A. Pengertian Riba
Dalam
bahasa arab riba bermakna tambahan boleh jadi tambahan pada suatu benda
semisal makna kata riba dalam QS alHajj:5 atau pun tambahan pada
kompensasi dari benda tersebut semisal barter seribu rupiah dengan dua
ribu rupiah. Dalam syariat, riba bermakna tambahan atau penundaan
tertentu yang dilarang oleh syariat.
Jadi
riba itu memiliki beberapa bentuk, ada yang berupa penambahan yang
dalam bahasa arab disebut fadhl dan ada yang berbentuk penundaan
penyerahan barang tertentu yang dilarang oleh syariat yang dalam bahasa
arab disebut nasiah. Ada juga riba nasiah dalam bentuk penambahan yang
disyaratkan untuk mendapatkan penundaan pembayaran utang.
Adapun surat tentang bahayanya riba :
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ (275)
“Orang-orang
yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit
gila” (QS al Baqarah:275).
Maksudnya: orang yang mengambil riba tidak tenteram jiwanya seperti orang kemasukan syaitan.
B. MACAM – MACAM DAN BENTUK RIBA
Riba
Dain (Riba dalam Hutang Piutang)Riba ini disebut juga dengan riba
jahiliyah, sebab riba jenis inilah yang terjadi pada jaman jahiliyah.
Riba ini ada dua bentuk:
a. Penambahan harta sebagai denda dari penambahan tempo (bayar hutangnya atau tambah nominalnya dengan mundur-nya tempo).
Misal:
Si A hutang Rp 1 juta kepada si B dengan tempo 1 bulan. Saat jatuh
tempo si B berkata: “Bayar hutangmu.” Si A menjawab: “Aku tidak punya
uang. Beri saya tempo 1 bulan lagi dan hutang saya menjadi Rp
1.100.000.” Demikian seterusnya.sistem ini disebut dengan riba
mudha’afah (melipatgandakan uang). Allah I berfirman:
b. Pinjaman dengan bunga yang dipersyaratkan diawal akad
Misalnya:
Si A hendak berhutang kepada si B. Maka si B berkata di awal akad:
“Saya hutangi kamu Rp 1 juta dengan tempo satu bulan, dengan pembayaran
Rp 1.100.000.”Riba jahiliyah jenis ini adalah riba yang paling besar
dosanya dan sangat tampak kerusakannya. Riba jenis ini yang sering
terjadi pada bank-bank dengan sistem konvensional yang terkenal di
kalangan masyarakat dengan istilah “menganakkan uang.” Wallahul
musta’an.
Faedah enting
Termasuk
riba dalam jenis ini adalah riba qardh (riba dalam pinjam meminjam).
Gambarannya, seseorang meminjamkan sesuatu kepada orang lain dengan
syarat mengembalikan dengan yang lebih baik atau lebih banyak jumlahnya.
Misal: Seseorang meminjamkan pena seharga Rp. 1000 dengan syarat akan mengembalikan dengan pena yang seharga Rp. 5000. Atau meminjamkan uang seharga Rp 100.000 dan akan dikembalikan Rp 110.000 saat jatuh tempo.
Misal: Seseorang meminjamkan pena seharga Rp. 1000 dengan syarat akan mengembalikan dengan pena yang seharga Rp. 5000. Atau meminjamkan uang seharga Rp 100.000 dan akan dikembalikan Rp 110.000 saat jatuh tempo.
Ringkasnya, setiap pinjam meminjam yang mendatangkan keuntungan adalah riba, dengan argumentasi sebagai berikut:
1. Hadits ‘Ali bin Abi Thalib z:“Setiap pinjaman yang membawa keuntungan adalah riba.”
Hadits ini dha’if. Dalam sanadnya ada Sawwar bin Mush’ab, dia ini matruk (ditinggalkan haditsnya). Lihat Irwa`ul Ghalil (5/235-236 no.1398).
Hadits ini dha’if. Dalam sanadnya ada Sawwar bin Mush’ab, dia ini matruk (ditinggalkan haditsnya). Lihat Irwa`ul Ghalil (5/235-236 no.1398).
Namun
para ulama sepakat sebagai-mana yang dinukil oleh Ibnu Hazm, Ibnu Abdil
Barr dan para ulama lain, bahwa setiap pinjam meminjam yang di dalamnya
dipersyaratkan sebuah keuntungan atau penambahan kriteria (kualitas)
atau penam-bahan nominal (kuantitas) termasuk riba.
2.
Tindakan tersebut termasuk riba jahiliyah yang telah lewat
penyebutannya dan termasuk riba yang diharamkan berdasarkan Al-Qur`an,
As-Sunnah, dan ijma’ ulama.
3.
Pinjaman yang dipersyaratkan adanya keuntungan sangat bertentangan
dengan maksud dan tujuan mulia dari pinjam meminjam yang Islami yaitu
membantu, mengasihi, dan berbuat baik kepada saudaranya yang membutuhkan
pertolongan. Pinjaman itu berubah menjadi jual beli yang mencekik orang
lain. Meminjami orang lain Rp. 10.000 dibayar Rp. 11.000 sama dengan
membeli Rp. 10.000 dibayar Rp. 11.000.
Ada beberapa kasus yang masuk pada kaidah ini, di antaranya:
a.
Misalkan seseorang berhutang kepada syirkah (koperasi) Rp 10.000.000
dengan bunga 0% (tanpa bunga) dengan tempo 1 tahun. Namun pihak
syirkah mengatakan: “Bila jatuh tempo namun hutang belum terlunasi, maka
setiap bulannya akan dikenai denda 5%.”
Akad ini adalah riba jahiliyah yang telah lewat penyebutannya. Dan cukup banyak syirkah (koperasi) atau yayasan yang menerapkan praktik semacam ini.
Akad ini adalah riba jahiliyah yang telah lewat penyebutannya. Dan cukup banyak syirkah (koperasi) atau yayasan yang menerapkan praktik semacam ini.
b.
Meminjami seseorang sejumlah uang tanpa bunga untuk modal usaha dengan
syarat pihak yang meminjami mendapat prosentase dari laba usaha dan
hutang tetap dikembalikan secara utuh.
Modus lain yang mirip adalah membe-rikan sejumlah uang kepada seseorang untuk modal usaha dengan syarat setiap bulannya dia (yang punya uang) mendapatkan –misalnya– Rp 1 juta, baik usahanya untung atau rugi.
Modus lain yang mirip adalah membe-rikan sejumlah uang kepada seseorang untuk modal usaha dengan syarat setiap bulannya dia (yang punya uang) mendapatkan –misalnya– Rp 1 juta, baik usahanya untung atau rugi.
Sistem
ini yang banyak terjadi pada koperasi, BMT, bahkan bank-bank syariah
pun menerapkan sistem ini dengan istilah mudharabah (bagi hasil).
Mudharabah yang syar’i adalah: Misalkan seseorang memberikan modal Rp.
10 juta untuk modal usaha dengan ketentuan pemodal mendapatkan 50% atau
40% atau 30% (sesuai kesepakatan) dari laba hasil usaha. Bila
menghasilkan laba maka dia mendapatkannya, dan bila ternyata rugi maka
kerugian itu ditanggung bersama (loss and profit sharing). Hal ini
sebagaimana yang dilakukan Rasulullah n dengan orang Yahudi
Khaibar.Wallahulmuwaffiq.
Adapun
transaksi yang dilakukan oleh mereka, pada hakekatnya adalah riba
dain/qardh ala jahiliyah yang dikemas dengan baju indah nan Islami
bernama mudharabah. Wallahul musta’an.
c. Mengambil keuntungan dari barang yang digadaikan.
Misal:
Si A meminjam uang Rp 10 juta kepada si B (pegadaian) dengan
mengga-daikan sawahnya seluas 0,5 ha. Lalu pihak pegadaian memanfaatkan
sawah tersebut, mengambil hasilnya, dan apa yang ada di dalamnya sampai
si A bisa mengembalikan hutangnya. Tindakan tersebut termasuk riba,
namun dikecualikan dalam dua hal:
1. Bila barang yang digadaikan itu perlu pemeliharaan atau biaya, maka barang tersebut bisa dimanfaatkan sebagai ganti pembiayaan. Misalnya yang digadaikan adalah seekor sapi dan pihak pegadaian harus mengeluarkan biaya untuk pemeliha-raan. Maka pihak pegadaian boleh meme-rah susu dari sapi tersebut sebagai ganti biaya perawatan. Dalilnya hadits riwayat Al-Bukhari dalam Shahih-nya dari Abu Hurairah z, Rasulullah n bersabda:
1. Bila barang yang digadaikan itu perlu pemeliharaan atau biaya, maka barang tersebut bisa dimanfaatkan sebagai ganti pembiayaan. Misalnya yang digadaikan adalah seekor sapi dan pihak pegadaian harus mengeluarkan biaya untuk pemeliha-raan. Maka pihak pegadaian boleh meme-rah susu dari sapi tersebut sebagai ganti biaya perawatan. Dalilnya hadits riwayat Al-Bukhari dalam Shahih-nya dari Abu Hurairah z, Rasulullah n bersabda:
“Kendaraan
yang tergadai boleh dinaiki (sebagai ganti) nafkahnya, dan susu hewan
yang tergadai dapat diminum (sebagai ganti) nafkahnya.”
2.
Tanah sawah yang digadai akan mengalami kerusakan bila tidak ditanami,
maka pihak pegadaian bisa melakukan sistem mudharabah syar’i dengan
pemilik tanah sesuai kesepakatan yang umum berlaku di kalangan
masyarakat setempat tanpa ada rasa sungkan. Misalnya yang biasa berlaku
adalah 50%. Bila sawah yang ditanami pihak pegadaian tadi menghasil-kan,
maka pemilik tanah dapat 50%. Namun bila si pemilik tanah merasa tidak
enak karena dihutangi lalu dia hanya mengambil 25% saja, maka ini tidak
diperbolehkan. Wallahu a’lam bish-shawab.
Riba Fadhl
Definisinya adalah adanya tafadhul (selisih timbangan) pada dua perkara
yang diwajibkan secara syar’i adanya tamatsul (kesamaan
timbangan/ukuran) padanya.
Riba jenis ini diistilahkan oleh Ibnul Qayyim dengan riba khafi (samar), sebab riba ini merupakan pintu menuju riba nasi`ah.
Riba jenis ini diistilahkan oleh Ibnul Qayyim dengan riba khafi (samar), sebab riba ini merupakan pintu menuju riba nasi`ah.
Para
ulama berbeda pendapat tentang hukum riba fadhl. Yang rajih tanpa
keraguan lagi adalah pendapat jumhur ulama bahwa riba fadhl adalah haram
dengan dalil yang sangat banyak. Di antaranya:
1. Hadits ‘Utsman bin ‘Affan z riwayat Muslim:
“Jangan kalian menjual satu dinar dengan dua dinar, jangan pula satu dirham dengan dua dirham.”
Juga hadits-hadits yang semakna dengan itu, di antaranya:
a. Hadits Abu Sa’id z yang muttafaq ‘alaih.
b. Hadits ‘Ubadah bin Ash-Shamit z riwayat Muslim.
Juga
hadits yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar, Abu Hurairah, Sa’d bin Abi
Waqqash, Abu Bakrah, Ma’mar bin Abdillah dan lain-lain, yang menjelaskan
tentang keharaman riba fadhl, tersebut dalam Ash-Shahihain atau salah
satunya.
Adapun dalil pihak yang membolehkan adalah hadits Usamah bin Zaid z:
“Sesungguhnya riba itu hanya pada nasi`ah (tempo).”
Maka ada beberapa jawaban, di antaranya:
a.
Makna hadits ini adalah tidak ada riba yang lebih keras keharamannya
dan diancam dengan hukuman keras kecuali riba nasi`ah. Sehingga yang
ditiadakan adalah kesempurnaan, bukan wajud asal riba.
b.
Hadits tersebut dibawa kepada pengertian: Bila jenisnya berbeda, maka
diperbolehkan tafadhul (selisih timbangan) dan diharamkan adanya
nasi`ah.
Ini
adalah jawaban Al-Imam Asy-Syafi’i, disebutkan oleh Al-Imam Al-Bukhari
dari gurunya, Sulaiman bin Harb. Jawaban ini pula yang dirajihkan oleh
Al-Imam Ath-Thabari, Al-Imam Al-Baihaqi, Ibnu Abdil Barr, Ibnu Qudamah,
dan sejumlah ulama besar lainnya.
Jawaban inilah yang mengompromi-kan antara hadits yang dzahirnya berten-tangan. Wallahul muwaffiq.
Jawaban inilah yang mengompromi-kan antara hadits yang dzahirnya berten-tangan. Wallahul muwaffiq.
Riba Nasi`ah (Tempo)
Yaitu adanya tempo pada perkara yang diwajibkan secara syar’i adanya
taqabudh (serah terima di tempat). Riba ini diistilahkan oleh Ibnul
Qayyim dengan riba jali (jelas) dan para ulama sepakat tentang keharaman
riba jenis ini dengan dasar hadits Usamah bin Zaid di atas. Banyak
ulama yang membawakan adanya kesepakatan akan haramnya riba jenis ini.
Riba fadhl dan riba nasi`ah diistilahkan oleh para fuqaha dengan riba bai’ (riba jual beli).Kaidah Seputar Dua Jenis Riba
Riba fadhl dan riba nasi`ah diistilahkan oleh para fuqaha dengan riba bai’ (riba jual beli).Kaidah Seputar Dua Jenis Riba
1.
Perkara yang diwajibkan secara syar’i adanya tamatsul, maka tidak
boleh ada unsur tafadhul padanya, sebab bisa terjatuh pada riba fadhl.
Misal: Tidak boleh menjual 1 dinar dengan 2 dinar, atau 1 kg kurma
dengan 1,5 kg kurma.
2.
Perkara yang diwajibkan adanya tamatsul maka diharamkan adanya nasi`ah
(tempo), sebab bisa terjatuh pada riba nasi`ah dan fadhl, bila
barangnya satu jenis. Misal: Tidak boleh menjual emas dengan emas secara
tafadhul, demikian pula tidak boleh ada unsur nasi`ah.
3.
Bila barangnya dari jenis yang berbeda maka disyaratkan taqabudh
(serah terima di tempat) saja, yakni boleh tafadhul namun tidak boleh
nasi`ah. Misalnya, menjual emas dengan perak, atau kurma dengan garam.
Transaksi ini boleh tafadhul namun tidak boleh nasi`ah.
Ringkasnya:
Ringkasnya:
a. Beli emas dengan emas secara tafadhul berarti terjadi riba fadhl.
b. Beli emas dengan emas secara tamatsul namun dengan nasi`ah (tempo), maka terjadi riba nasi`ah.
c.
Beli emas dengan emas secara tafadhul dan nasi`ah, maka terjadi kedua
jenis riba yaitu fadhl dan nasi`ah. Hal ini berlaku pada barang yang
sejenis. Adapun yang berbeda jenis hanya terjadi riba nasi`ah saja,
sebab tidak disyaratkan tamatsul namun hanya disyaratkan
taqabudh.Wallahua’lam.
Untuk lebih memahami masalah ini, kita perlu menglasifikasikan barang-barang yang terkena riba yaitu emas, perak (masuk di sini mata uang), kurma, burr (gandum), sya’ir dan garam menjadi dua bagian:
Untuk lebih memahami masalah ini, kita perlu menglasifikasikan barang-barang yang terkena riba yaitu emas, perak (masuk di sini mata uang), kurma, burr (gandum), sya’ir dan garam menjadi dua bagian:
Bagian pertama: emas, perak (dan mata uang masuk di sini).
Bagian kedua: kurma, burr, sya’ir, dan garam.
Keterangannya:
1. Masing-masing dari keenam barang di atas disebut satu jenis; jenis emas, jenis perak, jenis mata uang, jenis kurma, demikian seterusnya. Kaidahnya: bila jual beli barang sejenis, misal emas dengan emas, kurma dengan kurma dst, maka diwajibkan adanya dua hal: tamatsul dan taqabudh.
1. Masing-masing dari keenam barang di atas disebut satu jenis; jenis emas, jenis perak, jenis mata uang, jenis kurma, demikian seterusnya. Kaidahnya: bila jual beli barang sejenis, misal emas dengan emas, kurma dengan kurma dst, maka diwajibkan adanya dua hal: tamatsul dan taqabudh.
2.
Jual beli lain jenis pada bagian pertama atau bagian kedua, hanya
disyaratkan taqabudh dan boleh tafadhul. Misalnya, emas dengan perak
atau sebaliknya, emas dengan mata uang atau sebaliknya, perak dengan
mata uang atau sebaliknya. Ini untuk bagian pertama.
Misal untuk bagian kedua: Kurma dengan burr atau sebaliknya, sya’ir dengan garam atau sebaliknya, kurma dengan sya’ir, kurma dengan garam atau sebaliknya. Dalil dua keterangan ini adalah hadits ‘Ubadah bin Ash-Shamit z, yang diriwayatkan oleh Muslim (no. 1587). Rasulullah n bersabda:
Misal untuk bagian kedua: Kurma dengan burr atau sebaliknya, sya’ir dengan garam atau sebaliknya, kurma dengan sya’ir, kurma dengan garam atau sebaliknya. Dalil dua keterangan ini adalah hadits ‘Ubadah bin Ash-Shamit z, yang diriwayatkan oleh Muslim (no. 1587). Rasulullah n bersabda:
“Emas
dengan emas, perak dengan perak, burr dengan burr, sya’ir dengan
sya’ir, kurma dengan kurma, garam dengan garam, harus semisal dengan
semisal (tamatsul), tangan dengan tangan (taqabudh). Namun bila
jenis-jenis ini berbeda, maka juallah terserah kalian (dengan syarat)
bila tangan dengan tangan (kontan).”
3.
Jual beli bagian pertama dengan bagian kedua atau sebaliknya,
diperbo-lehkan tafadhul dan nasi`ah (tempo). Misalnya membeli garam
dengan uang, kurma dengan uang, dan seterusnya. Hal ini berdasarkan
kesepakatan para ulama yang dinukil oleh Ibnul Mundzir, Ibnu Hazm, Ibnu
Qudamah, Nashr Al-Maqdisi, Al-Imam An-Nawawi, dan sejumlah ulama lain.
Dalil mereka adalah sistem salam, yaitu menye-rahkan uang di awal akad
untuk barang tertentu, dengan sifat tertentu, dengan timbangan tertentu
dan diserahkan pada tempo tertentu.
Telah maklum bahwa alat bayar masa itu adalah dinar (mata uang emas) dan dirham (mata uang perak), dan barang yang sering diminta adalah kurma atau sya’ir atau burr (jenis barang yang terkena hukum riba).
Telah maklum bahwa alat bayar masa itu adalah dinar (mata uang emas) dan dirham (mata uang perak), dan barang yang sering diminta adalah kurma atau sya’ir atau burr (jenis barang yang terkena hukum riba).
Ash-Sharf (Money Changer)
Ash-sharf secara bahasa berarti memindah dan mengembalikan. Sedangkan
secara istilah fuqaha, definisi ash-sharf adalah jual beli alat bayar
(emas, perak dan mata uang) dengan alat bayar sejenis atau beda jenis.
Ulama Syafi’iyyah dan yang lainnya membedakan: bila sejenis (emas dengan
emas, perak dengan perak) disebut murathalah dan bila beda jenis (emas
dengan perak atau sebaliknya) disebut ash-sharf.
Adapun mata uang dengan mata uang lebih dominan disebut ash-sharf.
Telah dijelaskan di atas bahwa naqd (alat bayar) adalah salah satu bagian dari dua bagian hasil klasifikasi barang-barang jenis riba. Telah dijelaskan pula bahwa bila terjadi jual beli sesama jenis maka harus tamatsul dan taqabudh, dan bila lain jenis harus taqabudh boleh tafadhul.
Yang perlu dipahami adalah bahwa masing-masing mata uang yang beredar di dunia ini adalah jenis tersendiri (rupiah jenis tersendiri, real jenis tersendiri, dst.). Sehingga bila terjadi tukar-menukar uang sejenis haruslah taqabudh dan tamatsul. Misal-nya, uang Rp. 100.000,00 ditukar dengan pecahan Rp. 10.000,00, maka nominalnya harus sama. Bila tidak, berarti terjatuh dalam riba fadhl. Selain itu juga harus serah terima di tempat. Bila tidak, berarti terjatuh dalam riba nasi`ah. Bila tidak tamatsul dan tidak taqabudh, berarti terjatuh dalam riba fadhl dan riba nasi`ah sekaligus.
Telah dijelaskan di atas bahwa naqd (alat bayar) adalah salah satu bagian dari dua bagian hasil klasifikasi barang-barang jenis riba. Telah dijelaskan pula bahwa bila terjadi jual beli sesama jenis maka harus tamatsul dan taqabudh, dan bila lain jenis harus taqabudh boleh tafadhul.
Yang perlu dipahami adalah bahwa masing-masing mata uang yang beredar di dunia ini adalah jenis tersendiri (rupiah jenis tersendiri, real jenis tersendiri, dst.). Sehingga bila terjadi tukar-menukar uang sejenis haruslah taqabudh dan tamatsul. Misal-nya, uang Rp. 100.000,00 ditukar dengan pecahan Rp. 10.000,00, maka nominalnya harus sama. Bila tidak, berarti terjatuh dalam riba fadhl. Selain itu juga harus serah terima di tempat. Bila tidak, berarti terjatuh dalam riba nasi`ah. Bila tidak tamatsul dan tidak taqabudh, berarti terjatuh dalam riba fadhl dan riba nasi`ah sekaligus.
Namun bila mata uangnya berlainan jenis (misal dolar ditukar dengan
rupiah), maka harus taqabudh dan boleh tafadhul. Misalnya, 1 dolar
bernilai Rp. 10.000,00, bisa ditukar Rp. 9.500,00 atau Rp. 10.500,00,
namun harus serah terima di tempat. Wallahu a’lam.
C. BAHAYA RIBA DALAM EKONOMI
Para ekonom modern dewasa ini, telah menyadari secara empiris bahwa bunga mengandung mudharat, karena
mengambil keuntungan tanpa memikul resiko atas proyek usaha yang
dikelola si peminjam adalah sebuah ketidakadilan dan ini dapat
menimbulkan berbagai krisis. Karena itu, tidak mengherankan jika banyak
pakar ekonomi yang berkeyakinan bahwa krisis ekonomi dewasa ini
disebabkan oleh sistem ribawi. Fakta, kini telah membuktikan bahwa
sistem riba banyak menimbulkan bencana di berbagai negara dan bangsa.
Negara-negara penghutang di jerat hutang yang besar. 30 % hutang
tersebut adalah hutang bunga. Yang lebih zalim adalah hutang bunga itu
bukan saja atas modal yang dipinjam, tetapi juga bunga atas bunga.
Inilah yang disebut dengan bunga yang berlipat ganda.
Ekonom
ternama, Lord Keyness, menyimpulkan bahwa suku bunga yang tinggi
menyebabkan macetnya pasar atau terhentinya kegiatan industri dan
kemudian secara negatif mempengaruhi penerimaan yang merupakan sumber
produksi. Penyimpanan nasabah di bank akan berjalan terus-menerus, meski
suku bunga turun sampai titik nol.
Dalam
memberikan tanggapan terhadap dampak bunga, ekonomi kenamaan W.S
Mitchel dengan tepat sekali menuturkan bahwa bunga memainkan peranan
penting dalam mengakibatkan timbulnya krisis. Pendapat senada
diungkapkan oleh Nurcholish Madjid, yang menyatakan bahwa sistem ekonomi
ribawi dapat menghancurkan ekonomi dunia. Krisis ekonomi yang melanda
Indonesia saat ini, katanya, merupakan pengaruh global, karena dunia
dikuasai oleh sistem ekonomi ribawi, ciptaan kapitalis. Dimana
negara-nagara kaya menghisap darah negara-negara miskin dengan pinjaman
bunga.
Ekonomi
global akan mempengaruhi setiap negara, sehingga krisis yang dihadapi
bangsa Indonasia tidak akan pernah selesai bila diatasi sendiri. Sistem
ekonomi riba menurutnya menjadi faktor utama ketimpangan ekonomi antara
barat dan negara-negara berkembang. Antara orang-orang kaya dan
orang-orang miskin. Sistem itu memungkinkan terjadinya pemindahan
kekayaan dalam sekejap dari negara-negara berkembang kepada
negara-negara kapitalis.
Akibat
sampingan yang amat terasa adalah terjadinya menumpukan asset dalam
jumlah besar dan dikuasai segelintir masyarakat. Sedangkan mayoritas
rakyat tidak mendapat sumber kehidupan. Dalam sistem ekonomi riba,
terjadi pengalihan kekayaan secara mudah. Akibatnya orang menjadi
materialistis secara rakus dan serakah.
Cara
riba merupakan jalan usaha yang tidak sehat, karena keuntungan yang
diperoleh si pemilik modal bukan merupakan hasil pekerjaan atau jerih
payahnya. Adalah tidak adil, bila seorang kapitalis (pemilik modal),
meraup bunga dari modal-nya, tanpa menanggung resiko sedikitpun dalam
sebuah usaha.
Dalam
kenyataannya, pemilik uang tak peduli apakah si peminjam atau si
pengelola modal, untung dan rugi, yang penting baginya adalah bunga
sekian persen harus diterimanya. Pada pinjaman sistem bunga, tak
terdapat kebersamaan dan kemitraan sebagaimana dalam sistemmudharabah. Pada
sistem bunga, keuntungan yang didapat dengan mengeksploitir orang lain
yang pada dasarnya lebih lemah dari panya. Praktek semacam ini merugikan
pengusaha kecil dan sebaliknya menambah kekayaan bagi orang-orang kaya
dan orang-orang kuat tanpa menggangu resiko apapun. Akhirnya, yang kaya
semakin kaya, yang miskin semakin miskin. Dalam perekonomian bebas
bunga, pemecahan dan pengurangan penderitaan orang banyak direalisir
secara adil.
Kerangka
pemikiran tersebut sejalan dengan pandangan para filosuf yang
menyatakan bahwa harta tidak melahirkan harta, uang tidak menelorkan
uang. Harta baru dapat berkembang dengan cara bekerja dan usaha jerih
payah untuk kedua belah pihak dan kemaslahatan masyarakat, sehingga
terealisir kehidupan bersama yang adil antara harta dan kerja. Pada
dasarnya, keperluan akan pinjaman, timbul karena kebutuhan ekonomi,
utamanya kaum miskin. Hanya suatu masyarakat kaya yang bisa memberikan
pinjaman kepada masyarakat miskin. Karena itu, dikenakannya bunga dalam
bentuk apa saja pada pinjaman, adalah suatu pengingkaran pada prinsip
universal persaudaraan manusia yang harus saling menolong. Jadi, riba
merupakan penghisapan dari kebutuhan sesama saudara. Bunga telah
merontokkan fitrah dasar manusia untuk saling bantu dan mengasihi.
Bunga
menghancurkan dasar-dasar kehidupan manusia yang fundamental, yaitu
saling membantu dan menolong. Bunga juga menjadikan manusia hanya
mementingkan diri sendiri. Semua orang dalam masyarakat seperti itu,
mempunyai kecendrungan untuk bergumul dalam segala sesuatu yang
semata-mata didasarkan oleh materi/uang.
Selanjutnya,
bunga juga secara signifikan memicu inflasi. Untuk membayar hutang,
peminjam harus menaikkan harga barang sebagai kompensasi bunga yang
harus di bayarkan. Dan untuk membayar hutang tersebut sering terjadi
pemangkasan upah buruh.
Kemudian,
harus diketahui bahwa dalam ekonomi Islam, perdagangan menjadi satu
faktor utama dalam proses pembangunan. Dinamikanya dapat melalui
kerjasama dan partisipasi. Sedangkan konsep bunga adalah konsep yang
menguntungkan satu pihak dan pemilik modal cendrung mementingkan diri
sendiri. Maka dari sudut pandang ekonomi dan etika, bunga sesungguhnya
meruntuhkan sendi-sendi kemanusian, tidak saling membantu, egois dan
individualistis yang pada akhirnya mencegah peningkatan sumber daya
ekonomi.
D. KEWAJIBAN MENJAUHI MAKAN DAN PRAKTEK ATAU USAHA RIBA
1. Kewajiban menjauhi makanan riba
Kewajiban
setiap muslim adalah menjauhi riba dengan segala macam bentuknya. Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda di dalam hadits shahih riwayat
jabir radhiyallahu ‘anhu dan selainnya: “Allah SWT melaknat orang yang
memakan riba, yang memberi makan, dua saksi dan penulisnya.”
Jadi
ada lima orang yang dilaknat oleh ALLAH SWT melalui lisan Rasul-Nya
shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebagian ulama berkata: “Orang yang
memakan riba” mencakup orang yang secara langsung mengambil hasil riba
itu atau yang ikut memakan hasil riba itu, sebab nash ini bersifat umum.
عَنْ
أَبِى هُرَيْرَةَ - رضى الله عنه - عَنِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم -
قَالَ « اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ » . قَالُوا يَا رَسُولَ
اللَّهِ ، وَمَا هُنَّ قَالَ « الشِّرْكُ بِاللَّهِ ، وَالسِّحْرُ ،
وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِى حَرَّمَ اللَّهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ ، وَأَكْلُ
الرِّبَا ، وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ ، وَالتَّوَلِّى يَوْمَ الزَّحْفِ ،
وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلاَتِ » .
Dari Abu Hurairah, Nabi bersabda, “Jauhilah tujuh dosa yang membinasakan!”. Para shahabat bertanya,“Apa saja tujuh dosa itu wahai rasulullah?”.
Jawaban Nabi, “Menyekutukan
Allah, sihir, menghabisi nyawa yang Allah haramkan tanpa alasan yang
dibenarkan, memakan riba, memakan harta anak yatim, meninggalkan medan
perang setelah perang berkecamuk dan menuduh berzina wanita baik baik” [HR Bukhari no 2766 dan Muslim no 272].
Allah SWT berfirman:
“Orang-orang
yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit
gila.” (QS. Al-Baqarah: 275)
Sehingga
tidak boleh makan riba, ia adalah harta yang buruk dan dikhawatirkan
akibat buruknya menimpa siapa saja yang memakannya.
Sunnah
telah memerintahkan untuk menjauhi harta yang haram, lalu Salaf
mengamalkan demikian. Telah tsabit riwayat tentang Abi Bakar
radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau radhiyallahu ‘anhu suatu hari makan
makanan dari hasil meramal seseorang, tatkala diberitahukan kepada
beliau radhiyallahu ‘anhu tentang itu, maka beliau radhiyallahu ‘anhu
berupaya memuntahkan makanan tadi, sebab beliau radhiyallahu ‘anhu takut
makanan hasil meramal ini akan tertinggal bekasnya dalam diri beliau
radhiyallahu ‘anhu.
Sedangkan
sesuatu itu haram adalah sebab dzatnya sendiri atau karena sifat yang
ada padanya, maka setiap muslim harus menjauhi harta yang haram.
2. Kewajiban menjauhi praktek atau usaha riba
sebagai
umat islam wajib menjauhi prakter atau usaha riba, karna itu membentuk
bank atau badan usaha yang berbentuk syariah, Pada masa Rasulullah,
Beliau telah memberikan rambu-rambu tentang bentuk-bentuk perdagangan
atau peraktek usahu mana yang diperbolehkan dan mana yang dilarang .
Salah satu larangan itu adalah larangan usaha yang mengandung riba.,
dimana ayat tentang larangan riba ini turun menjelang wafat Rasulullah .
Sehingga beliau tidak sempat menjelaskan secara rinci tentang riba ini.
Karena itulah peranan ijtihad para cendekiawan muslim sangat diharapkan
untuk menggali konsep dasar tentang sistem perbankan modern yang sesuai
prinsip syariah islam.
عَنْ جَابِرٍ قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ
Dari
Jabir, Rasulullah melaknat orang yang memakan riba, nasabah riba, juru
tulis dan dua saksi transaksi riba. Nabi bersabda, “Mereka itu sama” [HR
Muslim no 4177].
No comments:
Post a Comment