BAB II
PEMBAHASAN
HUKUM POLITIK PERBANKAN SYARIAH DIINDONESIA
A. Pengertian Hukum
Menurut
J.C.T. Simangkir, S.H. dan Woerjono Sastropranoto, S.H. “ Hukum ialah
peraturan- peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku
manusia dalam lingkungan bermasyarakat yang dibuat oleh badan-badan
resmi yang berwaji, pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan tadi
yan berakibatkan diambilnya tindakan, yaitu dengan hukum tertentu”.
B. Politik
Secara etimologis, politik berasal dari kata Yunani polis yang berarti kota atau negara kota. Kemudian arti itu berkembang menjadi polites yang berarti warganegara, politeia yang berarti semua yang berhubungan dengan negara, politika yang berarti pemerintahan negara dan politikos yang berarti kewarganegaraan.
Pada umumnya dapat dikatakan bahwa politik (politics)
adalah bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik (atau negara)
yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari sistem itu dan
melaksanakan tujuan-tujuan itu. Pengambilan keputusan (decision making)
mengenai apakah yang menjadi tujuan dari sistem politik itu menyangkut
seleksi terhadap beberapa alternatif dan penyusunan skala prioritas dari
tujuan-tujuan yang telah dipilih. Sedangkan untuk melaksanakan
tujuan-tujuan itu perlu ditentukan kebijakan-kebijakan umum (public policies) yang menyangkut pengaturan dan pembagian (distribution) atau alokasi (allocation) dari sumber-sumber (resources) yang ada. Untuk bisa berperan aktif melaksanakan kebijakan-kebijakan itu, perlu dimiliki kekuasaan (power) dan kewenangan (authority)
yang akan digunakan baik untuk membina kerjasama maupun untuk
menyelesaikan konflik yang mungkin timbul dalam proses itu. Cara-cara
yang digunakan dapat bersifat meyakinkan (persuasive) dan jika perlu bersifat paksaan (coercion). Tanpa unsur paksaan, kebijakan itu hanya merupakan perumusan keinginan (statement of intent) belaka.
Politik hukum, politik adalah
“cara bertindak, cara atau kebijakan untuk mencapai tujuan
tertentu”Secara umum politik terkait erat dengan masalah kenegaraan atau
yang berhubungan dengan negara. Terlepas dari itu, “politik hukum”
memiliki definisinya sendiri. Menurut Satjipto Rahardjo, politik hukum
adalah aktivitas untuk menentukan suatu pilihan mengenai tujuan dan
cara-cara yang hendak dipakai untuk mencapai tujuan hukum dalam
masyarakat. Padmo Wahjono disetir oleh Kotam Y. Stefanus mengatakan
bahwa politik hukum adalah kebijaksanaan penyelenggara Negara tentang
apa yang dijadikan criteria untuk menghukumkan sesuatu ( menjadikan
sesuatu sebagai Hukum ). Kebijaksanaan tersebut dapat berkaitan dengan
pembentukan hukum dan penerapannya. Politik hukum adalah “legal
policy tau garis (kebijakan) resmi tentang hukum yang akan diberlakukan
baik dengan pembuatan hukum baru mauoun dengan penggantia hukum lama,
dalam mencapai tujuan negara”. Dengan demikian, politik hukum
merupakan pilihan tentang hukum-hukum yang akan diberlakukan sekaligus
pilihan tentang hukum-hukum yang akan dicabut atau tidak diberlakukan
yang kesemuanya dimaksudkan untuk mencapai tujuan negara seperti yang
tercantum didalam pembukaan UUD 1945.
C. Perbankan Syariah
Perbankan
adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup tentang
kelembagaan, kegiatan usaha serta cara dan proses dalam melaksanakan
kegiatan usahanya.
Bank
adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk
simpanan dan menyalurkan kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan /
atau bentuk lainnya dalam meningkatkan taraf hidup orang banyak.
Pembiayaan
berdasarkan prinsip syariah adalah penyediaan uang atau tagihan yang
dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dan dengan pihak lain yang
mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan
tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.
Prinsip
Syariah adalah aturan perjanjian berdasrkan hukum islam antara bank
antara bank lain untuk menyimpan dana/ atau pembiayaan kegiatan usaha
dan/ atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai syariah, antara lain
pembiayaan bersasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaandengan prinsip penyertaan modal (musyarakah), prinsip jual beli dengan memperoleh keuntungan (murabahah), pembiayaan barang modal berdasrkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau adanya pilihan pemindahan pemilikan atau barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtima).
D. Landasan Hukum Perbankan Syariah
Perbankan syariah di negara-negara islam berpengaruh di indonesia. Pada awal periode 1980-an, ketika
beberapa aktivitas muda islam melakukan kajian tentang ekonomi islam,
mengkomendasikan urgensi perbankan syariah, bahkan mempraktekannya dalam
skala yang terbatas, antara lain melalui bait a-tamwil salman, Bandung.
Upaya yang lebih insentif dilakukan pada tahun 1990-an. Yang puncaknya pada Musyawarah Nasional IV MUI di Jakarta, 22-25 Agustus 1990. Berdasarkan amanat Munas IV MUI, dibentuk sekelompok kerja untuk mendirikan bank islam i indonesia. Hasil
kerja TIM ini adalah pendirian PT Bank Muamalat ( BMI) Yang sesuai akte
pendirianny, berdiri pada tanggal 1 nopember 1991. Sejak tanggal 1 mei
1992, BMI resmi beroperasi dengan modal awal sebesar Rp 106.382.000;
sampai bulan September 1999, BMI telah Memiliki lebih dari 45 outlet
yang tersebar diseluruh wilayah Indonesia, dan lain sebagainya.
Pada
saat pendirian BMI, Presiden soeharto, wakil presiden Sudarmono dan
pejabat negara lain menjadi pendukung utama pendiriannya. Sehingga
pendirian bank syariah pertama diindonesia ini penuh dengan nuansa
politik. Namun dalam perkembangannya, pendirian perbankan Syariah mulai
berbijak pada landasan Ekonomi, sesuai dengan kebutuhan Riil masyarakat
sehingga pertumbuhan perbankan Syariah diidonesia cukup pesat
E. Hukum Dasar Perbankan Syari’ah
Pengertian
hukum dasar di sini harus dibedakan dengan dasar hukum. Karena keduanya
memiliki perbedaan yang sangat mendasar. Dasar hukum memberikan arah
pengertian kepada wujud atau materi hukum itu sendiri. Sedangkan hukum
dasar lebih memberikan pengertian dimana hukum itu berada dan harus
digali.
Ubi Societas Ibi Ius “dimana ada hukum di sana ada masyarakat”. Artinya tidak ada sebuah komunitas mayarakatpun yang tidak memiliki hukum. Hanya saja hukum di sini sifatnya masih sangat sederhana sekali yang biasanya berupa tradisi.
Ubi Societas Ibi Ius “dimana ada hukum di sana ada masyarakat”. Artinya tidak ada sebuah komunitas mayarakatpun yang tidak memiliki hukum. Hanya saja hukum di sini sifatnya masih sangat sederhana sekali yang biasanya berupa tradisi.
Hukum
bersifat lokal, cukup untuk memberikan arah ketertiban dalam pergaulan
yang juga bersifat lokal, terbatas pada kebutuhan komunitas tersebut.
Hukum dalam arti yang demikian ini belum ditulis secara rapi sebagai
pegangan yang harus dihormati dan dijunjung tinggi. Hukum hanya
merupakan kesepakatan-kesepakatan sosial yang mengikat langkah-langkah
kehidupan mereka.
Dari kesepakatan-kesepakatan sosial yang dibatasi oleh wilayah teritorial sebuah komunitas inilah hukum dasar harus digali. Hal ini dimaksudkan agar hukum yang dipakai dan dijadikan pedoman dalam kehidupan masyarakat sesuai dengan cita kehidupan mayarakat yang bersangkutan.
Dari kesepakatan-kesepakatan sosial yang dibatasi oleh wilayah teritorial sebuah komunitas inilah hukum dasar harus digali. Hal ini dimaksudkan agar hukum yang dipakai dan dijadikan pedoman dalam kehidupan masyarakat sesuai dengan cita kehidupan mayarakat yang bersangkutan.
Di
dalam konteks Indonesia, sudah barang tentu hukum dasar itu harus
digali dari tempat dimana rakyat Indonesia hidup dan tumbuh berkembang.
Sebuah komitmen yang monumental, menunjukkan bahwa Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 adalah merupakan suatu wujud deklarasi yang
diakui oleh seluruh dunia. Di mana di dalamnya disebutkan cita bangsa
Indonesia yang harus dipelihara, ditumbuhkembangkan, dan dijaga demi
harkat dan martabat bangsa Indonesia yang berkeadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia, sebagaimana yang telah disebutkan dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, alinea 4 sebagai berikut: “Kemudian
dari pada itu untuk membentuk suatu Pemenrintahan Negara Indonesia yang
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,
dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan
Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara
Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia
yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada: Ketuhanan Yang Maha
Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pada
prinsipnya yang melatarbelakangi dan menjiwai sistem Undang-Undang
Dasar 1945 yaitu bahwa Undang-Undang Dasar 1945 tidak lain adalah
merupakan hasil deduksi logis dari suatu hukum yang lebih tinggi, yaitu
hukum ada di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Hukum yang
terdapat di dalam Pembukaan ini adalah merupakan apa yang di dalam
teori disebut sebagai “Staatsfundamental Recht” atau “Fundamental Law”
Negara kita. Di dalam istilah penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 hukum
itu disebut dengan istilah hukum dasar, dimana di dalamnya terdapat cita
hukum yang di dalam bahasa Jerman disebut Rechtsidee. Sehingga secara
hierarchie tata hukum kita adalah sebagai berikut:
Rechtsidee, dari rechtsidee ini kemudian ditarik keluar,
Asas-asas atau prinsip-prinsip dasar hukum kita. Dari sini ditarik keluar apa yang disebut:
Hukum Dasar yang tidak tertulis. Dari Hukum Dasar yang tidak tertulis ditarik keluar apa yang dapat dijelmakan dalam: Hukum Dasar yang tertulis yaitu UUD 1945. Atas dasar hukum dasar yang tertulis ini dibentuk selanjutnya: Badan Hukum Publik berbentuk dalam Negara Republik Indonesia. Badan Hukum Publik ini adalah sebagai pelaksana untuk menjelmakan Rechtsidee beserta hukum dasar yang ada di dalamnya itu menjadi kenyataan di dalam kehidupan berbangsa.
Hukum yang berhasil digali dari hukum dasar tersebut kemudian dirumuskan menjadi sebuah kebijakan oleh pemerintah guna mendapatkan apresiasi positif masyarakat dan dapat dilaksanakan oleh pihak yang berwenang. Kebijakan pemerintah sebagaimana dimaksudkan, harus mengarah pada suatu tujuan yang aplikatif dan mengandung keterpautan dengan apa yang seyogyanya atau senyatanya dan yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah, dalam arti bukan merupakan sesuatu yang ingin dilakukan dan dipaksakan.
Rechtsidee, dari rechtsidee ini kemudian ditarik keluar,
Asas-asas atau prinsip-prinsip dasar hukum kita. Dari sini ditarik keluar apa yang disebut:
Hukum Dasar yang tidak tertulis. Dari Hukum Dasar yang tidak tertulis ditarik keluar apa yang dapat dijelmakan dalam: Hukum Dasar yang tertulis yaitu UUD 1945. Atas dasar hukum dasar yang tertulis ini dibentuk selanjutnya: Badan Hukum Publik berbentuk dalam Negara Republik Indonesia. Badan Hukum Publik ini adalah sebagai pelaksana untuk menjelmakan Rechtsidee beserta hukum dasar yang ada di dalamnya itu menjadi kenyataan di dalam kehidupan berbangsa.
Hukum yang berhasil digali dari hukum dasar tersebut kemudian dirumuskan menjadi sebuah kebijakan oleh pemerintah guna mendapatkan apresiasi positif masyarakat dan dapat dilaksanakan oleh pihak yang berwenang. Kebijakan pemerintah sebagaimana dimaksudkan, harus mengarah pada suatu tujuan yang aplikatif dan mengandung keterpautan dengan apa yang seyogyanya atau senyatanya dan yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah, dalam arti bukan merupakan sesuatu yang ingin dilakukan dan dipaksakan.
Dalam
konteks yang demikian, hukum merupakan suatu kebutuhan yang melekat
pada kehidupan sosial itu sendiri. Hukum melayani anggota-anggota
masyarakat dalam mengalokasikan kekuasaan, mendistribusikan sumber daya,
melindungi kepentingan anggota-anggota masyarakat, dan menjamin
tercapainya tujuan yang telah ditetapkan dalam masyarakat. Hal ini perlu
mendapatkan perhatian khusus oleh semua kalangan, khususnya mereka yang
terkait langsung dengan kewenangan pembuatan kebijakan demi pembentukan
hukum yang bersifat responsive. Dengan demikian kebijakan harus
diartikan sebagai: “Kebijakan yang dikembangkan atau dirumuskan oleh
instansi-instansi serta pejabat-pejabat pemerintah” . Menurut Burkhardi
Krems sebagaimana dikutip oleh Attamimi, pembentukan peraturan
perundang-undangan meliputi kegiatan yang berhubungan dengan isi atau
subtansi peraturan, metode pembentukan serta proses dan prosedur
pembentukan peraturan. Setiap bagian kegiatan tersebut harus memenuhi
persyaratan-persyaratannya sendiri agar produk hukum tersebut dapat
berlaku sebagaimana mestinya, baik secara yuridis, politis maupun
sosiologis. Dalam kaitan ini aktor-aktor bukan pemerintah atau swasta,
tentu saja dapat mempengaruhi perkembangan atau perumusan kebijakan
negara.
Bertitik
tolak dari apa yang telah dipaparkan di atas, bisa diambil sebuah
kesimpulan bahwasanya kebijakan pemerintah Indonesia di bidang
perekonomian harus berakar dan bersumber pada kulturbegrif bangsa
Indonesia. Dalam konteks budaya bangsa inilah kewajiban mengakomodasi
hukum–hukum yang berlaku di negeri Nusantara ini merupakan suatu
keharusan yang tidak bisa dikesampingkan. Sehinga adat-istiadat dan
agama menjadi unsur dominan lahirnya aturan hukum perekonomian
(perbankan) yang sesuai dan cocok untuk bagsa Indonesia.
Dengan tanpa berbuat dan berfikiran diskriminatif, bahwa secara faktual sebagian besar penduduk Indonesia adalah beragama Islam, bahkan dengan kebesarannya itu Islam tampil dengan segala sarana dan prasarana kehidupan, termasuk di dalamnya konsep perekonomian dan perbankan.
Dengan tanpa berbuat dan berfikiran diskriminatif, bahwa secara faktual sebagian besar penduduk Indonesia adalah beragama Islam, bahkan dengan kebesarannya itu Islam tampil dengan segala sarana dan prasarana kehidupan, termasuk di dalamnya konsep perekonomian dan perbankan.
Maka
konsep perekonomian dan perbankan yang harus dikembangkan di Indonesia
ini seharusnya mempergunakan konsep Islam yang dalam tulisan ini adalah
konsep perbankan syari’ah. Dalam kenyataannya keberadaan ekonomi (bank)
syari’ah di Indonesia, merupakan hal yang sudah lama menjadi aktivitas
masyarakat. Hanya saja yang menjadi persoalan adalah bahwa
aktivitas perekonomian yang demikian itu masih bersifat soiologis
(voluntary law) semata. Dengan
kata lain aktivitas perbankan syari’ah di kalangan masyarakat,
sekalipun dari sisi keadilan sudah dianggap memadai, namun pada
sisi-sisi yang lain seperti kepastian hukum dan lainnya masih perlu
diupayakan. Kalau dalam teori kedaulatan negara dinyatakan bahwa
kedudukan hukum memang lebih rendah dari pada kedudukan negara, dan
negara tidak tunduk kepada hukum karena hukum diartikan sebagai
perintah-perintah dari negara (bentuk imperatif dari norma), akan tetapi
menurut Krabe (tokoh teori kedaulatan hukum) negara sendiri dalam
kenyataannya tunduk pada hukum. Menurutnya
hukum itu sendiri bersumber dari rasa hukum yang terdapat dalam
masyarakat itu sendiri. Rasa hukum ini yang disebut instink hukum
sebagai tingkatan terendah, sebaliknya dalam tingkatan yang lebih tinggi
disebut kesadaran hukum. Lebih lanjut Krabe mengatakan rasa hukum itu
terdapat pada diri setiap individu, disamping rasa lainnya seperti
kesusilaan, rasa keindahan dan rasa keagungan.
Dengan
demikian jelaslah bahwa negara (pemerintah) sangat berkewajiban
membentuk suatu undang-undang yang khusus dalam persoalan perekonomian
rakyat sesuai dengan kultur Indonesia yang dalam kenyataannya terwarnai
dengan kultur Islami, demi tercapainya keteraturan keadilan kepastian
hokum.
Konsep Perbankan Syari’ah
Pengertian Perbankan Syari’ah Lembaga
perbankan merupakan inti dari sistem keuangan di setiap negara. Karena
bank merupakan rujukan setiap orang, badan-badan usaha, baik swasta
maupun milik negara/pemerintah. Baik dalam hal menyimpan uang maupun
meminjam, serta jasa-jasa lainnya yang terkait dengan masalah keuangan.
Melalui kegiatan perkreditan dan berbagai jasa yang diberikan, bank
melayani pembiayaan serta melancarkan mekanisme sistem pembayaran bagi
semua sektor perekonomian. Berkaitan
dengan masalah bank, Pasal 1 butir 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
tentang Perbankan, merumuskan bahwa bank adalah badan usaha yang
menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya
kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya
dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
Sedangkan dalam Peraturan Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syari’ah, Pasal 1 butir 9 dijelaskan: “Dewan Syari’ah Nasional adalah dewan yang dibentuk oleh Majelis Ulama’ Indonesia yang bertugas dan memiliki kewenangan untuk menetapkan fatwa tentang produk dan jasa dalam kegiatan usaha Bank yang melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syari’ah”. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa yang dimksudkan dengan Bank Syari’ah adalah Bank sebagaimana bank umum (konvensional) yang menjalankan keuangannya berdasarkan prinsip syari’ah.
Sedangkan dalam Peraturan Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syari’ah, Pasal 1 butir 9 dijelaskan: “Dewan Syari’ah Nasional adalah dewan yang dibentuk oleh Majelis Ulama’ Indonesia yang bertugas dan memiliki kewenangan untuk menetapkan fatwa tentang produk dan jasa dalam kegiatan usaha Bank yang melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syari’ah”. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa yang dimksudkan dengan Bank Syari’ah adalah Bank sebagaimana bank umum (konvensional) yang menjalankan keuangannya berdasarkan prinsip syari’ah.
Basis Kebijakan Hukum Perbankan Syari’ah
Di
muka sudah dijelaskan bahwa sekalipun bank syari’ah ini relatif masih
muda, namun fakta sosial tetap menunjukkan adanya eksistensi perbankan
syari’ah yang kokoh. Hal ini bisa dilihat dari animo masyarakat
yang begitu besar terhadap bank syari’ah, baik dalam hal meminjam maupun
menyimpan uangnya. Di dalam Himpunan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional, NO:
04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah, pada konsideran disebutkan: Bahwa masyarakat banyak memerlukan bantuan penyaluran dana dari bank berdasarkan pada prinsip jual beli;
Bahwa dalam rangka membantu masyarakat guna melangsungkan dan meningkatkan kesejahteraan dan berbagai kegiatan, bank syar’ah perlu memiliki fasilitas murabahah bagi yang memerlukannya, yaitu menjual suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai laba.
Bahwa dalam rangka membantu masyarakat guna melangsungkan dan meningkatkan kesejahteraan dan berbagai kegiatan, bank syar’ah perlu memiliki fasilitas murabahah bagi yang memerlukannya, yaitu menjual suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai laba.
Bahwa oleh karena itu, DSN memandang perlu menetapkan fatwa tentang murabahah untuk dijadikan pedoman oleh bank syari’ah.
Dengan demikian operasional bank syariah sama sekali berbeda dengan bank konvenional yang hanya berlatar belakang keuntungan (profit sharing) di mana teori kapitalis dan sosialis menjadi dominan. Bank syari’ah yang diproyeksikan sebagai alat tolong menolong antara mereka yang memiliki modal dan mereka yang memiliki keahlian kerja, masing-masing mendapatkan keuntungan karena jasanya satu terhadap yang lain. Kehadiran hukum dalam sistem perbankan syari’ah yang secara nyata ingin memberikan sumbangan pembangunan di bidang perekonomian merupakan hal yang sangat berarti. Bahkan merupakan hal yang mutlak diperlukan, demi ketertiban, keadilan dan kepastian hukumnya. [10]
Dengan demikian operasional bank syariah sama sekali berbeda dengan bank konvenional yang hanya berlatar belakang keuntungan (profit sharing) di mana teori kapitalis dan sosialis menjadi dominan. Bank syari’ah yang diproyeksikan sebagai alat tolong menolong antara mereka yang memiliki modal dan mereka yang memiliki keahlian kerja, masing-masing mendapatkan keuntungan karena jasanya satu terhadap yang lain. Kehadiran hukum dalam sistem perbankan syari’ah yang secara nyata ingin memberikan sumbangan pembangunan di bidang perekonomian merupakan hal yang sangat berarti. Bahkan merupakan hal yang mutlak diperlukan, demi ketertiban, keadilan dan kepastian hukumnya. [10]
F. Perbankan Syariah Dalam Perspektif Politik Hukum Indonesia Masa Kini
Pemberlakuan
Hukum Islam dibidang muamalat khususnya perbankan syariah mempunyai
arti tersendiri bagi umat Islam Indonesia. Sebelum berlakunya
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang perbankan, ketentuan hukum
Islam di bidang muamalat belum dapat dikatakan diakui dalam tata hukum
nasional. Namun sejak lahirnya UU No.7 tahun 1992 yang diikuti dengan PP
No.72 tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil, dan
kemudian lahir Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 yang merupakan
amandemen atas UU No.7 tahun 1992 tentang Perbankan dan diperkuat dengan
beberapa peraturan dari Bank Indonesia, maka dapat dikatakan penerapan
hukum Islam dibidang muamalat di Indonesia secara yuridis formal telah
diakui eksistensinya.
Adanya
hubungan yang cukup baik antara umat Islam dengan Negara dan juga telah
diterimanya asas tunggal Pancasila dalam kehidupan berorganisasi dan
Politik, maka yang semula politik hukum Indonesia pada masa awal orde
baru kurang responsip bahkan memarginalkan hukum Islam, sedikit demi
sedikit atau pelan tetapi pasti hukum Islam diberi tempat dalam tata
hukum nasional, dimulai dengan lahirnya UU No.1 tahun 1974 tentang
perkawinan, UU No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan khususnya
perbankan syariah juga diberikan landasan hukum yang kuat yaitu UU No.7
tahun 1992 dan kemudian diubah dengan UU No.10 tahun 1998.
Pada
Era Reformasi saat sekarang ini disamping GBHN 1999-2004 telah
memberikan tempat berlakunya hukum agama (Islam) dalam tata hukum
nasional, juga dalam TAP MPR Nomor III Tahun 2000 antara lain menyatakan
sumber hukum di Indonesia terdiri dari sumber hukum tertulis dan tidak
tertulis, maka kesempatan untuk mengembangkan dan memasukkan hukum
Islam, terutama hukum ekonomi Islam sangat besar peluang dan harapannya.
Hal ini didukung dengan telah diamandemen UUD 1945 terutama ps.24 dan
25 yang menempatkan Peradilan Agama dalam lingkup yudikatif , lalu
diundangkannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yang antara
lain telah mengakui keberadaan lembaga-lembaga keuangan yang berdasar
syari’ah Islam seperti perbankan syariah, asuransi syariah, reksadana
syariah, pasar modal syariah, bisnis syariah dan sebagainya, dan
menetapkan Peradilan Agama sebagai lembaga hukum formal yang diberi
wewenang untuk menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah, termasuk
didalamnya perbankan syari’ah.
Melihat
peristiwa lahirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 yang dapat dibilang
berjalan dengan mulus tanpa ada hambatan dari pihak manapun, maka dapat
ditarik kesimpulan bahwa politik hukum Indonesia dimasa sekarang ini
sangat akomodatif dan responsip terhadap hukum Islam dan menerima
penerapan hukum ekonomi Islam, khususnya perbankan syariah.
Untuk
lebih memperkuat eksistensi perbankan syariah, sekarang ini DPR sedang
membahas tentang RUU Perbankan Syariah untuk ditetapkan menjadi
Undang-Undang. Namun sayangnya ada pihak-pihak tertentu yang ingin
mengalihkan kewenangan untuk mengadili sengketa perbankan syariah, yaitu
yang semula menjadi kewenangan absolute Peradilan Agama, akan dialihkan
menjadi kewenangan Peradilan Umum dengan alasan akad dalam perbankan
syariah menyangkut persoalan bisnis dan komersiil semata, sehingga masuk
dalam ruang lingkup perdata umum. Hal ini membuktikan apa yang telah
diperingatkan Prof. Mahadi adalah benar adanya yaitu bahwa sekalipun
teori resepsi telah mati, namun arwahnya tetap gentayangan, artinya
masih ada sebagian sarjana hukum atau pemegang politik pemerintahan yang
masih phobia terhadap pemberlakuan hukum Islam di Indonesia.
Terlepas
dari pro dan kontra terhadap kewenangan mengadili sengketa perbankan
syariah di Indonesia, keberadaan dan pengembangan Perbankan syariah
dimasa sekarang dan masa yang akan datang tidak lagi bergantung kepada
ligitimasi yuridis formal, tetapi pengembangan perbankan syariah dimasa
datang lebih ditentukan oleh adanya kesadaran beragama dari umat Islam,
artinya adanya pengakuan dan ketaatan setiap umat Islam yang disertai
dengan keyakinan dan kesadaran terhadap pelaksanaan hukum Islam,
khususnya hukum ekonomi Islam.
Standar
akuntansi bank syariah, sampai kepada berbagai pedoman seperti pedoman
laporan bulanan, pedoman pembukaan kantor, pedoman akuntansi, dan
lainnya. Dengan demikian dari aspek sistem pengaturan, dewasa ini secara
global BI merupakan bank sentral yang paling produktif dalam
menerbitkan regulasi bank syariah, dan diperkirakan belum ada bank
sentral di negara lain yang sedemikian aktif dalam menyusun regulasi
perbankan syariah. Komitmen yang tinggi dari BI ini bertujuan untuk
mewujudkan pertumbuhan bank syariah yang sehat dan patuh kepada prinsip
syariah. Tinjauan
inilah yang kemudian menjadi pijakan tinjauan hukum materil perbankan
syariah di Indonesia. Dimana pada dasarnya bank syariah terlahir dengan
mengemban misi yang mencoba menerapkan kebijakan keterkaitan antara
sektor moneter dengan sektor riil yang didasari atas penyelenggaraan
perekonomian nasional.
G. Tinjauan Politik Kelembagaan Perbankan Syariah
Jaminan
UUD 1945 Pasal 29 yakni, kebebasan berkeyakinan beserta pelaksanaannya
harus dipandang sebagai adanya kebebasan bagi masyarakat Islam untuk
melakukan aktivitas keperdataan sesuai dengan konsep hukum Islam sebagai
keyakinan yang dianutnya. Dalam
pencapaiannya, penerapan pasal inipun mengalami banyak interpretasi.
Bagi Indonesia yang mayoritas masyarakatnya beragama Islam, tentu dalam
pencapaian yang diinginkan oleh Islam formalis adalah harus dengan
penetapan ketentuan-ketentuan syariah dalam ketetapan hukumnya (hukum
formil), yang terkadang tanpa tersadar bahwa terbentuknya Indonesia atas
dasar kontrak sosial. Dimana Indonesia tetap berpegang pada kemajemukan
penduduk meskipun Islam sebagai agama mayoritas.
Jaminan
negara tentang hak kebebasan beragama tersebut menempatkan posisi
negara sebagai fasilitator. Dalam ketetapan pencapaiannya dikembalikan
kepada mekanisme penetapan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
Jika berbentuk undang-undang, maka harus melalui lembaga legislatif,
yang diperoleh dari hasil Pemilihan Umum (Pemilu). Oleh karena Indonesia
menganut sistem politik demokrasi, maka hal ini juga harus terpenuhi
dalam segala langkah upaya melalui jalur politik. Sehingga apapun yang
terlahir, baik undang-undang maupun keputusan kenegaraan tidak mengarah
pada pembelaan atau pertentangan negara terhadap satu kelompok tertentu.
Berikut DPS-DSN juga harus melepaskan seragam partai, menjaga jarak dan
tidak terintegrasi dengan pemerintah atau lembaga perbankan untuk
menghindari politisasi fatwa.
Demikian
juga yang seharusnya dilakukan oleh para pelaku industri perbankan
syariah. Melalui jalur politik dalam penetapan hukumnya akan membuat
tujuan pencapaian perkembangan perbankan syariah di Indonesia akan
semakin terbuka lebar. Hal ini telah dipraktikkan oleh “Arthaloka“ pada
masa disahkannya UU No. 7/1992 tentang Perbankan. Jika
langkah-langkah yang perlu dicapai di atas telah tercapai secara
komprehensif, maka orientasi bank syariah harus dikonsentrasikan penuh
untuk peningkatan kualitas SDM, manajemen risiko, pengembangan bisnis,
peningkatan kualitas pelayanan, perluasan jaringan kantor, pengembangan
teknologi informasi dan sistem informasi, dan permodalan.
Dari deskripsi yang telah dijelaskan sebelumnya. Ada dua pandangan berbeda mengenai institusi atau lembaga perbankan syariah di Indonesia.
Dari deskripsi yang telah dijelaskan sebelumnya. Ada dua pandangan berbeda mengenai institusi atau lembaga perbankan syariah di Indonesia.
Ø Perbankan
syariah dianggap sebagai lembaga keuangan yang futuristik, jika
perbankan syariah mampu menerapkan regulasi yang telah ditetapkan dan
mampu meningkatkan kualitas SDMnya.
Ø Regulasi
yang ada saat ini sudah cukup bagus. Serta tidak lepas dari dukungan
Pemerintah, para ulama dan regulasi BI yang terus mengakomodasi
kebutuhan regulasi industri, dan membuka kesempatan yang lebih luas
kepada perbankan dan investor untuk menjalankan kegiatan usaha bank
syariah.
Dalam
menyusun peraturan bagi perbankan syariah ini, BI bertujuan untuk
mewujudkan pertumbuhan bank syariah yang sehat dan patuh kepada prinsip
syariah. Baik manajemen maupun regulasi yang mendukungnya. Sehingga
dalam menjalankan aktivitasnya lembaga perbankan syariah tidak lagi
hanya berorientasi pasar, akan tetapi lebih jauh sebagai lembaga
keuangan yang mempunyai karakteristik tersendiri melalui penerapan
syariah secara menyeluruh tanpa ada politisasi poin-poin syariah
didalamnya.
Secara
umum, perbankan syariah, mulai dari pendekatan politik, landasan hukum,
efektifitas pengawasan, dan kelembagaannya telah mengalami perkembangan
yang sangat pesat. Meski harus ada perbaikan kelembagaan pengawasan
yang memang harus berbeda treatmentnya dibandingkan dengan perlakuan
terhadap perbankan konvensional.
Karena
industri ini terkait dengan syariah dan masih muda. Ketika
kemudahan-kemudahan itu tidak ada, janganlah ditafsirkan menghambat
perkembangannya. Sekali lagi harus dicamkan ini highly regulated
industry, terlebih lagi industri ini terkait dengan syariah, tentu
sewajarnya paradigma ini perlu dipegang, bila seluruh stakeholders
perbankan syariah ingin selamat dunia dan akhirat. Sebab, ini merupakan
amanah yang harus kita pertanggung jawabkan kelak. Dengan demikian dalam
hal ini sebaiknya kita melihat gambaran yang lengkap mengenai regulasi
BI tidak secara parsial atau segmentasi. Adanya anggapan bahwa BI
menghambat pengembangan bank syariah merupakan informasi yang misleading
kepada masyarakat dan apalagi informasi tersebut tanpa didukung oleh
data yang akurat.
Khususnya
dalam pembukaan bank syariah, BI telah menyediakan regulasi yang cukup
memadai untuk pendirian baru, konversi, dan membolehkan bank umum
konvensional membuka kantor bank syariah. Dengan regulasi tersebut,
pertumbuhan bank syariah pada periode tahun 1999 hingga akhir 2004 terus
meningkat. Demikian pula pertumbuhan jaringan kantor dan volume usaha
menunjukkan pertumbuhan yang sangat pesat.
No comments:
Post a Comment