja
karena puasanya telah batal dengan berjima.
6.Kafarat meng ila’ istri
Sama dengan kafarat sumpah,karena ila’ itu adalah bersumpah untuk tidak menggauli istri
7.Denda dalam haji
Denda
atau tebusan bagi mereka yang menunaikan haji atau umrah tetapi
melakukan pelanggaran ketentuan atau peraturan yang telah ditetapkan.
Pelanggaran itu misalnya melakukan larangan – larangan Ihram atau tidak
dapat menyempurnakan wajib haji seperti mabit di Mina atau Muzdalifah.
Para Ulama tela sepakat bahwa seseorang yang menunaikan ibadah haji akan
dikenakan Dam apabila melakukan antara lain pelanggaran – pelanggaran
sebagai berikut :
- Melakukan Haji Qiran atau Tamattu.
- Tidak Ihram dari Miqat
- Tidak Mabit I di Muzdalifah
- Tidak Mabit II di Mina
- Tidak melontar Jumrah
- Tidak melakukan Tawaf Wada
12. Gugurnya kafarat
Barangsiapa
yang telah wajib membayar kafarat, namun tidak mampu membebaskan
seorang budak atau pun berpuasa (dua bulan berturut-turut) dan juga
tidak mampu memberi makan (enam puluh orang miskin), maka gugurlah
kewajibannya membayar kafarat tersebut, kerana tidak ada beban syari'at
kecuali jika ada kemampuan. Allah berfirman:
“Allah tidak membebani jiwa kecuali mengikut kemampuannya.” (al-Baqarah, 2: 286)
Dan
dengan dalil Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam menggugurkan
kafarat dari orang tersebut, ketika mengkhabarkan kesulitannya dan
memberinya satu wadah kurma untuk diberikan kepada keluarganya.
No comments:
Post a Comment