BAB II
PEMBAHASAAN
A. Etika
Etika
adalah: merupakan pengetahuan tentang baik dan buruk maupun tentang
hak-hak dan kewajiban moral (akhlak) yang harus disandang oleh seseorang
maupun sekelompok orang dan mempunyai arti ilmu tentang apa yang bisa
dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasan.
B. Lembaga
Adalah:
suatu tempat atau wadah di dalam pemerintah atau dimana lembaga tersbut
dibuat oleh negara, dari negara dan untuk negara dimana bertujuan untuk
membagun.
C. Pemerintah
pemerintahan adalah organisasi yang memiliki kekuasan untuk membuat dan menerapkan hukum serta undang –undang di wilayah tertentu dan segala
bentuk kegiatan atau aktifitas penyelenggaraan negara yang dilakukan
oleh organ-organ negara yang mempunyai otoritas atau kewenangan untuk
menjalankan kekuasaan. Pengertian pemerintahan seperti ini mencakup
kegiatan atau aktifitas penyelenggaraan negara yang dilakukan oleh
eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Dalam arti yang sempit,
pemerintahan adalah aktivitas atau kegiatan yang diselenggarakan oleh
fungsi eksekutif, presiden ataupun perdana menteri, sampai dengan level
birokrasi yang paling rendah tingkatannya. Dari dua pengertian tersebut,
maka dalam melakukan pembahasan mengenai pemerintahan negara titik
tolak yang dipergunakan adalah dalam konteks pemerintahan dalam arti
luas. Yaitu meliputi pembagian kekuasaan dalam negara, hubungan antar
alat-alat perlengkapan negara yang menjalankan kekuasaan tersebut.[1]
1. Macam-macam Sistem Pemerintahan Negara.
Sistem pemerintahan negara dibagi menjadi dua klasifikasi besar, yaitu:
a. Sistem pemerintahan parlementer.
Pada
prinsipnya sistem pemerintahan parlementer menitik beratkan pada
hubungan antara organ negara pemegang kekuasaan eksekutif dan
legeslatif. Sistem ini merupakan sisa-sisa peninggalan sistem
pemerintahan dalam arti paling luas yakni morankhi. Dikatakan demikian
karena kepala negara apapun sebutanya mempunyai kedudukan yang tidak
dapat di ganggu gugat. Sedangkan penyelenggara pemerintah sehari-hari
diserahkan kepada menteri.
b. Sistem pemerintahan Presidensial
Dalam
sistem pemerintahan presidensial, badan eksekutif dan legislatif
memiliki kedudukan yang independen. Kedua badan tersebut tidak
berhubungan secara langsung seperti dalam sistem pemerintahan
parlementer. Mereka dipilih oleh rakyat secara terpisah.[2]
2. Ciri-ciri sistem pemerintahan parlementer adalah sebagai berikut :
a.
Badan legislatif atau parlemen adalah satu-satunya badan yang
anggotanya dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum. Parlemen
memiliki kekuasaan besar sebagai badan perwakilan dan lembaga
legislatif.
b.
Anggota parlemen terdiri atas orang-orang dari partai politik yang
memenangkan pemiihan umum. Partai politik yang menang dalam pemilihan
umum memiliki peluang besar menjadi mayoritas dan memiliki kekuasaan
besar di parlemen.
c.
Pemerintah atau kabinet terdiri dari atas para menteri dan perdana
menteri sebagai pemimpin kabinet. Perdana menteri dipilih oleh parlemen
untuk melaksakan kekuasaan eksekutif. Dalam sistem ini, kekuasaan
eksekutif berada pada perdana menteri sebagai kepala pemerintahan.
Anggota kabinet umumnya berasal dari parlemen.
d.
Kabinet bertanggung jawab kepada parlemen dan dapat bertahan sepanjang
mendapat dukungan mayoritas anggota parlemen. Hal ini berarti bahwa
sewaktu-waktu parlemen dapat menjatuhkan kabinet jika mayoritas anggota
parlemen menyampaikan mosi tidak percaya kepada kabinet.
e.
Kepala negara tidak sekaligus sebagai kepala pemerintahan. Kepala
pemerintahan adalah perdana menteri, sedangkan kepala negara adalah
presiden dalam negara republik atau raja/sultan dalam negara monarki.
Kepala negara tidak memiliki kekuasaan pemerintahan. Ia hanya berperan
sebgai symbol kedaulatan dan keutuhan negara.
f.
Sebagai imbangan parlemen dapat menjatuhkan kabinet maka presiden atau
raja atas saran dari perdana menteri dapat membubarkan parlemen.
Selanjutnya, diadakan pemilihan umum lagi untuk membentukan parlemen
baru.[3]
3. Ciri-ciri dari sistem pemerintahan presidensial adalah sebagai berikut.
a.
Penyelenggara negara berada ditangan presiden. Presiden adalah kepala
negara sekaligus kepala pemerintahan. Presiden tidak dipilih oleh
parlemen, tetapi dipilih langsung oleh rakyat atau suatu dewan majelis.
b.
Kabinet (dewan menteri) dibentuk oleh presiden. Kabinet bertangungjawab
kepada presiden dan tidak bertanggung jawab kepada parlemen atau
legislatif.
c. Presiden tidak bertanggungjawab kepada parlemen. Hal itu dikarenakan presiden tidak dipilih oleh parlemen.
d. Presiden tidak dapat membubarkan parlemen seperti dalam sistem parlementer.
e. Parlemen memiliki kekuasaan legislatif dan sebagai lembaga perwakilan. Anggota parlemen dipilih oleh rakyat.
f. Presiden tidak berada dibawah pengawasan langsung parlemen.
`Sistem
pemerintahan Presidensial merupakan system pemerintahan di mana kepala
pemerintahan dipegang oleh presiden dan pemerintah tidak bertanggung
jawab kepada parlemen (legislatif). Menteri bertanggung jawab kepada
presiden karena presiden berkedudukan sebagai kepala Negara sekaligus
kepala pemerintahan. Contoh Negara: AS, Pakistan, Argentina, Filiphina,
Indonesia.[4]
D. Hubungan antara lembaga pemerintah dalam pandangan islam
1. Majlis Tasyi’iah (lembaga legeslatif)
Majlis Taqnin merupakan lembaga yang berdasarkan triminologifiqh disebut sebagai “lembaga
penengah dan pemberi fatwa” (ahl al-hall wa al-‘aqd). Cukup jelas bahwa
suatu negara yang didirikan dengan dasar kedaulatan de jure Tuhan
tidak dapat melakukan legislasi yang bertolak belakang dengan Al-Qur’an
dan As-Sunnah, sekalipun konsensus rakyat menuntunnya. Baru saja saya
membeberkan perintah Al-Qur’an yang mengatur bahwa jika Allah dan/atau
Rasul-Nya telah memberi peraturan didalam suatu masalah, tak seorang
Muslim pun berhak untuk memutuskannya sesuai dengan pendapatnya
sendiri dan bahwa orang-orang yang tidak membuat keputusan berdasarkan
Al-Qur’an atau Kalam Ilahi ini adalah orang-orang kafir.
Dari perintah-perintah ini, maka secara otomatis timbul prinsip bahwa Majlis Taqnin (lembaga
legeslatif) dalam negara Islam sama sekali tidak berhak membuat
perundang-undangan yang bertentangan dengan tuntunan-tuntunan Tuhan dan
Rasul-Nya, dan semua cabang legislasi, meskipun telah disahkan oleh Majlis Taqnin (lembaga legeslatif) harus secara ipso facto dianggap ultra vires dari
undang-undang Dasar. Padahal sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa
syariat itu sendiri tidak menjelaskan secara detail untuk semua
kebutuhan yang begitu banyak dan berubah-ubah dari kehidupan sosial
kita.
Jika
hai ini kita kaitkan dengan pemerintahan kita saat ini maka yang
memiliki kewenangan dalam masalah di atas adalah Dewan Perwakilan
Rakyat. Lemabaga ini adalah lembaga yang mengurusi Undang-Undang dan
hukum yang relevan dengan situasi untuk kemaslahaan hidup manusia dan
sekaligus mengawasi pelaksanaan hukum tersebut. Sedangkan dalam sebuah
negara Islam yang berwenang dalam hal ini adalah Majlis Tanfidz, yang
mana di dalamnya di duduki oleh para mujtahid dan ulama fatwa.
Setiap pemerintahan Islam Pada setiap masa pasti membutuhkan segolongan Ulama’ ahli ijtihad yang memenuhi syarat dan berkemampuan sempurna dalam memahami nas dasar
undang-undang Tuhan dan peranannya. Selain itu harus pula menguasai
ketetapan hukum terhadap masalah dan persoalan baru yang muncul tentang
kemaslahatan dan kebutuhan manusia.
Kita telah menggali empat fungsi ini dari Al-Qur’an, As-Sunnah, konvensi empat khalifah dan pandangan-pandangan para fuqaha Islam
terkemuka. Tetapi jika perlu, saya dapat mengutip sumber-sumber
keempatnya. Tetapi saya kira, siapapun yang sepenuhnya yang menghayati
prinsip-prinsip dasar Negara Islam akan dapat menyadarinya hanya melalui
akal sehat, bahwa didalam negara İslam yang sifatnya demikian, harus
membentuk fungsi dari Majlis Taqnin (lembaga legeslatif).
Pada
tahap ini mungkin timbul pertanyaan, apakah dalam İslam ada peluang
bagi yudikatif (majlis qadla) untuk menolak atau membatasi kekuasaan
legeslatif (majlis taqnin) dalam hubungannya dengan penegakan hukum yang
bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah? Saya tau bahwa tidak ada
aturan tersendiri untuk pertanyaan ini, tetapi konvensi-konvensi yang
ditegakkan selama berkuasanya Al-Khulafa Al-Rasyidun menunjukkan
bahwa lembaga yudikatif (majlis Qadla) tidak memiliki atau menikmati
kekuasaan semacam ini pada zamannya. Paling tidak, tidak ada contoh
bahwa pernah seorang qadhi melakukan hal ini. Namun yang menjadi
alasan disini adalah bahwa para anggota legeslatif (majlis taqnin) pada
zamannya memiliki wawasan yang dalam serta berbobot dan benar didasarkan
pada Al-Qur’an dan Sunnah, jadi bisa dikatakan bahwa mereka sama sekali
tidak ada kemungkinan akan terjadi legeslasi yang bertentangan dengan
jiwa Al-Qur’an dan Sunnah. Bahkan, jika kita dapat menjamin bahwa tidak
akan ada lembaga legeslatif (majlis taqnin) yang akan menegakkan
hukum-hukum yang bertentangan dengan semangat Al-Qur’an dan Sunnah,
dalam hal ini lembaga yudikatif (majlis qadla) tidak membutuhkan
otoritas untuk menolak keputusan-keputusan legeslatif. Tetapi jika tidak
demikian jadinya, maka satu-satunya cara yang memuaskan adalah memberi
kekuasaan kepada lembaga yudikatif (majlis qadla) untuk membatalkan
semua hukum dan perundang-undangan yang bertentangan dengan Al-Qur’an
dan Sunnah.
2. Majlis Tanfidziyah (lembaga eksekutif)
Dalam suatu Negara İslam, tujuan sebenarnya dari Majlis Tanfidz (lembaga eksekutif) adalah
untuk menjalankan pedoman-pedoman Tuhan yang disampaikan melalui
Al-Qur’an dan As-Sunnah serta untuk menyiapkan masyarakat agar mengakui
dan menganut pedoman-pedoman ini untuk dijalankan dalam kehidupan mereka
sehari-hari. Karakteristik Majlis Tanfidz(lembaga eksekutif) suatu negara Muslim inilah yang membedakannya dari lembaga eksekutif negara non-Muslim. Kata-kata ulul amri dan umaradigunakan masing-masing didalam Al-Qur’an dan Hadis untuk menyatakanMajlis Tanfidz (lembaga eksekutif).
Dalam hal ini zhul Amir adalahsebagai kepala dalam Majlis Tanfidz (lembaga eksekutif) ini.
Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa Amir itu harus mempunyai
kekuasaan yang luas dalam majlis ini. Kepala Majlis Tanfidz ini di beri
kuasa untuk membuat peraturan-peraturan yang bersifat umum, akan tetapi
dalam hal urusan Administarasi negara kepala Majlis Tanfidz tidak
diperkenankan untuk ikut terlibat di dalamnya, karena kepala Majlis
Tanfidz wewenangnya hanya sebatas kepala majlis saja. Jika sekiranya
semua kekuasaan ada ditangannya atau kepala pemerintahan dikendalikan
juga olehnya maka bagaimana kemudian jika ada masalah dalam negara
apakah semua masalah dalam negara tersebut akan di serahkan semua
kepadanya. Ataukah ia menyelesaikan masalah tersebut dengan cara mencari
kawan, ataukah juga ia meminta bantuan kepada para anggota yang
mewakili partai-partai terkemuka yang duduk dalam lembaga legeslatif dan
menggantungkan segala tindakannya kepada partai-partai tersebut.
Maka
dalam rangka meringankan beban tersebut, seorang Amair harus
menyerahkan sebagian tugas negara kepada para pejabat pemerintah dalam
hal ini para pejabat pemerintahan bekerja langsung di bawah Amir.
Namun
jika dalam perjalanannya/keputusannya nanti terdapat kelalaian seorang
Amir tidak dapat begitu saja memberhentikan atau mempengaruhi
keputusan-keputusan mereka, sekalipun kapasitasnya sebagai Amir (kepala
negara) atau pribadinya.
Jika kemudia seseorang mengajukan dakwaan kepada amir, maka sang amir harus hadir dan melakukan pembelaan di hadapan qadhi sebagaimana layaknya orang kebanyakan. Dalam
masalah di atas kita belum pernah menemukan satu contoh pun dimana
seseorang sekaligus merangkap jabatan di bidang yang sama; atau dimana
kolektor atau gubernur atau bahkan seorang Amir mengikuti keputusan
kehakiman. Jadi tidak seorang pun, tidak juga orang pertama negara, yang
dikecualikan dari kewajiban untuk tampil di depan hakim untuk membela
perkara perdata atau pidananya.
Berdasarkan
tuntutan-tuntutan kebutuhan kita yang ada sekarang ini, maka kita dapat
mengubah atau mengganti rincian-rinciannya. Tetapi kita harus tetap
mempertahankan prinsip-prinsip fundamentalnya. Umpamanya, kita dapat
mempertimbangkan kembali kekuasaan Amir (kepala negara) dan mengubahnya
sesuai dengan kebutuhan. Banyak bukti bahwa di zaman sekarang ini, kita
tidak dapat banyak berharap untuk mendapatkan atau menemukan seorang
Amir yang kaliber dan standar ruhaniahnya menyamaiAl-Khulafa Al-Rasyidun. Oleh
karena itu kita dapat mempertimbangkan serta membatasi
kekuasaan-kekuasaan administratif mereka untuk tetap melindungi diri
terhadap kecendrungan-kecendrungan kediktatoran. Kita juga bisa
membatasi dia untuk tidak mendengar serta memutuskan perkara hukum,
sehingga mereka tidak memiliki peluang untuk merusak jalannya
pengadilan.
Dengan demikian, kita juga dibolehkan membuat beberapa perubahan, misalnya untuk:
a. memperbaharui
undang-undang atau peraturan agar selaras dengan kebutuhan kita
sekarang untuk pelaksanaan pemilihan Amir (kepala negara). Atau juga
mengundangkan undang-undang untuk melaksanakan urusan legeslatif.
b. menjelaskan dan menetapkan kekuasaan-kekuasaan serta status berbagai pengadilan.[5]
3. Majlis Qadla (Lembaga Yudikatif)
Ruang lingkup Majlis Qadla (Lembaga Yudikatif) yang dalam terminologi hukum Islam dikenal dengan istilah qadla yang maknanya disiratkan oleh pengakuan atas kedaulatan de jur dari
Tuhan Yang Maha kuasa. Ketika Islam mendirikan negaranya sesuai dengan
prinsip-prinsip abadinya, Rasulullah saw sendirilah yang menjadi hakim
pertama negara tersebut, dan beliau melaksanakan fungsi ini dengan
sangat selaras dengan hukum Tuhan. Orang-orang yang melanjutkannya tidak
memiliki alternatif lain kecuali mendasarkan keputusan mereka pada hukum Tuhan sebagaimana yang telah disampaikan oleh Rasulullah saw kepada mereka.
Mengenai Majlis Qadha (Lembaga
Yudikatif) ulama banyak berbeda pendapat utamanya mengenai syariah yang
tidak menerangkan secara detail salah satu sistem pengadilan, namun
dalam syariah itu sendiri hanya memberikan batasan pada undang-undang
pokok secara umum yang menyangkut susila pengadilan (termasuk cara
dimana hakim harus bertindak).
Adapun
undang-undang dari pengadilan, yaitu dapat dikatakan bahwa susunan dan
sistem pembinaannya diserahkan saja kepada keinginan masyarakat, dengan
kata lain diserahkan kepada ijtihad pada masa itu. Oleh karena itu
nyatalah bahwa konstitusi bebas untuk membuat sistem apa saja terhadap
pengadilan yang dapat mendatangkan maslahah pada zaman itu dengan syarat
hukum itu diatur sesui dengan dasar syari’at. Namun sekiranya jika
syari’at itu benar-benar akan dijadikan Undang-Undang Umum, misalnya
negara kita harus menjadi negara Islam maka sudah seharus tiap hakim
sudah menjadi hakim syara’ artinya ia tidak hanya menguasai
Undang-undang yang telah ditetapkan oleh Majlis Taqnin (legeslatif)
tetapi juga ia harus menguasai semua peraturan yang telah ditetapkan
oleh Qur’an dan Sunnah. Oleh karena semua sistem Undang-Undang harus di
pengaruhi oleh prinsip syari’ah, yang dimulai dengan undang-undang yang
berdasarkan aturan yang jelas yang berasal dari Qur’an dan Sunnah yang
berkaitan dengan hal-hal umum dan selanjutnya perkembangan undang-undang
yang datang dari legeslatif yang semua permasalahannya tidak
diterangkan oleh syari’ah.
Jika
Majlis Qadla kita selaraskan dengan Lembaga Yudikatif saat ini maka
kemandirian Yudikatif akan menjamin perdamaian dalam negeri suatu negara
dan ketentaraman rakyat. Tidak akan ada jumlah hak atau hak-hak
istimewa yang tertulis dalam undang-undang, yang dapat memberikan
kepuasan jika pengadilan-pengadilan ini masih di interfensi oleh yang
berkuasa. Akibatnya jika ada campur tangan dari pihak yang lebih
berkuasa maka sangat susah untuk mengelola keadilan dalam lembaga
pengadilan tersebut. Karena esensi kebaradaan negara sangat bergantung
pada kepuasan rakyatnya.
Sekalipun
pada zaman Rasulullah SAW semua Bidang pemerintahan mulai dari
kewenangan dan keputusan itu berada di tangan beliau, tetapi dalam
proses penyelesaian masalah Rasulullah SAW selalu melibatkan para
sahabatnya/perwakilan masyarakat, yang kemudian di selesaikan di suatu
tempat melalui musyawarah. Atas dasar inilah kemudian kita mengenal
konsep syura dalam Islam’.
Namun
pada intinya penyelenggaraan mekanisme negara dalam tatanan sistem
politik pada umumnya, khususnya lembaga-lembaga negara, Al-Qur’an
mengemukakan ada empat prinsip penggunaan kekuasaan politik yang dapat
dipandang sebagai asas-asas pemerintahan/kekuasaan dalam sistem politik.
Keempat asas tersebut adalah:
(1) Asas amanah,
(2) asas keadilan (keselarasan),
(3) asas ketaatan (disiplin), dan
(4) asas musyawarah dengan refrensi Al-Qur’an dan Sunnah.
Asas pertama :mengandung
makna bahwa kekuasaan politik yang dimiliki oleh pemerintah adalah
amanat Allah dan juga amanat dari rakyat yang telah memberikannya
melalui baiat. Karena itu, asas ini menghendaki agar pemerintah
melaksanakan tugas-tugasnya dengan memenuhi hak-hak yang diatur dan
dilindungi oleh hukum Allah., termasuk didalamnya amanat yang dibebankan
oleh agama dan yang dibebankan oleh masyarakat dan juga perorangan
sehingga tercapai masyarakat yang damai dan sejahtera.
Asas kedua :mengandung
makna bahwa pemerintah berkewajiban mengatur masyarakat dengan membuat
aturan-aturan hukum yang adil berkenaan dengan masalah-masalah yang
tidak diatur secara rinci atau didiamkan oleh hukum Allah. Dengan
demikian, penyelenggaraan pemerintahan berjalan diatas hukum dam bukan
atas dasar kehendak pemerintah atau pejabat negara. Adanya kreteria
keadilan dalam pembuatan hukum parundang-undangan menghendaki agar hukum
yang dibuat itu berorentasi kepada fitrah atau kodrat manusia.
Asas ketiga: mengandung
makna wajibnya hukum-hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Sunnah
ditaati. Demikian pula hukum perundang-undangan dan juga kebijakan
pemerintah wajib ditaati. Kewajiban taat ini tidak hanya di bebankan
kepada rakyat, tetapi juga dibebankan kepada pemerintah/pejabat. Oleh
karena itu, hukum perundang-undangan dan kebijakan politik yang diambil
pemerintah harus sejalan dan tidak boleh bertentangan dengan hukum
agama. Jika tidak demikian, maka kewajiban rakyat kepada hukum dan
kebijakan yang bersangkutan telah gugur, karena agama melarang ketaatan
pada maksiat.
Sedangkan
Asas keempat: menghendaki
agar hukum-hukum perundang-undangan dan kebijakan politik ditetapkan
melalui musyawarah di antara mereka yang berhak. Masalah yang
diperselisihkan di anatara para peserta musyawarah harus diselesaikan
dengan menggunakan ajaran-ajaran dan cara-cara yang terkandung dalam
Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. Untuk maksud tersebut, diperlukan
rumusan metode pembinaan hukum perundang-umdangan dan tata cara atau
mekanisme musyawarah yang bersumber dari ajaran-ajaran Al-Qur’an dan
Sunnah. Maka
jika di kaitkan dengan Tugas dan wewenang lembaga-lembaga diataskeempat
asas ini sangat Relevan dan signifikan untuk di jadikan pondasi dasar
pada setiap kebijakan dan keputusan yang berakhir pada
realisasi/aplikasi di masyarakat. Jika demikian nyatanya saya sangat
yakin Masyarakat akan hidup damai dan sejahtera di dunia dan akhirat.[6]
E. Etika dalam membangun hubungan antar lembaga pemerintah
Etika Pemerintahan Dalam
hubungannya dengan kegiatan pemerintahan, dikenal legitimasi sebagai
dasar untuk mengukur etika dalam kekuasaan pemerintahan. Pemerintah yang
mempunyai legitimasi etis adalah pemerintah yang dalam perbuatannya
menyesuaikan dasar-dasar kekuasaannya dengan norma-norma moral yang
berlaku dalam masyarakat. Menurut Max Weber, ciri-ciri legitimasi etis
adalah,
1) Penyesuaian persoalan-persoalan kekuasaan secara etis, dalam arti berdasarkan nilai-nilai moral dalam masyarakat;
2) Perilaku kekuasaan didasarkan landasan etika yang dihubungkan dengan ajaran atau ideology
Setiap perbuatan dilakukan secara umum dan tidak hanya kepentingan tertentu (vested interest). Etika lebih banyak berbicara tentang baik dan buruk, bukan benar atau salah sebab yang berbicara tentang benar atau salah adalah hukum. Baik dan buruk lebih didasarkan norma dan tata krama yang pada umumnya tidak tertulis tetapi telah disepakati oleh masyarakat sebagai suatu tata nilai.
Setiap perbuatan dilakukan secara umum dan tidak hanya kepentingan tertentu (vested interest). Etika lebih banyak berbicara tentang baik dan buruk, bukan benar atau salah sebab yang berbicara tentang benar atau salah adalah hukum. Baik dan buruk lebih didasarkan norma dan tata krama yang pada umumnya tidak tertulis tetapi telah disepakati oleh masyarakat sebagai suatu tata nilai.
etika pemerintahan
tidak terlepas dari filsafat pemerintahan. filsafat pemerintahan adalah
prinsip pedoman dasar yang dijadikan sebagai fondasi pembentukan dan
perjalanan roda pemerintahan yang biasanya dinyatakan pada pembukaan UUD
negara.[7]
Dari
segi etika, pemerintahan adalah perbuatan atau aktivitas yang erat
kaitannya dengan manusia dan kemanusiaan. Oleh karena itu perbuatan atau
aktivitas pemerintahan tidak terlepas dari kewajiban etika dan
moralitas serta budaya baik antara pemerintahan dengan rakyat, antara
lembaga/pejabat publik pemerintahan dengan pihak ketiga. Perbuatan
semacam ini biasanya disebut Prinsip Kepatutan dalam pemerintahan dengan
pendekatan moralitas sebagi dasar berpikir dan bertindak. Prinsip
kepatutan ini menjadi fondasi etis bagi pejabat publik dan lembaga
pemerintahan dalam melaksanakan tugas pemerintahan.
Etika
pemerintahan disebut selalu berkaitan dengan nilai-nilai keutamaan yang
berhubungan dengan hak-hak dasar warga negara selaku manusia
sosial (mahluk sosial). Nilai-nilai keutamaan yang dikembangkan dalam
etika pemerintahan adalah :
1. Penghormatan terhadap hidup manusia dan HAM lainnya .
2. kejujuran baik terhadap diri sendiri maupun terhadap manusia lainnya(honesty).
3. Keadilan dan kepantasan merupakan sikap yang terutama harus diperlakukan terhadap orang lain.
2. kejujuran baik terhadap diri sendiri maupun terhadap manusia lainnya(honesty).
3. Keadilan dan kepantasan merupakan sikap yang terutama harus diperlakukan terhadap orang lain.
4. kekuatan moralitas, ketabahan serta berani karena benar terhadap godaan(fortitude).
5.Kesederhanaan dan pengendalian diri (temperance)
5.Kesederhanaan dan pengendalian diri (temperance)
6.
Nilai-nilai agama dan sosial budaya termasuk nilai agama agar manusia
harus bertindak secara profesionalisme dan bekerja keras.
Karena
pemerintahan itu sendiri menyangkut cara pencapaian negara dari
prespekti dimensi politis, maka dalam perkembangannya etika pemerintahan
tersebut berkaitan dengan etika politik. Etika politik
subyeknya adalah negara, sedangkan etika pemerintahan
subyeknya adalah elit pejabat publik dan staf pegawainya .
Etika
politik berhubungan dengan dimensi politik dalam kehidupan manusia
yaitu berhubungan dengan pelaksanaan sistem politik seperti contoh :
tatanan politik, legitimasi dan kehidupan politik. Bentuk keutamaannya
seperti prinsip demokrasi(kebebasan berpendapat), harkat martabat
manusia (HAM), kesejahteraan rakyat. Etika politik juga mengharuskan
sistem politik menjunjung nilai-nilai keutamaan yang harus dapat
dipertanggungjawabkan secara etis maupun normatif. Misalnya legitimasi
politik harus dapat dipertanggungjawabkan dengan demikian juga tatanan
kehidupan politik dalam suatu negara. Etika pemerintahan berhubungan
dengan keutamaan yang harus dilaksanakan oleh para elit pejabat publik
dan staf pegawai pemerintahan.
Oleh karena itu dalam etika pemerintahan membahas prilaku penyelenggaraan pemerintahan, terutama penggunaan kekuasaan, kewenangan termasuk legitimasi kekuasaan dalam kaitannya dengan tingkah laku yang baik dan buruk. Wujud etika pemerintahan tersebut adalah aturan-aturan ideal yang dinyatakan dalam UUD baik yang dikatakan oleh dasar negara (pancasila) maupun dasar-dasar perjuangan negara (teks proklamasi) .
Oleh karena itu dalam etika pemerintahan membahas prilaku penyelenggaraan pemerintahan, terutama penggunaan kekuasaan, kewenangan termasuk legitimasi kekuasaan dalam kaitannya dengan tingkah laku yang baik dan buruk. Wujud etika pemerintahan tersebut adalah aturan-aturan ideal yang dinyatakan dalam UUD baik yang dikatakan oleh dasar negara (pancasila) maupun dasar-dasar perjuangan negara (teks proklamasi) .
Di
Indonesia wujudnya adalah pembukaan UUD 1945 sekaligus pancasila
sebagai dasar negara (fundamental falsafah bangsa) dan doktrin politik
bagi organisasi formil yang mendapatkan legitimasi dan serta keabsahan
hukum secara de yure maupun de facto oleh pemerintahan RI, dimana
pancasila digunakan sebagai doktrin politik organisasinya .Etika
berkenaan dengan sistem dari prinsip – prinsip moral tentang baik dan
buruk dari tindakan atau perilaku manusia dalam kehidupan sosial.
Etika
berkaitan erat dengan tata susila ( kesusilaan ), tata sopan santun (
kesopanan ) dalam kehidupan sehari-hari yang baik dalam keluarga,
masyarakat, pemerintahan, bangsa dan negara. Etika dalam kehidupan
didasarkan pada nilai, norma, kaidah dan aturan. Etika berupa : etika
umum ( etika sosial ) dan etika khusus ( etika pemerintahan ).[8]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sistem
pemerintahan negara menggambarkan adanya lembaga-lembaga yang bekerja
dan berjalan saling berhubungan satu sama lain menuju tercapainya tujuan
penyelenggaraan negara. Lembaga-lembaga negara dalam suatu sistem
politik meliputi empat institusi pokok, yaitu eksekutif, birokratif,
legislatif, dan yudikatif. Selain itu, terdapat lembaga lain atau unsur
lain seperti parlemen, pemilu, dan dewan menteri.
Pembagian
sistem pemerintahan negara secara modern terbagi dua, yaitu
presidensial dan ministerial (parlemen). Pembagian sistem pemerintahan
presidensial dan parlementer didasarkan pada hubungan antara kekuasaan
eksekutif dan legislatif. Dalam sistem parlementer, badan eksekutif
mendapat pengwasan langsung dari legislatif. Sebaliknya, apabila badan
eksekutif berada diluar pengawasan legislatif maka sistem
pemerintahannya adalah presidensial. Dalam
sistem pemerintahan negara republik, lebaga-lembaga negara itu berjalan
sesuai dengan mekanisme demokratis, sedangkan dalam sistem pemerintahan
negara monarki, lembaga itu bekerja sesuai dengan prinsip-prinsip yang
berbeda.
Sesuai dengan fungsi-fungsi yang diselenggarakan, lembaga-lembaga tersebur dapat dipilih atas: (1) lembaga legeslatif (majlis taqnin), (2) lembaga eksekutif (majlis tanfidz), (3) lembaga yudikatif (majlis qadla).
Lembaga yang pertama mempunyai dan menjalankan kekuasaan membuat
peraturan perundang-undangan berkenaan dengan masalah-masalah bukan
aqidah dan ritual dan yang tidak diatur secara tegas oleh Al-Qur’an dan
Sunnah; juga peraturan yang berkenaan dengan pelaksanaan hukum Allah.
Sedangkan lembaga yang kedua mempunyai dan menjalankan kekuasan untuk
menerapkan hukum Allah dan hukum perundang-undangan. diatas adalah
perlunya wali terpilih di baiat oleh rakyat. Al-Qur’an tidak memberikan
petunjuk teknis bagaimana seorang wali atau kepala pemerintahan dipilih.
Juga Rasulullah SAW tidak membicarakan atau menunjuk siapa yang akan
menggantikannya dalam kedudukannya sebagai pemimpin umat Islam
sesudahnya. İni dipandang sebagi suatu isyarat bahwa persoalan
kepemimpinan umat diserahkan agar diselesaikan sendiri oleh umat İslam
melalui musyawarah. Dan cara seperti ini telah dilaksanakan oleh
sahabat-sahabat Nabi dalam mengangkat Khulafa Rasyidin. Musyawarah itu
sendiri masih merupakan proses pemilihan wali, sedangkan pembaiatan
merupakan proses pengakuan dan legitimasi kedudukan dan kekuasaan wali
B. Saran-saran
Berdasarkan
kesimpulan tersebut, makalah ini mempunyai banyak kekurangan dan
jauhnya dari kesempurnaan, oleh karena itu segala kritik dan saran yang
bersifat membangun sangat lah penulis harapkan terutama dari bapak
dosen pembimbing dan rekan pembaca sekalian demi kesempurnaan makalah
ini dimasa mendatang, semoga makalah ini bermanfaat untuk kita semua dan
menambah wawasan kita.
DAFTAR PUSTAKA
Muin salim, Abdul, Konsepsi Kekuasaan Politik Dalam Al-Qur’an, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2002.
Al-Maududi, Abu A’la, Sistem Politik Islam, judul asli “The Islamic Law and Constitution,” penerjemah Asep Hikmat. Bandung: Mizan, 1993.
Asad, Muhammad, Masalah Kenegaraan Dalam Islam, judul asli “Islamic Constitution Making. penerjemah Amirudin jamil dan Umar Amin Husin. Jakarta : Yayasan kesejahteraan umat, 1990.
Wahab khalaf, Abdul, PolitikHukum Islam, Jogjakarta : Tiara Wacana, 2005
Karim Zaidan, Abdul, Masalah Kenegaran Dalam Pandangan Islam, Jakarta : Yayasan Al-Amin, 1984
Shiddiq Al-jawi, Muhammad, Konsep Negara Islam Menurut Rasulullah dan Sahabat. 1997
Abu A’la Al-Maududi”Sistem Politik Islam” ( Bandung : Mizan, 1993), Cet II. hl. 247
Abdul Wahab Khalaf”Politik Hukum Islam” ( Jogjakarta : Tiara Wacana, 2005), cet II. hl. 47-48
Mohammad Asad”Masalah Kenegaraan dalam Islam” ( Jakarta : Yayasan Kesejahteraan Bersama), hl. 55
Abdul Karim Zaidan,”Masalah Kenegaraan Dalam Pandangan Islam”Jakarta : Yayasan Al-Amin, cet I. hl. 26
[1] Muin salim, Abdul, Konsepsi Kekuasaan Politik Dalam Al-Qur’an, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2002.
[2] Al-Maududi, Abu A’la, Sistem Politik Islam, judul asli “The Islamic Law and Constitution,” penerjemah Asep Hikmat. Bandung: Mizan, 1993.
[3] Asad, Muhammad, Masalah Kenegaraan Dalam Islam, judul asli “Islamic Constitution Making. penerjemah Amirudin jamil dan Umar Amin Husin. Jakarta : Yayasan kesejahteraan umat, 1990.
[7] Mohammad Asad”Masalah Kenegaraan dalam Islam” ( Jakarta : Yayasan Kesejahteraan Bersama), hl. 55
No comments:
Post a Comment