1. Latar Belakang
Bagansiapiapi yang selama ini jarang didengar dari sebagian besar masyarakat Indonesia ,ternyata pada zaman hindia belanda sangat terkenal dan menjadi salah satu penghasil ikan nomor 2. Setelah kemerdekaan Republik Indonesia diproklamirkan, wilayah kewedanaan Bagansiapiapi yang meliputi Kubu, Bangko dan Tanah Putih, digabungkan ke dalam Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau. Selanjutnya bekas wilayah Kewedanaan Bagansiapiapi, yang terdiri dari Kecamatan Tanah Putih, Kecamatan Kubudan Kecamatan Bangko ditambah Kecamatan Rimba Melintang dan Kecamatan Bagan Sinembah. kemudian pada tanggal 4 Oktober 1999 ditetapkan sebagai sebuah kabupaten baru di Provinsi Riau sesuai dengan UU RI Nomor 53 tahun 1999 dengan ibukota Ujung Tanjung, sedangkan Bagansiapiapi ditetapkan sebagai ibu kota sementara.
Bagansiaiapi sangat terkenal Ritual bakar tongkang yang menjadi icon dari kota Bagansiapiapi, Tradisi unik yang dipelihara turun temurun ini hanya satu-satunya di dunia, sebagai bagian budaya di Kota Bagansiapiapi, Kabupaten Rokan Hilir, Riau. Kegiatan ini sudah berjalan sekitar satu abad. Tradisi “Bakar Tongkang” dirayakan setiap tahunnya oleh etnis Tionghoa, untuk mengenang leluhur mereka yang telah mengarungi lautan menggunakan Tongkang.
Perayaan yang saat ini sudah dijadikan wisata nasional tersebut, sangat didukung Pemerintah Daerah setempat. Wujud dukungan pemerintah daerah dalam ritual ini, dengan turutsertanya semua Dinas Pemerintahan dalam pawai perayaan.
Kuliner khas Bagansiapiapi yang terkenal adalah masakan Tionghoa yang dikombinasikan dengan hasil bumi setempat, misalnya : Kwetiau Bagan, Miso Bagan,Nasi lemak Bagan, ''Kari Peng'' (Nasi Kari Bagan), Ham-ke (sejenis martabak dari kerang), Wantanmi (Mi Pangsit), Ke-mi (mi campur potongan mirip kwetiau), Tilongpan (mirip Cicongpan di Medan), Kiam-ke, Lolia (Rujak Bagan), O-Lua (Rujak Pedas), O-Ke,O-Yi, dan sebagainya.
Sejarah dan Budaya Bagansiapiapi
Kelenteng In Hok Kiong di pusat kota Bagansiapiapi
Sejarah Kota Bagansiapiapi
Menelusuri sejarah kota Bagansiapiapi erat kaitannya dan tidak terlepas dari sejarah Rokan Hilir.
Di daerah Rokan Hilir terdapat tiga wilayah kenegerian yaitu negeri Kubu, Bangko dan Tanah Putih yang masing-masing dipimpin seorang Kepala Negeri yang bertanggung jawab kepada Sultan Siak. Berkenaan dengan sistem administrasi pemerintah Hindia Belanda, distrik pertama yang didirikan di sana adalah Tanah Putih pada tahun 1890.
Berdasarkan Staatsblad 1894 No.94, onderafdeeling Bagansiapiapi dengan ibukota Bagansiapiapi, termasuk dalam afdeeling Bengkalis, Residentie Ooskust van Sumatra terdiri dari tiga subdistrik yakni Bangko, Kubu, dan Tanah Putih. Setelah Bagansiapiapi yang dipercaya dibuka oleh pemukim-pemukim Tionghoa berkembang pesat, pemerintah Hindia Belanda memindahkan pusat pemerintahan (kantor Controleur) ke kota ini dari Tanah Putih pada tahun 1900. Bagansiapiapi semakin berkembang setelah pemerintah Hindia Belanda membangun pelabuhan modern dan terlengkap untuk mengimbangi pelabuhan lainnya di Selat Malaka hingga Perang Dunia I usai.
Setelah kemerdekaan Republik Indonesia diproklamirkan, wilayah kewedanaan Bagansiapiapi yang meliputi Kubu, Bangko dan Tanah Putih, digabungkan ke dalamKabupaten Bengkalis, Provinsi Riau. Selanjutnya bekas wilayah Kewedanaan Bagansiapiapi, yang terdiri dari Kecamatan Tanah Putih, Kecamatan Kubu danKecamatan Bangko ditambah Kecamatan Rimba Melintang dan Kecamatan Bagan Sinembah kemudian pada tanggal 4 Oktober 1999 ditetapkan sebagai sebuah kabupaten baru di Provinsi Riau sesuai dengan UU RI Nomor 53 tahun 1999 dengan ibukota Ujung Tanjung, sedangkan Bagansiapiapi ditetapkan sebagai ibu kota sementara.
Namun karena kondisi infrastruktur di Ujung Tanjung yang masih merupakan sebuah desa di Kecamatan Tanah Putih belum memungkinkan untuk dijadikan sebagai sebuah ibu kota kabupaten, maka akhirnya Bagansiapiapi, dengan infrastruktur kota yang jauh lebih baik, pada tanggal 24 Juni 2008 resmi ditetapkan sebagai ibu kota Kabupaten Rokan Hilir yang sah setelah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyetujui 12 Rancangan Undang-Undang (RUU) Pembentukan Kabupaten/Kota dan RUU atas perubahan ketiga atas UU Nomor 53 Tahun 1999 disahkan sebagai Undang-Undangdalam Rapat Paripurna.
Asal Usul Nama Bagansiapiapi
Menurut cerita masyarakat Bagansiapiapi secara turun temurun, nama Bagansiapiapi erat kaitannya dengan cerita awal kedatangan orang Tionghoa ke kota itu. Disebutkan bahwa orang Tionghoa yang pertama sekali datang ke Bagansiapiapi berasal dari daerah Songkhla di Thailand. Mereka sebenarnya adalah perantau-perantau Tionghoa yang berasal dari Distrik Tong'an (Tang Ua) di Xiamen, wilayah Provinsi Fujian,Tiongkok Selatan. Konflik yang terjadi antara orang-orang Tionghoa dengan pendudukSongkhla, Thailand kelak menjadi penyebab terdamparnya mereka di Bagansiapiapi.
Dalam cerita dimaksud disebutkan bahwa pelarian tersebut dilakukan dengan menggunakan tiga perahu kayu (tongkang). Kejadian-kejadian selama dalam perjalanan menyebabkan hanya satu tongkang yang selamat sampai di darat. Itu adalah tongkang yang dipimpin oleh Ang Mie Kui bersama 17 orang penumpang lainnya. Tongkang yang selamat ini kebetulan membawa serta patung Dewa Tai Sun Ong Ya yang diletakkan di bagian haluan dan patung Dewa Kie Ong Ya yang ditempatkan dalam magun/rumah tongkang.
Menurut keyakinan mereka, patung-patung ini akan memberi keselamatan selama pelayaran itu. Petunjuk akhirnya diberikan oleh sang Dewa, setelah mereka melihat cahaya api yang berkerlap-kerlip sebagai tanda adanya daratan. Cahaya api itu ternyata berasal dari kunang-kunang (si api-api) yang bertebaran di antara hutan bakau yang tumbuh subur di tepi pantai. Di daerah tidak bertuan inilah mereka mendarat dan membangun tempat pemukiman baru yang kemudian dikenal dengan nama Bagansiapiapi. Adapun kata bagan sendiri mengandung makna sebagai tempat, daerah, atau alat penangkap ikan.
Versi lain mengenai asal usul nama Bagansiapiapi adalah kata Bagan yang berasal dari nama alat atau tempat menangkap ikan (yakni bagan, bagang, atau jermal), sementara api berasal dari nama pohon api-api yang banyak tumbuh di daerah pantai.
Kota Nelayan Dan Galangan Kapal
Pelabuhan Bagansiapiapi pada masa Hindia Belanda
Dulu kota ini terkenal sebagai penghasil ikan terpenting, sehingga dijuluki sebagai kota ikan. Menurut beberapa sumber, di antaranya surat kabar De Indische Mercuurmenulis bahwa pada tahun 1928, Bagansiapiapi adalah kota penghasil ikan terbesar kedua di dunia setelah kota Bergen di Norwegia.
Dalam perkembangannya, industri perikanan telah menjadikan Bagansiapiapi sebuah kota modern. Pada tahun 1934, Bagansiapiapi sudah memiliki fasilitas pengolahan air minum, pembangkit tenaga listrik dan unit pemadam kebakaran. Karena kemajuan yang dicapai kota ini dibandingkan daerah-daerah lain di afdeeling Bengkalis, Bagansiapiapi disebut Ville Lumiere (Kota Cahaya).
Berton-ton ikan, mulai dari ikan basah segar, ikan atau udang kering, ikan asin atau terasi, diekspor dari kota ini ke berbagai tempat. Dalam satu tahun, hasil tangkapan ikannya bisa mencapai 150.000 ton. Ekspor hasil laut berkembang menjadi salah satu pilar ekonomi rakyat. Bagansiapiapi menduduki papan atas daerah-daerah penghasil ikan terbesar di dunia.
Pada tahun 1980-an, buku-buku pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) di sekolah-sekolah dasar masih mencantumkan bahwa salah satu daerah penghasil ikan terbesar dan teramai di Indonesia adalah Bagansiapiapi, yang pada saat itu masih masuk ke dalam wilayah Kabupaten Bengkalis.
Akan tetapi julukan Bagansiapiapi sebagai kota ikan lama kelamaan memudar. Bila sebelumnya faktor alam yang menjadikannya demikian dikenal sebagai penghasil ikan, kelak diketahui bahwa faktor alam pula yang menyebabkan pemudarannya secara berangsur-angsur karena pesisir sekitar Bagansiapiapi mengalami pendangkalan dan sempit oleh endapan lumpur yang dibawa air Sungai Rokan.
Menurut data dari Dinas Perikanan Kabupaten Rokan Hilir, pada tahun 2000-2003, produktivitas ikan tangkap laut berkisar pada angka 70.000 ton per tahun. Namun, pada tahun 2004 tinggal 32.989 ton. Jumlah nelayan turun dari sekitar 100 menjadi 40-an saja.
Bagansiapiapi juga terkenal sebagai galangan kapal tradisional terbesar di Indonesia sebelum kemerdekaan. Perahu buatan Bagansiapiapi mampu menembus berbagai jenis karakteristik lautan sehingga digunakan juga di Pulau Jawa, Nusa Tenggara, dan Maluku. Di luar negeri, karyanya diminati nelayan-nelayan Srilanka, India, bahkan Amerika.
Perahu produk Bagansiapiapi memenuhi permintaan dari yang terkecil sekitar tiga-empat ton sampai 300 ton. Galangan kapal menjamur di era tahun 1940-an hingga pertengahan tahun 1980-an. Di masa jayanya, nama kota Bagansiapiapi lebih terkenal daripada Pekanbaru maupun Provinsi Riau.
Tapi kini usaha tersebut sudah mati suri karena keterbatasan bahan baku kayu dan sederetan Undang-Undang Tentang Kehutanan. Dalam UU itu disebutkan bahwa pemerintah pusat memiliki kuasa penuh dalam menentukan pembagian kawasan hutan. Dampaknya, para pencari kayu yang selama ini didominasi penduduk lokal, tidak lagi bisa menebang kayu untuk menjualnya ke pengusaha galangan
kapal.
Tradisi Ritual Bakar Tongkang diBagansiapiapi
Ritual Bakar Tongkang atau Go Cap Lak adalah sebuah ritual tahunan masyarakat Bagansiapiapi yang telah terkenal di mancanegara dan masuk dalam kalender Visit Indonesia. “Go” berarti bulan kelima dan “Cap Lak” berarti enambelas. Perayaan Go Cap Lak jatuh pada tanggal 16 bulan kelima kalender Cina setiap tahunnya.
Tradisi unik yang dipelihara turun temurun ini hanya satu-satunya di dunia, sebagai bagian budaya di Kota Bagansiapiapi, Kabupaten Rokan Hilir, Riau. Kegiatan ini sudah berjalan sekitar satu abad. Tradisi “Bakar Tongkang” dirayakan setiap tahunnya oleh etnis Tionghoa, untuk mengenang leluhur mereka yang telah mengarungi lautan menggunakan Tongkang.
Perayaan yang saat ini sudah dijadikan wisata nasional tersebut, sangat didukung Pemerintah Daerah setempat. Wujud dukungan pemerintah daerah dalam ritual ini, dengan turutsertanya semua Dinas Pemerintahan dalam pawai perayaan.
Sejarah “Bakar Tongkang”
Banyak versi sejarah yang melatarbelakangi ritual unik warga Tionghoa ini. Tradisi“Bakar Tongkang” dimulai sejak hijrahnya 18 orang Tionghoa bermarga Ang ke Bagansiapiapi, karena dikejar penguasa Siam di daratan China. Mereka menggunakan tiga kapal kayu –yang disebut wang kang atau tongkang– untuk bermigrasi ke Desa Songkla di Thailand pada 1825.
Masa migrasi di Thailand tidak berlangsung lama. Pendatang Tiongkok dimusuhi penduduk asli, hingga terjadilah kerusuhan. Karena sadar keberadaannya membawa pertikaian, akhirnya mereka pun pergi. Kemudian kembali berlayar menggunakan tiga kapal tersebut, mencari tempat baru yang aman. Di tengah perjalanan, dua tongkangtenggelam dihantam badai. Hanya satu kapal yang selamat dan sampai di Bagansiapiapi, yang dulu masih berupa hutan. Pada haluan tongkang yang selamat, terdapat patung Dewa Tai Sun dan Dewa Ki Ong Ya.
Tai Sun, dalam kepercayaan Tionghoa, merupakan dewa yang tidak memiliki rumah dan dikenal sebagai pengembara. Menurut kepercayaan, dua Dewa itulah yang mendatangkan keselamatan terhadap para pengembara. Sebagai wujud terima kasih kepada Dewa laut Kie Ong Ya, para perantau memutuskan untuk membakar tongkang yang ditumpangi mereka sebagai sesajen.
Perayaannya Pada Masa Sekarang
Pada masa pemerintahan Orde Baru, perayaan Go Cap Lak sempat vakum selama puluhan tahun. Tahun 2000 perayaan ini kembali digelar, Pemerintah Kabupaten Rokan Hilir menjadikan ajang tahunan ini sebagai sarana pariwisata. Perayaan ini masuk dalam kalender Visit Indonesia setiap tahunnya.
Ritual “Bakar Tongkang” dilakukan pada tanggal 16 bulan 5 penanggalan China atauGo Ge Cap Lak. Berdasarkan kebiasaan, masyarakat Tionghoa akan membuat replika tongkang berukuran 8 x 2 meter. Sebelum dibakar, tongkang tersebut diarak terlebih dahulu keliling Bagansiapiapi. Warga Bagansiapapi menyambut perayaan ini dengan memasang lampion dan lukisan Dewa di rumah masing-masing.
Setelah diarak, replika tongkang dibawa ke klenteng Eng Hok King, tempat ibadah tertua umat Kong Hu Chu yang terdapat di tengah kota. Mereka memanjatkan doa-doa kepada Dewa, agar kegiatan “Bakar Tongkang” diberkahi, selalu diberi keselamatan dan dilancarkan segala urusan.
Setelah diinapkan semalaman di klenteng, keesokan harinya dilakukan pembakarantongkang. Masing-masing orang membawa beberapa kertas kuning, berisi doa yang diletakan di sekitar tongkang. Ini bertujuan, agar doa yang mereka tulis di kertas tersebut dikabulkan oleh Dewa. Setelah itu, barulah dilakukan prosesi pembakarantongkang yang lokasinya tidak jauh dari klenteng.
Acara ini tidak hanya dimeriahkan oleh warga Tionghoa Bagansiapiapi, tapi juga dari luar kota. Bahkan dari luar negeri seperti Malaysia, Singapura, Thailand, termasuk warga China.
Malam sebelum perayaan “Bakar Tongkang”, masyarakat Kota Bagansiapiapi dihibur dengan panggung hiburan khas Taiwan dan bazaar. Semua artis didatangkan dari Taiwan, lagu dan bahasa yang diperdengarkan juga bahasa Hokkian.
Kegiatan “Bakar Tongkang” ini, juga diringi dengan perlombaan sampan kotak. Selain warga setempat dan perantau asal Bagansiapiapi –yang sengaja pulang kampung untuk mengikuti ritual ini– juga dihadiri pejabat daerah setempat. Pemerintah daerah berharap, dengan adanya perayaan ini pendapatan daerah juga dapat meningkat.
Wisata kuliner Bagansiapiapi
Kuliner khas Bagansiapiapi yang terkenal adalah masakan Tionghoa yang dikombinasikan dengan hasil bumi setempat, misalnya : Kwetiau Bagan, Miso Bagan,Nasi lemak Bagan, ''Kari Peng'' (Nasi Kari Bagan), Ham-ke (sejenis martabak dari kerang), Wantanmi (Mi Pangsit), Ke-mi (mi campur potongan mirip kwetiau), Tilongpan (mirip Cicongpan di Medan), Kiam-ke, Lolia (Rujak Bagan), O-Lua (Rujak Pedas), O-Ke,O-Yi, dan sebagainya.
Oleh-oleh khas Bagansiapiapi adalah Kacang pukul yang diproduksi masyarakat Tionghoa sejak turun temurun. Selain itu juga terkenal terasi, kerupuk udang, kerupuk singkong, udang kering (Ebi), permen kelapa, kue Kiat-hong, kue Lik-tao-ko, kue Ang-che-nai-ko, dan beragam jajanan khas lainnya yang tidak ditemukan di daerah lain.
Perdagangan
Di Bagansiapiapi terdapat dua pasar tradisional yang ramai dikunjungi yakni Pasar Pelita dan Pasar Datuk Rubiah (dahulu Pasar Inpres). Selain itu juga ada pasar jalanan di sepanjang Jalan Satria, dinamakan Pasar Satria Tangko.
Jasa Keuangan
Bank-bank yang beroperasi di Bagansiapiapi di antaranya adalah Bank Rakyat Indonesia, Bank Riau Kepri, Bank Syariah Mandiri, Bank Danamon Indonesia (Unit Simpan Pinjam), Bank Tabungan Pensiunan Nasional (Unit Mitra Usaha Rakyat) danBank Perkreditan Rakyat Rokan Hilir (BPR ROHIL).
Kantor Cabang Bank Rakyat Indonesia di Bagansiapiapi merupakan kantor cabang kedua yang dibuka di seluruh Indonesia sejak pendirian Bank Rakyat Indonesiatahun 1895 di Purwokerto, sehingga kode Bank Rakyat Indonesia cabang Bagansiapiapi menggunakan nomor 0002.
Bank Syariah Mandiri mulai beroperasi di Bagansiapiapi sejak 28 November 2011yang diresmikan oleh Bupati Rokan Hilir, H. Annas Ma’mun.
KEPENDUDUKAN
Berdasarkan Sensus Penduduk Indonesia 2010, jumlah penduduk Kecamatan Bangko yang sebagian besar meliputi kota Bagansiapiapi adalah 82.500 orang, terdiri dari penduduk laki-laki 42.400 orang dan perempuan 40.100. Dengan demikian Kecamatan Bangko menjadi kecamatan dengan jumlah penduduk terbanyak kedua di Kabupaten Rokan Hilir setelah Kecamatan Bagan Sinembah.
Sementara jumlah keseluruhan penduduk Kabupaten Rokan Hilir berdasarkanSensus Penduduk Indonesia 2010 adalah 553.216 orang, dengan jumlah penduduk laki-laki adalah 284.591 orang dan perempuan 268.625 orang.
Dari segi etnisitas, dewasa ini penduduk kota Bagansiapiapi sebagian besar merupakan suku Melayu dan Tionghoa, sedangkan suku lainnya dalam jumlah yang cukup signifikan adalah suku Jawa, Batak, Minangkabau, Nias dan Bugis.
Agama
Islam merupakan agama mayoritas yang terutama dipeluk oleh suku Melayu, Jawa, Minangkabau dan Bugis. Suku Tionghoa mayoritas memeluk kepercayaanTridharma yang merupakan gabungan dari agama Buddha, Konghucu, dan Taoisme, sementara yang menganut agama Kristen, Katolik dan Islam juga ada meskipun dalam jumlah yang sedikit. Sedangkan suku Batak dan Nias pada umumnya menganut agamaKristen dan Katolik.
Tempat ibadah yang representatif bagi umat Islam di Bagansiapiapi di antaranya adalah Masjid Raya Al-Ikhlas, Masjid Raya Al-Ihsan, Masjid Al-Kautsar.
Bagi umat Buddha dan kepercayaan Tridharma terdapat Vihara Buddha Sasana, Vihara Buddha Sakyamuni, Vihara Buddha Kirti, Vihara Maitreya Dwipa, Kelenteng Ing Hok Kiong.
Untuk umat Katolik terdapat Gereja Katolik Santo Petrus dan Paulus. Sementara untuk umat Kristen terdapat Gereja Methodist (Jemaat Wesley), Gereja HKBP, Gereja Kristen Protestan Indonesia.
Bahasa Bagansiapiapi
Masyarakat Bagansiapiapi yang lebih dikenal sebagai Orang Bagan, terdiri dari beragam suku di antaranya Melayu, Batak, Jawa, Hokkian, Tiociu, Hakka dan Hainan.
Letaknya yang jauh dari ibukota Jakarta, membuat komunitas Tionghoa setempat masih kental menggunakan bahasa daerah tanpa pencampuran dengan bahasa gaul ibukota. Namun istilah "Bahasa Bagan" sering merujuk pada Bahasa Hokkian yang digunakan oleh masyarakat Tionghoa setempat.
Bahasa Hokkian Bagansiapiapi masih kental dengan nuansa Tionghoa murni tanpa campuran dengan bahasa Indonesia, sehingga mirip dengan bahasa Hokkian yang dipergunakan di Xiamen, Jinmen (Kim-men), dan Taiwan.
Dikarenakan sebagian besar leluhur orang Hokkian di Bagansiapiapi berasal dariDistrik Tong'an (Tang Ua) yang dekat dengan Xiamen dan Quanzhou, maka dialek bahasa Hokkian Bagansiapiapi bisa dimasukkan dalam varian campuran antara logat Xiamen dan Quanzhou (Cuanciu). Begitu juga dengan bahasa Hokkian yang dipergunakan di daerah Riau lainnya seperti Selatpanjang dan Bengkalis hampir sama dialeknya, karena kebanyakan leluhurnya berasal dari daerah Nan An (Lam Ua) yang dekat dengan Quanzhou.
Sementara bahasa Hokkian yang dipergunakan di Medan dan Penang masuk dalam varian logat Zhangzhou (Cianciu).
Sejarawan Bagansiapiapi.
Balik ke kampung halamannya di Bagansiapi-api, tahun 1971, ia melakukan pekerjaan-pekerjaan kasar. Baru di tahun 1972--1975 ia mendermabaktikan ilmunya di sekolah-sekolah swasta di Bagansiapi-api sebagai guru hingga akhirnya dipercaya sebagai direktur Perguruan Wahidin di kampung nelayan itu. Tahun 1976 Sudarno mengakhiri pengabdiannya sebagai guru, ia diangkat sebagai pegawai negeri sipil (PNS) dan ditempatkan di Kantor Imigrasi Bagansiapi-api. Bakat kesastraannya sudah mulai tumbuh ketika ia masih duduk di bangku SMA di Surakarta. Kala itu ia mengisi rubrik di majalah dinding sekolahnya, dan pada tahun 1965 ia mulai mempublikasikan karya-karyanya berupa cerpen dan cerita bersambung di berbagai media di Medan, Sumatera Utara, dan Pulau Jawa. Sudarno Mahyudin terbilang sastrawan terproduktif di Riau. Ia minimal sudah menulis 35 judul buku dalam karier kepenulisannya, mulai dari roman/novel, naskah teater, scenario film, cerpen dan buku tunjuk ajar. Novelnya Insiden Santau Hulu memenangi Sayembara Penulisan Roman Daerah Riau tahun 1983. Tahun 1985 skenarionya berjudul Kudeta memenangkan juara kedua untuk Sayembara Penulisan Skenario Film yang diselenggarakan oleh Departemen Penerangan RI. Tahun yang sama, novel anak-anaknya berjudul Perang Guntung keluar sebagai pemenang kedua Sayembara Penulisan Cerita Anak-anak yang diselenggarakan oleh Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung. Tahun 1990 novel cerita rakyatnya yang berjudul Sungai yang Menjadi Saksi Hidup keluar sebagai pemenang kedua Sayembara Penulisan Cerita Daerah Riau. Tahun 2004, skenarionya Panglima Besar Reteh meraih juara harapan Sayembara Penulisan Skenario Film Layar Lebar yang diselenggarakan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata RI. Novel-novelnya yang lain yang sudah dibukukan adalah Insiden Kapal Nautilus (1988, 1989, 2002), Putri Sei Melur (1987), Pendekar Musalim (1992), Pahlawan Perang Dalu-dalu (1996), Raja Kecil (1989, 1991, 1996), Tenggelamnya Kapal Malaka’s Welvaren (1995, 1996), Pergolakan Pereban (1989, 2001, 2005, 2007), Menentang Matahari (1996, 2001, 2005, 2007), Muda Cik Leman (2003, 2006), Gema Proklamasi RI Dalam Peristiwa Bagansiapi-api (2006), Cinta Dalam Sekam (2006), Tatakrama Melayu, Suatu Warisan Budaya (2006), Intan Kaca (2007), Tiga Naskah Teater Tradisional Melayu Riau (2007), Senarai Profesi Keras Datang, Merak Menanti (2007), Pengantin Lipan (2008), Rayap (kumpulan cerpen, 2008), Prolog, Kronologis dan Epilog Peristiwa Bagansiapi-api (2008). Untuk teater, Sudarno telah menulis lima naskah, yaitu Putri Seri Daun (pemenang kedua Festival Drama Klasik di Bengkalis, 1983), Pinangan Liuk (pemenang pertama Festival Teater Remaja Riau, 2004), Laksmana Mengamuk (pemenang kedua Festival Teater Idrus Tintin Award, 2005), Pilih-pilih Menantu (1992), dan Ratu Sik Sima (belum pernah dipentaskan). Sedangkan untuk film, sedikitnya tujuh scenario telah ia tulis, yaitu James Bagio Vs Wrong Gang (1990), Mencari Pencuri Anak Perawan (enam episode, 1993), Nara Singa (1995), Awang Mahmud (1996), Dikalahkan Sang Sapurba (2004), Ke Langit (2004), dan Mai (Intan Kaca) (2008). Beberapa dari skenarionya telah difilmkan. Dalam usia 68 saat ini Sudarno masih produktif menulis untuk berbagai genre. Tulisan-tulisannya dipublikasikan di Riau Pos, Sagang, Riau Mandiri, dan sebagainya. Sejak pensiun dari PNS – terakhir bertugas di Kanwil Kehakiman Provinsi Riau – Sudarno mudik ke kampung halamannya, Bagansiapi-api. |
No comments:
Post a Comment